REPUBLIKA.CO.ID, Di sebuah rapat kecil, sekelompok siswa berdiskusi tentang persiapan acara penerimaan siswa baru. "Tugas dari kita terlalu berat nggak, ya?" tanya salah satu peserta rapat. "Ini masuk akal atau mengada-ada?" susul yang lainnya.
Mereka cukup serius membahas penerimaan (calon) adik-adik siswa baru karena tidak mau dianggap menyuburkan tradisi perpeloncoan. Mereka sadar tidak ada aksi ospek kekerasan fisik dan intelektual yang ditoleransi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjabat saat itu, Anies Baswedan.
Setelah begitu lama menjadi bagian budaya jahiliyah yang diwariskan--dari tahun ke tahun, di zaman sang menteri selama dua tahun terakhir, kegiatan perpeloncoan dapat diminimalkan dan berkurang secara signifikan.
Apalagi kebijakan menghilangkan praktik perpeloncoan seiring dengan kebijakan Menristek Dikti Mohamad Nasir, hingga perpeloncoan di kampus-kampus juga mulai berkurang.
Tidak banyak menteri memiliki kebijakan yang pengaruh dan manfaatnya benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Perpeloncoan hanya salah satunya, masih banyak kebijakan lain.
Karena itu saya bisa mengerti jika publik cukup kaget ketika nama Anies Baswedan termasuk salah satu menteri yang dicoret dalam reshuffle jilid 2 ini.
Alhamdulillah, Muhadjir Effendy, sebagai pengganti Anies Baswedan, pun sosok --dengan latar belakang Muhammadiyah yang dikenal peduli terhadap pendidikan di Tanah Air. Jadi, secara kompetensi tidak diragukan.
Akan tetapi tantangannya, mampukah sang pejabat baru membuktikan bahwa dirinya merupakan pilihan tepat. Akankah ospek yang diwarnai kekerasan--yang tidak masuk akal dan tidak ada hubungannya dengan dunia akademik-tetap hilang pada tahun ajaran berikutnya?
Akankah kesejahteraan para guru/dosen tetap terperhatikan? Dan banyak pertanyaan lain yang akan dikaitkan dengan pencapaian pejabat pendahulunya, sebelum rakyat bisa berkata, beliau ini adalah pilihan yang tepat.
Ibarat pertandingan sepak bola, Presiden Jokowi menjadi pelatih yang menerjunkan pemain baru dengan menarik pemain lama dan memindahkan beberapa pemain yang sedang bertanding ke posisi berbeda.
Dalam setiap pergantian pemain, semua penonton--dalam hal ini rakyat--akan menilai apakah penggantian tersebut adalah keputusan pantas dan tepat atau tidak.
Jika pergantian membuat permainan menjadi lebih menarik dan membuahkan kemenangan, penonton akan bersorak mendukung dan merasa bahagia. Jika hasilnya adalah kebalikan, maka penonton akan kecewa.
Setiap pemain baru pasti juga ingin membuktikan diri bahwa mereka layak masuk dan akan memberikan kontribusi. Pembuktian diri, tampaknya catatan menjadi catatan penting para menteri baru.
Nama-nama yang masuk sebagian besar bukan nama yang tidak familiar. Beberapa bahkan sangat terkenal ahli di bidangnya dan mempunyai prestasi mendunia. Singkatnya, persoalan kompetensi sama sekali bukan pertanyaan.
Ketika seorang menteri ditunjuk, pasti sudah ada pertimbangan bahwa ia memiliki kapasitas untuk berada di posisi tersebut. Secara umum, semua menteri baru adalah orang yang sudah berada di pencapaian tinggi dalam karier dan hidupnya.
Tapi sekali lagi, kompetensi saja tidak cukup. Pertanyaannya, apakah seluruh kemampuan mereka akan didedikasikan penuh untuk kepentingan bangsa? Tentu menunggu pembuktian. Lebih dari itu, apakah para pejabat baru akan memberi kontribusi yang dapat dinikmati segenap rakyat?
Rakyat butuh bukti, bukan track record atau sekadar sejarah penuh prestasi.Rakyat butuh kontribusi yang langsung dirasakan, bukan sekadar angka-angka.
Terlepas bagaimana nanti, masyarakat yang merasakan manfaat wajar jika menghaturkan terima kasih untuk para menteri yang sudah menjalankan tugas, dan telah mendedikasikan diri demi kemajuan negeri.
Kepada para pejabat baru, selamat datang. Amanah besar yang kini di pundak, kelak tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada Presiden, namun juga rakyat bahkan nantinya di mahkamah Sang Pencipta. Semoga segala kebaikan, kesehatan selalu menyertai seluruh anggota kabinet hingga bisa mewujudkan Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, bermartabat, dan berkeadilan.