REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Beberapa tahun lalu para analis dan pengambil keputusan di Timur Tengah barangkali bisa dengan gampang memetakan persoalan: penjajahan Israel atas Palestina dan berkembangnya kelompok radikal seperti al Qaida. Kini persoalan di Timur Tengah sudah semakin ruwet. Tidak gampang mengurai geopolitik kawasan yang terus bergolak itu.
Meminjam istilah pengamat politik di media Aljazeera, Adnan Abu Amir, dalam sejarah Timur Tengah belum pernah terjadi perpecahan dan konflik separah seperti sekarang ini. Perpecahan yang kemudian membawa negara-negara di kawasan itu untuk membentuk blok-blok ‘pertemanan’ alias koalisi.
Namun, namanya politik, pertemanan atau koalisi itu sangat cair. Tidak permanen. Termasuk koalisi negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang ingin mengambil peran (kepentingan) lebih besar di kawasan Timur Tengah.
AS misalnya. Dalam masalah Irak, mereka menjalin kerja sama dengan Iran. Namun, dalam menghadapi Yaman, AS-Iran berseberangan. AS bahkan telah terang-terangan menyatakan mendukung koalisi pimpinan Arab Saudi untuk menyerang milisi al Khauti di Yaman. Sementara itu di Suriah, AS dan Iran kadang jauh dan kadang dekat. Boleh jadi bentuk hubungan kedua negara itu sangat tergantung pada perjanjian mengenai program nuklir Iran.
Hal yang hampir sama terjadi dalam hubungan Mesir dan Qatar. Dalam masalah penanganan Ikhwanul Muslimin di Mesir, mereka berseberangan. Tapi, ketika menghadapi milisi al Khauti di Yaman, kedua negara sama-sama bergabung dalam koalisi pimpinan Arab Saudi. Juga yang terkait dengan Hamas di Gaza. Selama ini Qatar terus membantu perjuangan Hamas, sementara Mesir mengucilkannya.
Jalinan blok-blok atau poros koalisi antar-negara-negara di Timur Tengah itu tidak lain bertujuan untuk mendominasi pengaruh di kawasan.
Pertama, poros negara-negara yang lebih berkiblat ke Barat/AS. Yaitu: Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan mayoritas negara-negara Teluk. Khusus untuk Mesir, AS tampaknya tidak mau kehilangan ‘pertemanannya‘ dengan negara Presiden Abdul Fattah al Sisi itu, meskipun untuk itu harus melupakan peristiwa beradarah ketika milier mengambil-alih kekuasaan dari Ikhwanul Muslimin. Embargo AS terhadap Mesir pun telah dicabut, baik ekonomi maupun militer.
Kedua, poros Iran-Irak-Suriah (Bashar Assad)-Hizbullah (Libanon). Koalisi ini juga didukung Rusia. Bukan rahasia lagi Presiden Bashar Assad hingga sekarang masih bertahan lantaran dukungan Rusia, baik militer maupun di kancah internasional. Antara lain melalui keanggotaan Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan Persatuan Bangsa Bangsa (DK PBB).
Rusia tampaknya ingin memindahkan ‘Perang Dingin’ dengan Barat/AS ke wilayah Timur Tengah. Tindakan ini juga sekaligus untuk membalas dendam terhadap sanksi negara-negara Barat lantaran Rusia mendukung kelompok yang dituduh Barat sebagai pemberontak Ukrania. Juga untuk menunjukkan Rusia adalah negara besar. Kebesaran yang kemudian diperlihatkan saat Rusia menggelar parade militer terbesar di Moskow kemarin dalam rangka memperingati 70 tahun kemenangan atas Nazi dalam Perang Dunia II.
Ketiga, poros negara-negara yang selama ini mendukung eksistensi Ikhwanul Muslimin: Turki-Qatar-Hamas di Gaza (Palestina). Sudah jamak diketahui negara-negara tersebut sangat keras mengritik Mesir ketika militer menggulingkan Muhammad Mursi, presiden dari Ikhwanul Muslimin yang terpilih secara demokratis. Bahkan mereka kemudian juga ‘melindungi’ para pelarian tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin.
Keempat, poros kelompok-kelompok radikal seperti al Qaida, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dan organisasi garis keras lainnya yang kini menyebar di berbagai negara. Bukan-hanya di negara-negara Arab, tapi juga Afrika dan Asia seperti halnya Boko Haram di Afrika serta Taliban di Afghanistan dan Pakistan.
Kelima, kelompok negara-negara yang netral. Mereka selama ini tidak mendukung poros-poros yang ada atau yang baru dibentuk. Negara-negara itu antara lain Aljazair, Maroko, Tunisia, dan lainnya.
Sekali lagi, blok-blok atau poros-poros gabungan negara itu sifatnya sangat cair. Turki misalnya. Negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyib Erdogan ini berhubungan sangat baik dengan Arab Saudi. Sementara Saudi sendiri mendukung Presiden Mesir Abdul Fattah as Sisi yang hingga sekarang masih ‘bermusuhan’ dengan Ergogan.
Lalu siapa atau pihak mana yang mengambil keuntungan dari perporosan atawa koalisi negara-negara ini? Pertama, tentu saja ISIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya. Dengan serangan ke milisi al Khauti di Yaman, maka konsentrasi kekuatan negara-negara yang tergabung dalam koalisi tersedot ke sana. Padahal negara-negara inilah, terutama Arab Saudi, yang paling getol membentuk koalisi buat menghancurkan kekuatan ISIS di Irak dan Suriah.
Bahkan Yordania yang pilot tempurnya telah dibakar hidup-hidup oleh ISIS dan telah berjanji akan membalas dendam, kini pun mlempem. Tidak terdengar lagi pesawat-pesawat tempur mereka beraksi membombardir basis-basis kekuatan ISIS. Negara-negara Barat pun hanya sesekali melancarkan serangan terhadap sasaran-sasaran negara Abu Bakar al Baghdadi itu. Padahal kalau mereka mau menghamtam ISIS seperti yang mereka lakukan terhadap al Khauti di Yaman, kekuasan ISIS tentu akan kocar-kacir.
Dengan kata lain, koalisi untuk menghancurkan ISIS tidak sekuat koalisi terhadap al Khauti. Karena itu bisa dikatakan koalisi terhadap ISIS adalah koalisi setengah hati. Hal ini boleh jadi karena yang berkuasa di pemerintahan Irak dan Suriah adalah Syiah. Karena itu bila ISIS dihancurkan pada akhirnya pengaruh poros Iran-Irak-Suriah akan lebih kuat. Kondisi inilah yang tampaknya tidak diinginkan oleh Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Bagi mereka pengaruh Syiah Iran dianggap lebih bahaya daripada Zionis Israel. Karena itu, ISIS dan organisasi-organisasi radikal lainnya diperkirakan belum akan habis. Mereka akan lama matinya.
Kedua, yang diuntungkan dari kondisi Timur Tengah sekarang ini adalah Zionis Israel. Benjamin Netanahu yang baru terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Israel bisa dengan tenang dan nyaman menyeruput kopi paginya sambil mengikuti perkembangan berita. Ia tidak perlu berpikir keras membuat strategi mematikan menghadapi para pejuang Palestina yang didukung negara-negara Arab dan Islam. Ia bisa tersenyum menyaksikan para musuhnya bertikai di antara mereka sendiri. Ia merasa negaranya kini semakin jaya tanpa melalui perang.
Karena itu bisa dipahami kalau dalam beberapa tahun ini para pemimpin Israel ogah diajak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pemimpin Palestina ketika duduk dalam meja perundingan. Mereka menolak pembekuan pembangunan pemukiman Yahudi, melepaskan tahanan politik Palestina, dan, apalagi, menarik militernya dari batas-batas sebelum Perang 1967, bila semua itu dijadikan syarat dimulainya perundingan dengan Palestina. Perang 1967 adalah perang yang dimenangkan Israel dengan mencaplok sebagian besar wilayah Palestina.
Itulah sebabnya perundingan damai selama setahun yang difasilitasi oleh AS lewat Menlunya, John Kerry, gagal total. Dengan terpilihnya kembali sebagai PM, Netanyahu dan pemimpin Israel lainnya bisa jadi akan semakin keras kepala.
Perkembangan Timur Tengah seperti itu tentu akan berabe jadinya. Bukan hanya merugikan perjuangan bangsa Palestina, namun juga mengancam perdamaian dunia.