Jumat 03 Jul 2015 06:00 WIB

Tiga Jurus Reshuffle

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Secara keroyokan, elite-elite PDIP --Tjahjo Kumolo, Masinton Pasaribu, dan sejumlah pentolan PDIP lainnya-- mengungkap adanya rekaman pernyataan seorang menteri yang menghina Presiden Joko Widodo. Wapres pun ikut bicara: jika benar menteri itu harus dicopot.

Lalu diungkap, menteri itu perempuan. Menteri itu di bidang ekonomi. Beredar pula meme transkrip pernyataan tersebut. Akhirnya terungkap bahwa menteri itu adalah Rini Mariani Soemarno, menteri BUMN. Semua terjadi dalam sehari.

Hari berikutnya, Rini kembali ditembak. Kali ini ia dituduh memiliki kewarganegaraan ganda. Selain Indonesia, ia dituduh berwarga negara Amerika Serikat. Tuduhan ini pun diungkap elite PDIP. AS menganut prinsip siapa saja yang lahir di wilayahnya maka secara otomatis mendapat hak kewarganegaraan. Banyak mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa pascasarjana di negeri itu secara sengaja melahirkan anaknya di AS.

Ini semata-mata soal kewarganegaraan. Tentu saja anak-anak itu juga berwarga negara Indonesia karena Indonesia menganut prinsip siapa saja yang memiliki orangtua warga negara Indonesia, maka anaknya otomatis sebagai warga negara Indonesia. Di usia 18 tahun, anak itu bisa memilih salah satunya. Tapi tak jarang anak-anak itu mengabaikannya karena ia tak merasa mengajukan.

Rini lahir dan besar di luar negeri. Ia lahir di Maryland pada 1958. Saat itu ayahnya seorang eksekutif sebuah bank di negeri itu. Ia menempuh pendidikan dasarnya di Belanda. Namun, sekolah menengah dan pendidikan tingginya di AS. Ayahnya, Soemarno, adalah menteri keuangan terakhir Bung Karno. Sebelumnya ia juga menjadi gubernur Bank Indonesia.

Saat Bung Karno jatuh, ada dua figur yang dikejar rezim Orde Baru sebagai simbol pemerintahan. Pertama, menteri keuangan. Kedua, gubernur BI. Soemarno pergi keluar negeri. Sedangkan Jusuf Muda Dalam, gubernur BI, diadili dan masuk penjara.

Kembali ke soal penghinaan presiden dan kewarganegaraan ganda, hingga kini belum ada bukti otentik. Mereka belum pernah mengedarkan rekaman pernyataan Rini. Karena itu Rini membantah tuduhan itu.

Apapun, terlepas benar-tidaknya tuduhan itu, ini adalah drama politisi, sebuah opera. Karena itu, benar-tidaknya kadang tak begitu penting. Ini hanya sinyal sangat kuat untuk Rini dan juga Presiden Jokowi. Rini sedang menjadi target operasi bahwa dia harus direshuffle. Politik memang kejam. Ya, Presiden memang berniat melakukan pergantian menteri --kabarnya akan dilakukan sebelum atau sesudah Idul Fitri.

Ada tiga jurus ihwal reshuffle ini. Pertama, Presiden mengakui kinerja kabinetnya tak sesuai harapan. Bidang ekonomi paling mendapat sorotan publik. Memang ada masalah ekonomi global yang sedang menurun, harga komoditas yang jatuh, dan daya beli masyarakat yang lemah akibat kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan harga gas.

Selain itu juga ada masalah politik dalam negeri sehingga pembahasan anggaran molor, pembahasan nomenklatur kementerian yang tak kunjung usai. Belanja pemerintah pun seret. Hanya saja harus diakui kinerja menteri-menteri ekonomi tak bagus. Proyek-proyek pembangunan terhambat, pencairan anggaran lamban, koordinasi lemah, ketangkasan tak ada, dan komunikasi publik hampir-hampir tak ada. Ada perkiraan tim ekonomi akan dibongkar secara radikal.

Kedua, sejak awal PDIP tak begitu nyaman dengan masuknya sejumlah nama menjadi menteri atau berada di lingkaran Presiden. Selain itu, PDIP juga menuntut jumlah menteri yang lebih banyak lagi. Karena itu muncul drama soal Rini.

Kita juga masih ingat pelantikan Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto yang tertutup serta pelantikan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan yang mendadak. Saat pengumuman kabinet, kita juga dikejutkan berita soal kehadiran Maruarar Sirait ke Istana yang sudah lengkap dengan baju putih celana hitam yang menjadi 'seragam' kabinet baru. Ternyata namanya hilang di saat terakhir. Ia tak dikehendaki.

Ketiga, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang memenangkan pilpres bukanlah mayoritas di parlemen. Pada sisi lain, Jokowi bukanlah pengendali sebuah partai dan juga dianggap sebagai junior partner di PDIP.

Dua hal ini membuat posisi pemerintah tak begitu kuat, demikian pula posisi Presiden demikian lemah secara politik. Karena itu, pemerintah dan juga Presiden membutuhkan dukungan politik baru dengan memasukkan sejumlah menteri dari partai-partai di Koalisi Merah Putih (KMP). Sesuatu yang tak terelakkan.

Di luar tiga jurus itu, sebenarnya ada hal yang tak kalah substansial. Presiden membutuhkan sebuah tim yang steril dari kepentingan bisnis dan politik. Presiden harus memiliki tim yang benar-benar bisa membantunya dari sisi visi, manajerial, dan kepemimpinan. Tim yang benar-benar memperkuat Presiden secara politik, pemikiran, dan komunikasi.

Sebagian tim yang ada saat ini dicurigai sarat dengan motif bisnis dan politik kelompoknya masing-masing. Hal ini tentu saja membuat ruang gerak Presiden terhambat. Publik pun menjadi tak mudah mendapat akses ke Presiden, kecuali dari lingkaran kelompok-kelompok itu. Padahal Presiden adalah milik semua. Jangan sampai presiden menjadi terasing di Istananya sendiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement