REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Beras plastik bikin heboh. Awalnya Dewi Septiani, seorang pedagang bubur ayam dan nasi uduk di Kota Bekasi, Jawa Barat. Ia membeli dari pedagang beras langganannya, pada 13 Mei lalu. Tiga hari kemudian ia memasaknya, namun ada kejanggalan. Esoknya ia melapor ke Polsek, juga mengunggahnya ke media sosial. Ia juga mengirim email ke BPOM Bekasi. Rupanya sarjana ekonomi dari perguruan tinggi di Bekasi itu memang akrab dengan dunia IT. Kisah Dewi ini tentu saja bikin geger.
Beras adalah makanan pokok bangsa Indonesia. Bahkan konsumsi beras orang Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Rasanya masih belum makan jika belum makan nasi, kendati sudah kenyang dengan makanan lain. Karena itu, kisah beras sintesis ini – publik lebih suka menyebutnya dengan beras plastik – segera menjadi viral di media sosial. Info itu menyebar lewat facebook, twitter, blackberry messenger, youtube, dan whatsaps. Info itu langsung berada di genggaman tangan masyarakat lewat handphone. Media-media mainstream – online, cetak, radio, televisi -- justru tergolong belakangan mengabarkan kisah ini.
Pemerintah pun lambat bereaksi. Seorang menteri, dalam obrolan santai, juga menyepelekan soal ini. “Cuma dua kilogram,” katanya. Padahal Dewi membelinya enam kilogram. Ia sengaja membeli banyak karena menghadapi libur panjang, banyak tanggal merah di pekan itu. Rupanya itu menjadi sikap resmi. Wapres Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir apalagi panik. “Ini bukan masalah besar.” katanya. Presiden Joko Widodo bersuara sama. “Pers jangan membesar-besarkan. Wong cuma di satu tempat kok,” katanya.
Beruntung Pemkot Bekasi sigap. Isu yang semula diremehkan itu menjadi lebih hidup. Sesuai hasil uji laboratorium Sucofindo, ternyata benar beras sintetis itu mengandung bahan polyvinil chlorida (bahan dasar pipa paralon). Walikota Bekasi memimpin langsung jumpa pers hasil uji lab di Sucofindo tersebut. Di sejumlah tempat lain juga diduga ditemukan beras sintetis seperti di Bogor, Gunung Kidul (Yogyakarta), Kendari (Sulawesi Tenggara), Kutai Barat (Kalimantan Timur). Sikap sigap ditunjukkan Kapolri Badrodin Haiti. Ia bahkan mengajak Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Senin (25/5), untuk bertandang ke Sucofindo. Esoknya, Selasa, Presiden mengadakan rapat terbatas. Setelah itu, Kapolri dan Menteri Perdagangan mengadakan jumpa pers bersama di Istana. Hasilnya: tak ada beras sintetis atau beras plastik. Hal itu berdasarkan uji lab di BPOM, Laboratorium Polri, Puspiptek Serpong, Kemendag, dan Kementan. Polri juga sudah mengusut asal beras yang dijual toko Sembiring, toko yang menjadi langganan Dewi Septiani. Beras itu berasal dari pemasok di Indramayu. Namun tak ditemukan adanya beras plastik dari jalur distribusi ini.
Sehari setelah pengumuman oleh Kapolri, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, menyebutkan bahwa penyebar isu beras plastik bisa dipenjarakan. Ia akan meminta Polri untuk bertindak tegas. Apakah Dewi akan benar-benar ditangkap polisi? Kita tunggu kelanjutannya. Tapi sebagai warga negara dan sebagai konsumen, ia berhak mendapat perlindungan dan kepastian tentang kesehatan makanan. Ia berhak mendapatkan kebenaran. Ia pun mengadukan ke lembaga resmi: ke Polsek dan BPOM Bekasi. Pemkot Bekasi pun sudah menindaklanjuti. Namun kemudian pemerintah pusat memiliki temuan yang berbeda, dengan jumlah 25 sampel termasuk dari sisa sampel di Sucofindo. Isu politis dan konspiratif pun sudah coba didengungkan dari awal – misalnya ini hanya upaya mengganggu pemerintahan Jokowi. Sikap pemerintah pusat dari awal pun terkesan meremehkan. Apalagi secara ekonomi tak mungkin menjual beras sintetis plastik lebih murah dari beras orisinal. Harga plastik lebih mahal dari harga beras. Jadi tak mungkin ini bermotif ekonomi – demikian argumentasinya.
Mari kita melihatnya dari perspektif lain. Masyarakat modern kadang disebut juga sebagai masyarakat konsumen – ini dikemukakan para ahli posmodern. Perhatian ilmuwan terhadap konsumsi meningkat sejak pertengahan abad ke-20, dan makin menguat sejak abad ke-21. Hal ini berbeda dengan pandangan ilmuwan sosial klasik. Mereka lebih fokus pada industri, produksi, pembagian kerja, dan segala percabangannya. Marx adalah satu-satunya teoretisi klasik yang memiliki jejak panjang soal konsumsi. Namun tetap saja konsumsi hanya sebagai fungsi dari kebutuhan. Sedangkan konsumsi yang dianggap mewah dinilai sebagai kemerosotan moral. Ini mirip dengan pandangan Weber yang menyebut konsumsi sebagai ancaman terhadap etika Protestan yang melahirkan kapitalisme. Pada intinya mereka memandang negatif konsumsi.
Seiring ledakan kapitalisme dan modernisasi kehidupan, masyarakat menjadi terdiferensiasi dan terspesialisasi. Masyarakat terbagi ke dalam fungsi masing-masing. Pola konsumsi tidak lagi bersifat subsisten, dari hasil produksi sendiri. Pada saat bersamaan, produksi massal menjadi trend tersendiri. Lahirlah kebudayaan massal, berkembangnya ilmu marketing, menguatnya persamaan dan kebebasan, dan kesenangan menjadi lumrah. Konsumsi tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang negatif, tapi menjadi bagian dari kehidupan. Karena itu konsumsi telah menjadi fokus manusia modern. Jika di masa lalu -- terutama digandrungi oleh pandangan marxisme dan neo-marxisme -- konsumen disebut hanya objek manipulasi marketing maka kini konsumen telah berkembang menjadi produsen yang tak diakui. Konsumen telah menjadi manipulator yang aktif. Mereka melakukan perang gerilya yang memaksa produsen mengikuti selera konsumen.
Dalam masyarakat konsumsi terangkum empat hal: fungsi identitas, terjadi perampasan budaya, ada nilai dan konsumsi, serta ada risiko dan dampak lingkungan. Dalam kasus beras sintetis ini masuk pada poin keempat. Pada abad ke-21 ini bahkan produksi dan konsumsi sudah melebur menjadi “prosumsi”, hal ini terutama terlihat dalam dunia web dan digital. Isu beras sintetis ini benar-benar memperlihatkan bahwa masyarakat konsumen itu memang nyata. Ia telah menjadi viral di media sosial dan kemudian memantul dalam media mainstream.
Apalagi selama ini masyarakat Indonesia telah digedor oleh produk-produk tak sehat yang pemerintah tak begitu hadir. Ada telur sintetis, buah disuntik pewarna, bakso boraks, mi berformalin, beras diberi pemutih, jajanan anak dengan pewarna tekstil dan penyedap rasa berlebih, penggunaan bahan pengawet pada berbagai jenis makanan, buah impor yang tak terkontrol secara standard kesehatan, dan sebagainya. Kita juga mengalami tragedi kebudayaan, yang oleh ilmuwuan Simmel diartikan sebagai banjirnya produk yang tak selalu dibutuhkan namun kita mengkonsumsinya juga. Sehingga ketika isu beras sintetis muncul – padahal itu makanan pokok – maka publik dengan cepat meresponsnya. Dalam masyarakat konsumen, publik tidak lagi pasif tapi juga aktif.
Jika pun benar bahwa ini ada soal politis, maka kita tak boleh meremehkannya, apalagi menutupinya seolah tak ada apa-apa. Michael de Certeau, ilmuwan masyarakat konsumsi, mengingatkan, konsumsi mewakili kemungkinan subversi atas kapitalisme.