Senin 24 Aug 2015 06:00 WIB

Bisakah ISIS Menjadi Anggota PBB?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

 

Judul di atas saya pungut dari tulisan di Aljazeera.net bertanggal 20 Agustus 2015, ‘Hal Yanalu Tandzimu ad Daulah Maq’adan bil Umami al Muttahidah?’. Tandzimu ad Daulah yang dimaksud adalah ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyiah alias Islamic State of Iraq and Syria yang disingkat ISIS. Aljazeera sendiri membuat tulisan itu dengan mengutip kolom dari Rosa Brooks yang dimuat oleh Majalah Foreign Policy edisi 19 Agustus 2015.

Rosa Brooks merupakan profesor hukum di Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Ia pernah menjabat sebagai penasihat di Pentagon (2009-2011) dan penasihat senior di Departemen Luar Negeri AS. Dalam kolom yang dimuat di Majalah Foreign Policy dengan judul ‘Making a State by Iron and Blood (Membuat Negara dengan Besi dan Darah)’ itu, Brooks tampaknya ingin mengingatkan kepada Pemerintah Presiden Barack Obama. Yaitu, bila AS dan masyarakat dunia tidak waspada bisa jadi ISIS pada suatu ketika nanti diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa.

Peringatan Brooks itu didasarkan pada fakta bahwa meskipun masyarakat dunia menolak dan bahkan mengutuk ISIS, namun wilayah negara Abu Bakar al Baghdadi itu bertambah hari bertambah luas. Belum genap dua tahun negara itu dideklarasikan, ISIS telah berhasil menguasai hampir 60 persen wilayah Suriah dan sepertiga wilayah Irak. Wilayah di kedua negara yang berhasil dikuasai itu lalu mereka gabungkan dan mereka jadikan sebagai negara ISIS.

Tidak peduli apakah negara itu mereka dirikan dengan membunuh, memperkosa, menebar ancaman dan ketakutan, dan kejahatan-kehatan keji lainnya. Tidak peduli juga bagaimana mereka berhasil merayu atau tepatnya  menipu puluhan ribu anak muda dari berbagai negara untuk menyabung nyawa atas nama agama, padahal yang terjadi sebenarnya hanyalah untuk ketamakan kekuasaan al Baghdadi.

Brooks menyodorkan fakta bahwa Inggris Raya (Great Britain) mendirikan imperiumnya di atas perdangan budak. Begitu juga dengan Jerman yang pernah melakukan genosida terbesar dan terjahat dalam sejarah kemanusiaan. ‘‘Karena itu siapa yang bilang bahwa ISIS tidak akan menjadi sekutu Amerika Serikat pada waktu-waktu mendatang?,’’ tulis Brooks dalam kolomnya di majalah yang menjadi rujukan kebijakan para pengambil keputusan di Gedung Putih itu. Seperti diketahui, Inggris dan Jerman kini menjadi sekutu utama Amerika Serikat.

Kini untuk mendirikan ISIS, al Baghdadi dan pengikutnya juga mengandalkan besi dan darah. Mereka rela membunuh ribuan warga Irak dan Suriah serta orang-orang dari negara lain. Prinsipnya, siapa saja yang ingin dan telah menghalangi ambisi mereka, maka balasannya hanya satu: bunuh!

Karena itu para pemimpin ISIS benar-benar tidak peduli dengan berbagai tuduhan kejahatan kemanusiaan yang disematkan kepada mereka, meskipun tudingan itu benar-benar telah mereka lakukan. Dari pembakaran manusia hidup-hidup, pemenggalan kepala hingga pembunuhan masal.

Dengan berkaca pada sejarah Barat, demikian Brooks, dapat dikatakan bahwa tidak mustahil ISIS akan menerima pengakuan (de jure) secara internasional pada waktu-waktu yang akan datang. Sejarah, kata Brooks, menunjukkan kepada kita bahwa sebuah kejahatan bukanlah sebuah penghalang sukses mendirikan sebuah negara.

Ia kemudian menunjuk Prancis sebagai misal. Menurutnya, pada masa Revolusi Prancis,mereka telah memenggal sekitar 30 hingga 40 ribu kepala di depan publik, hanya untuk alasan kemerdekaan, persamaan hak, dan persaudaraan (liberté, égalité, dan fraternité). Pada awal 1790-an mereka bahkan telah membunuh lebih dari 150 ribu orang, hingga kuda-kuda tentara menginjak mayat anak-anak. ‘‘Lihatlah, Prancis kini telah menjadi sekutu Amerika Serikat,’’ ujar Brooks seraya menambahkan, banyak negara yang dulu pernah melakukan kejahatan kemanusiaan, namun kini telah menjadi anggota yang menonjol di Uni Eropa maupun Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Sekarang mari kita tengok ke tahun 1940-an. Sekitar 11 juta warga sipil telah tewas menjadi korban Holocaust Nazi Jerman, sebagian besar dari mereka adalah orang Yahudi. Namun, hari ini Jerman merupakan negara utama di Uni Eropa. Jangan khawatir, Nyonya Angela Merkel, semua kejahatan bangsa Jerman telah dimaafkan dan dilupakan!

Kembali kepada ISIS, Abu Bakar al Baghdadi bisa jadi merupakan orang yang paling bertanggungjawab terhadap puluhan ribu orang yang menjadi korban kejahatan perang dan kemanusiaan. Namun, menurut Brooks, ia bukanlah orang bodoh. Al Baghdadi tahu persis apa yang ia lakukan. Termasuk tindakan dia dan para pengikutnya yang suka menebar ketakutan dan kengerian baik di pihak kawan maupun lawan.

Sejauh ini, lanjut Brooks, serangan udara Koalisi Internasional pimpinan AS ke sasaran-sasaran ISIS memang sudah membawa korban, tapi tetap saja tidak memperlemah kekuatan militer al Baghdadi. Serangan udara Koalisi yang disiarkan berbagai media bahkan telah menjadikan ISIS mendunia. Hal ini, katanya, justru membuka peluang warga asing tertarik bergabung dengan negara al Baghdadi.

Jika kondisi seperti ini terus berjalan beberapa tahun ke depan, menurut Brooks, bukan tidak mungkin akan memaksa pihak Barat untuk berunding dengan ISIS. Kondisi ini persis ketika AS secara diam-diam mendorong Pemerintah Afghanistan untuk berunding dengan Taliban yang dulu mereka kutuk. Bisa jadi dalam perundingan ini, AS pun ikut terlibat langsung. Karena itu, kata Brooks lagi, bukan mustahil ISIS suatu ketika akan diterima sebagai anggota PBB dan bahkan menjadi sekutu AS di Timur Tengah. 

Dengan kata lain, ISIS akan tetap terus memenggal kepala orang.  Dan, jika mereka tidak bisa dihancurkan, pada akhirnya dunia internasional akan lelah dengan sendirinya, lalu memutuskan untuk mengadakan perundingan

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement