Senin 18 Jul 2016 06:00 WIB

Erdogan, Kudeta, Sekularisme, dan Tuduhan pada Gulen

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Upaya kudeta di Turki pada Jumat (15/07) malam lalu segera mengingatkan kita pada peran militer negara itu. Yaitu menjaga ideologi sekularisme negara. Peran yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk beberapa kali kudeta militer, ketika para jenderal melihat jalannya pemerintahan tidak sesuai dengan ideologi negara. 

Upaya kudeta--yang kemudian gagal--untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Recep Tayyib Erdogan merupakan yang kelima sejak Republik Turki didirikan Kemal Ataturk pada 1923. Atau tepatnya sejak 1960, ketika urusan pemerintahan diserahkan kepada sipil lewat partai politik.

Kudeta dilakukan setiap kali para petinggi militer menganggap pemerintahan yang dijalankan warga sipil itu telah melenceng dari ideologi negara atau dianggap tidak becus menjalankan roda pemerintahan. Peran yang pada kenyataannya kerap disalahgunakan para jenderal militer negara itu. 

Dalam hukum militer Turki yang dideklarasikan Kemal Ataturk pada 1930, militer merupakan penjaga sekularisme negara dari segala ancaman, dalam negeri maupun luar negeri. Ataturk adalah pendiri Republik Turki Modern. Ia berhasil mengambil kekuasaan dari Kekhalifahan Usmani pada 1923. Setahun kemudian ia membubarkan Kekhalifahan Usmani yang telah berkuasa beberapa abad lamanya.

Inti dari Republik Turki adalah sekularisme, yaitu memisahkan urusan pemerintah/negara dengan masalah-masalah agama. Pada 1937, ia menghapuskan kalimat "Islam adalah agama negara Turki" dari konstitusi. Sejak itu, segala hal yang berafilisasi dengan agama--dari sisi politik hingga kehidupan sehari-hari--dilarang.

Namun, ketika Presiden Erdogan dan PM Turki Binali Yildirim menghubungkan upaya kedeta sekelompok militer pada Jumat malam lalu dengan gerakan Hizmet pimpinan seorang ulama Fethullah Gulen, mulai muncul beberapa pertanyaan. Apakah gerakan Hizmet itu dan siapakah Fethullah Gulen tersebut? Apa pula peran mereka dalam perpolitikan di Turki? Apalagi Erdogan dan Yildirim tidak menyebut sama sekali tentang peran militer dan sekularisme dalam kudeta yang gagal kali ini.

Gerakan Hizmet pada awalnya berupa jamaah sufi yang dibentuk Gulen pada 1970-an di Kota Izmir, Turki. Jamaah yang kemudian segera menjadi sebuah gerakan besar. Para jamaah menganut ajaran Islam moderat sebagaimana disampaikan Gulen. Baik dalam bentuk ceramah maupun tulisan di berbagai media, termasuk buku-buku yang ditulisnya yang jumlahnya puluhan.  

Kegiatannya pun mencakup banyak hal. Dari pendidikan, ekonomi, media, kesehatan, kebudayaan, hingga bantuan kemanusiaan dan bidang sosial lainnya. Hizmet kini mengelola lebih dari 1.500 lembaga pendidikan di berbagai tingkatan dan 15 universitas yang tersebar di berbagai negara. Dalam bidang media, mereka antara lain mempunyai kantor berita Jehan,  enam stasiun televisi, tiga radio, dan grup media cetak Zaman yang menerbitkan koran Zaman berbahasa Turki dan Today Zaman berbahasa Inggris. 

Di bidang ekonomi, mereka mengelola Bank Asia. Sedangkan, para pengusahanya tergabung dalam sebuah organisasi yang bernama Tuskon. Para pengikut Gulen kini berjumlah jutaan orang dari berbagai profesi. Dari guru, dosen, dokter, pengusaha, polisi, tentara, intelijen negara, hakim, pengacara, pegawai negeri dan swasta, hingga wartawan dan lainnya. 

Pada 1999, Fethullah Gulen mengasingkan diri ke Amerika Serikat. Ulama berusia 70-an tahun ini kemudian tinggal di daerah pegunungan di Pennsylvania, AS. Dari tempat peristirahatannya inilah ia mengendalikan semua kegiatannya. 

Pada awalnya, Gulen berteman dekat dengan Erdogan. Bahkan, kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan/AKP pimpinan Erdogan pada Pemilu 2002 tidak lepas dari dukungan Gulen dan pengikutnya. Kemenangan hingga dua per tiga kursi parlemen ini memungkinkan AKP untuk membentuk pemerintahan sendiri dan sekaligus mengantarkan Erdogan menjadi PM Turki pada 2003. 

Selama Erdogan menjadi PM, Turki bisa dibilang maju pesat. Di bidang ekonomi ia antara lain berhasil meningkatkan lebih dari empat kali lipat pendapatan per kapita warga Turki. Yaitu dari hanya 3.000 menjadi 13 ribu dolar AS. Pendek kata, setelah 10 tahun AKP/Erdogan berkuasa, Turki yang tadinya dianggap sebagai "negara sakit" sudah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa.  

Keberhasilan lain yang dianggap momumental adalah bagaimana Erdogan mengunci peran militer, yang tadinya masuk ke segala sektor kehidupan masyarakat. Pada 2013, Parlemen Turki mengesahkan perubahan sebuah undang-undang yang menyatakan "tugas militer adalah membela negara dan bangsa dari ancaman yang datangnya dari luar". Undang-undang sebelumnya menyatakan "tugas militer adalah membela sekularisme di Turki".

Dengan berbagai keberhasilan itu, termasuk mengembalikan militer ke barak,  tidak aneh bila AKP selalu menang dalam setiap pemilu. Kemenangan yang kemudian mengantarkan Erdogan menjadi PM sejak 2003. Setelah menjabat PM selama 12 tahun, ia pun mulai mengincar posisi presiden. Posisi yang kemudian ia peroleh pada Agustus 2014, setelah ia memenangi pemilu presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki.

Namun, dalam sistem parlemen Turki, presiden hanyalah simbol. Peranannya hanya seremonial. Sebuah peran yang tentu tidak diinginkan Erdogan. Karena itulah ia lalu merancang perubahan konstitusi yang memberikan peran lebih besar kepada presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala eksekutif. Perubahan yang ia sebut sebagai "konstitusi baru menuju negara Turki baru". 



Di sinilah kemudian muncul berbagai persolaan. Para lawan politik Erdogan menuduhnya ambisius. Mereka mengatakan keinginan untuk mengubah konstitusi hanyalah untuk memenuhi ambisi pribadi Erdogan untuk tetap berkuasa. 

Ya, kekuasaan yang terlalu lama terkadang membuat seseorang lupa diri. Kekuasaan sering kali menyebabkan seseorang menjadi otoriter. Hal inilah yang juga dialamatkan kepada Erdogan. Apalagi ketika kemudian ia menyingkirkan senior-senior partai yang bersama-sama Erdogan membesarkan AKP seperti halnya Abdullah Gul (pendiri AKP dan mantan presiden Turki). Tuduhan lain adalah soal skandal korupsi yang melibatkan orang-orang dekat Erdogan. Padahal, tema pemberantasan korupsi inilah yang menjadi perhatian utama pada masa awal pemerintahannya.



Selanjutnya ia pun menyingkirkan para pengikut Fethullah Gulen. Erdogan menuduh mereka sebagai "negara di dalam negara", merujuk kepada lembaga-lembaga sosial dan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru Turki yang dikelola oleh orang-orang Fethullah Gulen. Puncaknya adalah tuduhan Erdogan dan PM Binali Yildirim bahwa Gulen dan pengikutnya berada di balik upaya kudeta yang gagal dua hari lalu itu. 

Kita tentu saja menyesalkan adanya konflik terbuka antara Erdogan dan Gulen yang sama-sama menganut ajaran Islam moderat dan rahmatan lil ‘alamin. Apalagi konflik itu telah mengucurkan darah ratusan warga tak berdosa. Namun, apa pun alasannya, kudeta terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih secara demokratis harus dilawan. Dan itulah yang dilakukan oleh berbagai kelompok di Turki. 

Kita berharap Turki akan segera kembali stabil. Apalagi Turki selama ini dipandang sebagai contoh negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) yang maju, demokratis, modern, dan stabil, di tengah negara-negara kawasan Timur Tengah yang penuh dengan kekacauan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement