REPUBLIKA.CO.ID, Apa impianmu? Pertanyaan sederhana, tetapi semakin dewasa kian jarang kita mendengarnya lagi hingga tergugu dan lidah mendadak kelu saat ditodong pertanyaan serupa.
Dulu, ketika kecil dan ditanya, apa cita-citamu? Dengan mudah anak-anak mengutarakan jawaban, saya ingin jadi presiden, jadi pilot, dokter, astronaut, dan lainnya. Kini, tak mudah menemukan orang dewasa yang berani bercita-cita jadi
presiden, astronaut, dan lain-lain. Semakin bertambah usia, seolah kita kian kehilangan keberanian bermimpi, semakin takut punya cita-cita tinggi.
Setidaknya fakta itu yang kami temukan ketika mengadakan workshop singkat Dream Building dalam road show film Jilbab Traveler Love Sparks in Korea yang tayang di bioskop Lebaran ini. Dalam pertemuan tersebut, lebih dari seribu peserta diminta menuliskan impian mereka dalam kertas kecil yang sengaja kami bagikan. Sebagian besar butuh waktu cukup lama untuk menemukan kembali impian mereka, beberapa di antaranya bahkan tidak mengisi, hanya membiarkan kertas kosong. Mereka yang berani menuliskan impian. Setelah selesai acara, diminta menempelkan kertas tersebut ke Dream Wall yang sudah disediakan panitia.
Saat membaca satu demi satu impian yang tertulis, bisa dilihat, sebagian besar mempunyai target sederhana dalam hidup, cita-cita yang barangkali telah dikemas sedemikian rupa dalam bingkai kata "realistis".
Lumrah sebagaimana nasihat yang sering kita dengar.
"Mimpi jangan tinggi-tinggi, kalau jatuh, sakit!"
"Sudahlah, jangan bermimpi, realistis saja!"
Setujukah?
Sekilas tampak meminimalisasi mimpi adalah tindakan realistis dan terkesan bijak, tetapi langkah itu juga bisa berarti pasrah dengan keadaan. Tidak ada atmosfer semangat optimistis di sana.
Padahal, seharusnya, jangan takut bermimpi, langitkan mimpimu!
Ya, jangan biarkan alasan apa pun mendorong kita menyederhanakan mimpi.
Berdamai sebelum berjuang. Bahkan, jika usia telah melewati banyak bilangan. Saya pribadi berjanji pada diri sendiri untuk tidak kehilangan cita-cita. Ketika satu keinginan terwujud, saatnya memulai mimpi yang baru. Begitu terus. Sampai usia 44 ini, masih banyak catatan yang ingin saya raih dan pintakan dalam doa-doa agar Allah mudahkan. Dan, itu bukan karena saya berasal dari keluarga mapan yang secara hitung-hitungan di atas kertas menjamin mimpi saya terwujud.
Sebaliknya, ketika kecil, saya tumbuh sebagai anak yang lahir dari keluarga miskin dan tinggal di rumah kontrakan tepat di pinggir rel kereta api.
Sulit berharap tidur tenang karena dalam waktu-waktu tertentu, timbul gempa kecil-kecilan yang menggetarkan tempat tidur setiap kereta lewat. Tapi, tumbuh dari keluarga dengan kondisi di bawah garis kemiskinan tidak membuat saya takut bermimpi.
Benar, dulu, saya dan kakak pernah diusir dari kios penyewaan buku karena selalu datang tanpa pernah menyewa--tubuh kecil kami lebih sering mengamati buku-buku dari luar. Maklum, saya dan kakak suka membaca, tapi tak punya uang sehingga kehadiran kami di sana dianggap hanya mengganggu.
Saat itu, keluarga juga pernah direndahkan. Setidaknya saat berkunjung ke rumah orang, kami kerap dianggap hanya ingin pinjam uang. Sekalipun mengalami sakitnya diremehkan, saya sudah berjanji tidak akan berhenti bermimpi.
Lulus SMA, alhamdulillah saya berhasil masuk kuliah melalui jalur undangan. Meski beberapa penyakit yang diidap sejak kecil dan terus mendera, kemudian memaksa saya berhenti kuliah.
Sekalipun gagal menjadi sarjana, saya tetap tidak ingin berhenti bermimpi. Dan, ternyata dalam perjalanan hidup, saya menemukan banyak figur yang sukses meski bukan sarjana. Bisa dimengerti sebab kehidupan sendiri adalah kampus terbuka bagi siapa saja untuk menggali potensi dan terus memproses diri.
Allah Mahabaik.
Alhamdulillah, gadis kecil yang dulu pernah diusir dari tempat penyewaan buku kini bersama relawan mendirikan lebih dari 200 rumah baca agar tidak ada lagi anak yang diusir hanya karena ingin membaca--terlebih mereka yang makan pun susah. Dan, impian sejati saya masih mencari jalan, insya Allah suatu hari memiliki 1.000 rumah baca di Tanah Air.
Walau hanya sempat kuliah empat semester dan gagal jadi sarjana, Allah perkenankan mantan mahasiswi ini menulis 51 buku, tujuh di antaranya sudah difilmkan, dan belasan diangkat menjadi tema skripsi. Sesuatu yang selalu melemparkan saya pada rasa syukur dan kian percaya pada kebaikan Allah. Seperti figur-figur luar biasa di sekitar yang menginspirasi, saya memutuskan terus merajut mimpi. Bisa menghasilkan lebih banyak buku lagi dan insya Allah bermimpi suatu hari akan ada karya saya yang best seller tak hanya di Tanah Air.
Bermimpi saja, iringi dengan doa-doa. Bagaimana jika tidak terwujud? Agenda mimpi membuatmu berjuang, ikhtiar maksimal, sementara tanpa mimpi dan keberanian melakukan apa pun, satu hal bisa dipastikan, kamu tidak akan pernah mencapai apa-apa.
Saya yakin ada banyak sosok yang berasal dari keluarga yang sering direndahkan seperti saya, tetapi kini berhasil di bidangnya. Mengisi beragam acara dan seminar di dalam maupun luar negeri. Berbagi sedikit yang diketahui. Lewat jalur menulis, Allah juga memperjalankan hambanya ini ke 60 negara dan 316 kota di dunia.
Ada banyak impian yang tercapai karena pemiliknya memperjuangkan, tanpa terbelenggu pada kategori realistis atau tidak yang menjadi rujukan orang.
Bermimpi dan beranilah memperjuangkannya. Saya percaya Allah akan selalu membukakan pintu-pintu harapan saat Dia menutup satu pintu di hadapan kita. Hidup sendiri merupakan perjalanan yang menjadi bermakna saat ia memiliki tujuan. Nyalakan mimpimu, lebih baik lagi jika bisa turut berkontribusi mewujudkan mimpi orang lain.
Dan, jika suatu hari ada yang menanyakan padamu tentang impian, katakan:
"Langitkan mimpimu."
Berani bermimpi setinggi-tingginya, kalaupun jatuh, kita akan mendarat di gelombang awan atau di atas pegunungan. Tempat-tempat yang jelas lebih tinggi dari yang berani diharapkan kebanyakan orang.