REPUBLIKA.CO.ID, Di sebuah desa yang subur, tinggal sebuah keluarga yang sedang berjuang mempertahankan kehidupan ekonominya. Untuk menopang finansial, selain kedua orang tua, anak-anak pun turut bekerja. Sementara untuk menutupi kekurangan, mereka meminjam pada tetangga yang kaya, dan sejauh ini setiap tahun hanya sanggup membayar bunganya.
Ketika kebutuhan meningkat, mereka bekerja lebih keras. Anak-anak diwajibkan memberi kontribusi lebih banyak. Belakangan mereka sadar, ada tabungan ananda yang disimpan di luar kampung dengan jumlah cukup menggiurkan. Sayang tidak mudah mengambilnya, karena putra putri mereka merasa lebih aman jika uangnya berada di kampung sebelah.
Sebenarnya kebutuhan keluarga tidak perlu membengkak seperti itu seandainya setiap anggotanya mampu menata kondisi secara tertib. Misal, tak perlu membuang-buang uang dengan membeli rokok, seperti yang dilakukan putra pertama, atau yang lebih parah menjerumuskan diri dalam narkoba, seperti yang menimpa si bungsu. Atau tertib mengatur kendaraan hingga tak mengganggu aktivitas yang lain. Atau tidak dengan seenaknya membakar sampah tanpa menghiraukan seisi kebun jadi ikut terbakar, dan membahayakan diri dan orang lain, seperti yang kerap terjadi. Seandainya saja mereka menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut, keluarga ini sebenarnya tak perlu mengalami devisit dalam hal keuangan.
Kondisi yang nyaris sama juga dialami Tanah Air Tercinta. Pemerintah saat ini sedang gencar mensosialisasikan tax amnesty dalam rangka menambah pemasukan negara, sementara banyak faktor yang juga menyedot anggaran, yang apabila ditangani dengan tepat akan menyelamatkan keuangan negara dalam jumlah besar. Deret pemborosan yang dilakukan baik oleh pihak swasta, publik, ataupun negara.
Sebut saja kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang pada Juni hingga Oktober 2015 menyebabkan kerugian finansial sekitar Rp 221 triliun. Jumlah tersebut di luar penghitungan kerugian sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon, dan lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan Rp 720 miliar guna memadamkan kebakaran. Belum termasuk dana yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera), serta Kementerian Kesehatan.
Jika Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2016 adalah 271 triliun, maka semua penghasilan migas dan nonmigas bukan pajak- habis hanya untuk membiayai kerugian di atas. Dan tahun ini, kebakaran hutan mulai merebak kembali.
Penegakkan hukum terhadap pelanggaran dan pembebanan swasta atas kebakaran tersebut tentu saja akan menghemat banyak pengeluaran negara. Apalagi kebakaran hutan dan lahan tidak dapat dianggap sebagai bencana, melainkan kelalaian, karena sifatnya terukur dan terjadi setiap tahun--sangat memungkinkan diantisipasi, alias bisa dicegah.
Lihat juga kemacetan. Sekalipun seperti sudah menjadi bagian dari keseharian, kerugian akibat hal ini di Jakarta saja luar biasa jumlahnya. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto mengungkap bahwa kerugian karena macet bisa mencapai Rp 65 triliun per tahun. Belum termasuk dari sisi nonekonomi: kondisi psikologi pemakai jalan maupun efek domino lain seperti berkurangnya produktivitas masyarakat dan hilangnya waktu berkualitas bersama keluarga.
Bagaimana dengan rokok? Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan, sebagian dari biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digunakan untuk membayar pengobatan penyakit akibat rokok. Hal ini mengakibatkan negara harus menanggung biaya kerugian makro ekonomi akibat merokok yang mencapai Rp 44 triliun per tahun.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Soewarta Kosen, mengungkap angka yang lebih tinggi. Kerugian total akibat konsumsi rokok mencapai Rp 378,75 triliun, berkali lipat dibanding cukai tembakau yang diperoleh negara.
Jangan lupakan juga kerugian akibat narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengungkap estimasi kerugian ekonomi akibat narkoba mencapai Rp 72 triliun--jumlah yang sangat fantastis! Angka tersebut terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.
Berbagai kenyataan di atas sungguh mengenaskan. Angka-angka pemborosan setiap tahun mungkin masih jauh lebih tinggi dari banyaknya uang yang bisa didatangkan dari luar negeri. Di satu sisi, pemerintah bersusah payah mengumpulkan anggaran untuk menyehatkan keuangan, di sisi lain banyak pihak yang merupakan elemen bangsa justru memboroskan pendapatan negara untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberi manfaat, bahkan membawa kemudharatan besar.
Meski begitu, sebagai anak bangsa tentu harus tetap optimistis. Karenanya, mari sama-sama tetap menggenggam harapan, akan datangnya hari di mana anak cucu kita bisa menikmati peningkatan penghasilan negara seiring dengan penghematan anggaran, tentu setelah dengan tegas menekan angka kerugian yang fenomenal, yang semestinya tidak perlu ada.