Jumat 13 May 2016 06:00 WIB

Revolusi Bahasa Ala Anies Baswedan

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, “Saya ketik kata tertentu di KBBI daring, ternyata tidak ada. Jadi kata ini masih belum diakui sebagai kosa kata resmi dalam bahasa Indonesia,” kata Anies R Baswedan, menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, kata ini sudah lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari dan bahkan dalam pidato-pidato resmi. Media massa dan buku-buku juga sudah biasa menggunakan kata ini.

Anies memberikan ilustrasi itu untuk menggambarkan betapa terbatasnya jumlah lema dalam kamus Bahasa Indonesia. Raja Ali Haji, sastrawan Riau, dicatat sebagai orang pertama yang menerbitkan kamus Bahasa Melayu, kendati pun bukan dalam bentuk kamus seperti yang kita kenal saat ini.

Kamus pertama Bahasa Indonesia adalah susunan WJS Poerwadarminta pada 1953. Kamus ini memuat 23 ribu lema. Pada 1976, Pusat Bahasa menerbitkan "kamus resmi” dengan tambahan 1.000 lema baru.

Pada 1988 untuk kali pertama lahir Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berisi 62 ribu lema. Kamus ini terus terbit ulang dengan jumlah lema 82 ribu, terakhir 91 ribu lema.

Perkembangannya sangat lambat sekali. Bandingkan dengan jumlah lema pada kamus Bahasa Inggris yang mencapai satu juta lema, dengan tambahan 8.500 lema baru per tahun. Bandingkan dengan jumlah lema kamus Bahasa Indonesia yang cuma bertambah 68 ribu dalam 52 tahun (sejak Poerwadarminta hingga KBBI edisi 2005). Artinya, ada penambahan 1.300 lema baru per tahun.

Kenyataan itu tentu memprihatinkan. Indonesia adalah negeri yang kaya ragam budaya dan ragam bahasa. Selain berasal dari serapan asing dan kata bentukan baru dari Bahasa Indonesia, lema baru bisa diserap dari bahasa daerah.

Di Indonesia terdapat 633 kelompok suku besar atau sekitar 1.331 suku. Di Indonesia juga terdapat 456 hingga 749 bahasa daerah. Bahasa yang lebih tua selalu memiliki kosa kata yang lebih kaya.

Bahasa adalah ekspresi budaya, makin maju budaya makin kaya bahasanya. Kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang mampu menyerap unsur-unsur budaya lain yang baik yang bisa melejitkan tingkat peradaban dirinya.

Namun, kenyataannya kosa kata Bahasa Indonesia demikian terbatas. Anies bahkan mengutip kata-kata Gus Mus, penyair dan pengasuh pondok pesantren di Rembang, bahwa membaca terjemahan Alquran dalam Bahasa Jawa lebih mendekati makna aslinya yang dalam Bahasa Arab.

Dalam konteks itu, Anies memberikan contoh betapa kayanya bahasa daerah. Ia mencontohkan kata “jatuh” dalam Bahasa Sunda bisa memiliki 24 jenis. Itu bergantung pada penyebab jatuh ataupun posisi jatuhnya. Semestinya, kekayaan itu bisa langsung diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Namun sekali lagi semua itu tetap menjadi kekayaan yang terpendam.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Salah satu faktornya bisa jadi sikap tertutup Badan Bahasa. Suatu kali Republika mengundang orang yang sangat lama berkuasa di lembaga bahasa tersebut. Kami berdiskusi. Media massa adalah salah satu ujung tombak pemassalan, penyemaian, dan pemunculan istilah baru. Media massa juga bisa menjadi cermin tingkat peradaban berbahasa.

Karena itu, berdiskusi dengan pakar bahasa apalagi dari lembaga bahasa adalah sangat penting. Sebagai wartawan kami menghadapi masalah-masalah berbahasa. Misalnya soal dinamika berbahasa, mencari padanan yang tepat untuk istilah asing, mencari istilah yang tepat untuk mengekspresikan suatu hal. Ada diskusi yang hangat. Namun ujungnya kami dicap sebagai pengguna bahasa selingkung. Bahasa yang berlaku untuk lingkungan sendiri, alias bukan bahasa yang resmi dan diridhai oleh Badan Bahasa.

Badan Bahasa sudah berhasil menjaga dan mengembangkan Bahasa Indonesia. Namun, Badan Bahasa juga menjadi penghalang percepatan kemajuan berbahasa. Karena itu, Anies menyarankan tiga hal.

Pertama, keterbukaan kita semua termasuk pakar bahasa bahwa bahasa itu pasar yang dinamis. Tak ada yang benar dan yang salah, yang ada adalah diterima atau dibuang. Kedua, mendorong eksperimen bahasa, dengan memanfaat bahasa daerah.

Ketiga, bahasa tumbuh dan berkembang dengan berinteraksi. Pakar bahasa jangan menjadi hakim tunggal, tapi pencatat dan pendorong eksperimen. Kebakuan berbahasa yang ekstrem jangan sampai menimbulkan kebekuan.

Anies sedang melakukan revolusi berbahasa. Ia melakukan dekonstruksi terhadap Badan Bahasa. Lembaga ini tak lagi menjadi satu-satunya yang menentukan perkembangan bahasa. Masyarakat menjadi konsumen sekaligus produsen. Masyarakat bisa berpartisipasi aktif.

Hal ini menuntut pakar bahasa dan Badan Bahasa untuk bekerja lebih keras lagi. Selain menjaga kebakuan berbahasa juga kreatif mengadopsi dan menerima perkembangan bahasa di masyarakat. Badan Bahasa menjadi semacam kurator untuk istilah-istilah baru.

Langkah dekonstruksi itu tak hanya berhenti di pidato. Anies menyediakan website, dan segera disusul aplikasi, yang memberi ruang pada masyarakat untuk mengusulkan lema-lema baru untuk menjadi bahasa baku.

Contoh terbaru adalah padanan kata incumbent. Kompas menggunakan petahana, yang berasal dari kata tahana. Republika menggunakan kata pejawat, yang berasal dari kata penjawat. Ada pula media yang menggunakan kata inkumben atau inkamben.

Sebetulnya jika mau menyerap dari bahasa daerah bisa menyerap dari Bahasa Cirebon. Di wilayah ini memang ada padanan untuk incumbent. Kuwu (kepala desa) yang sedang menjabat jika ikut mencalonkan lagi dalam pemilihan kepala desa maka akan disebut sebagai “kuwu ngadeg”.

Ngadeg dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Cirebon berarti “berdiri'. Istilah ini mirip dengan serapan kata “mantan”. Kata ini diserap dari Bahasa Jawa untuk padanan kata “former” dalam Bahasa Inggris. Di Jawa adalah istilah “lurah manten” (e pepet), yang diletakkan setelah kata lurah, untuk lurah yang sudah tidak lagi menjabat. Namun, kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “mantan lurah” untuk menjadi padanan kata “former lurah”.

Bahasa daerah kita demikian kaya. Orang-orang Pusat Bahasa tak selalu mengenali variasi dan mengetahui setiap bahasa tersebut. Langkah revolusioner Mendikbud akan menjadi catatan sejarah tersendiri.

Kesakralan pusat bahasa telah diterobos. Pusat Bahasa tak lagi menjadi pemberi fatwa, tapi berubah menjadi kurator. Saatnya bersikap lebih terbuka.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement