Ahad 10 May 2015 06:00 WIB

'Fikih' Permusuhan

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

"Kalau ada jenis fikih baru yang diperlukan umat Islam sejak lama, mungkin 'fikih' permusuhan," komentar seorang teman sekonyong-konyong. "Maksudnya?"

"Ya, karena saat ini umat Islam sangat ceroboh dalam bermusuhan. Teman seperjuangan menjadi musuh, musuh sesungguhnya menjadi teman. Ketidaksepahaman hal tertentu dalam masalah cabang menjadi pangkal perpecahan besar, sementara kesalahan mendasar malah diabaikan," paparnya lagi.

Saya tertarik dengan lontarannya yang unik. Apa iya, ada pemikiran kuat di balik pernyataan yang terkesan asal? "Ide saya, 'fikih’ permusuhan adalah cabang baru ilmu fikih yang mengatur umat Islam agar bijak dalam mencari musuh."

"Tidak bisa seenaknya begitu.” Protes saya, “Lagi pula, bukannya tidak boleh mencari musuh?"

"Benar, tapi musuh dicari atau tidak, nyatanya selalu ada. Bahkan, kadang begitu banyak hingga kita tidak akan punya cukup waktu untuk menghadapi semua. Itu sebabnya, kita harus bijak memilih musuh."

Deretan contoh yang diberikannya kemudian membuat gambaran tak utuh di kepala berangsur menemukan bentuk. Mujahidin Afghanistan berhasil mengusir Rusia setelah melalui peperangan panjang 11 tahun. Namun, keberhasilan itu hancur seketika saat Taliban datang memerangi dan membunuh banyak pejuang di sana. Jika Taliban mengerti 'fikih’ permusuhan, masih banyak musuh lain di lapangan yang lebih layak diperangi.

Negara-negara Arab mendadak bersatu menyerang Yaman. Ratusan pesawat tempur dan kekuatan militer dilibatkan. Dalam sejarah modern, belum pernah bangsa Arab bersatu sebanyak itu.

Jika mengerti 'fikih’ permusuhan, tidak jauh dari sana, Palestina tertindas puluhan tahun oleh Zionis yang jelas memusuhi umat Islam. Tapi, apa kabar para tetangga negeri Arab? Palestina seolah dibiarkan berjuang seorang diri.

Di antara begitu banyak musuh, ada bobot yang harus kita pilih untuk dilawan. Jika ingin menjadikannya jalan perjuangan, pilihlah medan yang lawannya jelas-jelas menimbulkan kerusakan.

Dengan kata lain, jika kita berjihad melawan sesama umat Islam, padahal di tempat lain ada orang-orang ingkar yang menindas dan menebarkan keburukan maka jihad yang dilakukan tidak menghargai ‘fikih’ permusuhan atau dalam hal ini seperti fikih prioritas pada konteks permusuhan.

Jika ingin menghukum penjahat dari sekian banyak yang ada, utamakan pelaku yang kejahatannya paling berbahaya. Daripada mengkritik karya Islam secara terbuka, lebih baik kritisi karya jahiliyah yang jauh lebih buruk.

Dialog dengan sang teman mengingatkan saya akan kejadian belum lama terkait beberapa film Islami yang baru beredar di bioskop lalu menuai kritik dan hujatan. Padahal, banyak dari sang pengkritik menghakimi tanpa menonton sebelumnya dan ternyata tidak pernah sekali pun mengkritik film lain yang bukan saja tidak Islami, tapi juga menyuarakan demoralisasi dan kejahiliyahan.

Mengapa banyak yang membabi buta menyerang karya yang lebih punya nilai dari sesama Muslim, tapi tidak garang dalam mengkritik dan menghakimi karya lain yang jelas-jelas membawa bendera keburukan?

Padahal, untuk memproduksi sebuah film menghabiskan dana miliaran. Dan, para sineas Muslim sedang berusaha membuat film-film Islami sebagai jawaban perang budaya melawan seabrek film yang mempromosikan hantu dan seks tidak jelas yang lebih dulu mengakar. Mirisnya perjuangan ini kemudian diserang kaum Muslimin sendiri.

Kejadian lain ketika poster film Surga yang Tidak Dirindukan keluar di media sosial. Terlihat seorang aktris yang baru memutuskan berjilbab berdiri berdekatan dengan pemeran suami yang terkesan menempel di belakangnya.

Sebenarnya, dengan mudah produser bisa menyuruh pemeran pria memeluk bintang utama wanita, lalu memotretnya. Akan tetapi, karena sang aktris menolak berpelukan dalam pemotretan dengan alasan syari', akhirnya diakali dengan pemilihan sudut kamera dan olah photoshop. Ternyata, protes bahkan hujatan kemudian bermunculan.

Sang bintang yang baru saja mulai mendekati Islam dengan jilbabnya tidak diberi ruang berproses, sebaliknya, dipaksa untuk bersikap dan memiliki sudut pandang seperti mereka yang sudah lama hijrah. Upaya sang artis menolak dipeluk sama sekali tidak diapresiasi.

Begitu keras kritik yang beredar hingga banyak penggemar (yang belum berjilbab) dari aktris tersebut pun bersuara. "Pantas tidak banyak artis mau berjilbab, sikap untuk tidak mau disentuh tidak dihargai, malah photoshop-nya dihakimi!"

‘Fikih’ Permusuhan atau yang semacam itu, benarkah diperlukan? Telah demikian lama seolah buta mata kita untuk melihat lawan sebenarnya. Bersikap amat keras terhadap Muslim yang berjuang dengan karyanya, tapi pasif, tak terdengar suaranya ketika produk-produk keburukan merajalela, mengepung dari segenap penjuru.

"Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama mereka.” (QS al-Fath: 29).

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement