REPUBLIKA.CO.ID, Orang awam lebih mengenal Erick Thohir daripada Boy Thohir, apalagi dibandingkan dengan Mochamad Thohir. Boy adalah kakaknya, ia salah satu orang terkaya di Indonesia dan salah satu pemilik perusahaan batubara Adaro. Mereka, bersama Rika Thohir, adalah putra-putri Mochamad Thohir atau yang akrab dipanggil Teddy Thohir.
Namun, Erick jauh lebih dikenal publik. Ini karena Erick terjun di bidang yang menjadi pusat perhatian media. Ia pemilik Inter Milan, salah satu klub sepak bola papan atas dunia yang bermarkas di kota mode, Milan, Italia. Ia juga memiliki klub bola DC United di Amerika Serikat. Sebelumnya pernah memiliki klub basket di liga paling top di dunia, NBA, yaitu klub Philadephia 76ers. Saat ini Erick menjadi ketua Komite Olimpiade Indonesia. Ia pernah menjadi ketua umum Perbasi dan pemilik klub basket Satria Muda dan salah satu pemilik Persib. Kini, Erick menjadi pemegang saham terbesar di Republika.
Namun bukan karena keterkaitan dengan Republika sehingga kisah tentang Teddy ditulis. Sudah lama saya ingin menulisnya. Selasa (1/11) dini hari, Pak Teddy wafat dalam usia 81 tahun. Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono datang melayat. Ketua MPR Zulkifli Hasan ikut mengantar di penguburannya. Kisah pria kelahiran 5 Maret 1935 ini layak menjadi inspirasi bagi seluruh anak negeri. Ia lahir dan tumbuh di Gunung Sugih, Lampung Tengah. Ayahnya, Abdul Halik, wafat ketika ia masih kecil. Bersama adik dan ibunya, Teddy kecil hidup dalam keadaan yang miskin. Tinggal di rumah bilik dan beralaskan tanah. Namun sejak kecil ia anak yang teguh hati dengan tekad kuat. Diam-diam, di subuh hari, ia pergi meninggalkan ibunya dan menemui pamannya yang seorang pedagang di Metro, Bandar Lampung. Sekecil itu. Ia ingin sekolah. Di sini ia menempuh pendidikan SMP.
Tak berhenti di situ, dilepas pamannya, usai tamat SMP ia merantau sendirian ke Jawa. Ia ke Solo dengan naik kereta. Ia menempuh pendidikan SMEA I di kota ini atas saran gurunya di SMP yang mempunyai rekan yang menjadi guru di SMEA itu. Teddy lulus SMEA tahun 1956. Ia bisa berangkat ke Solo berkat bantuan pedagang kaya di Metro, tempat ia bekerja sambil sekolah. Di Solo ia juga sekolah sambil bekerja. Simpati orang-orang lahir karena kecerdasannya dan kegigihannya. Setelah itu ia bekerja di Jakarta. Hidup sebatang kara dan kemudian jatuh cinta pada gadis Tionghoa, rekan kerjanya di sebuah rumah sakit di Jakarta. Edna, nama gadis itu. Ia seorang perawat. Jalinan cinta itu tak direstui kedua orangtua Edna, yang berasal dari Kadipaten, Majalengka. Teddy pun pulang kampung untuk menata hati. Diam-diam Edna menyusul dan mereka menikah secara Islam. Setelah itu mereka kembali ke Jakarta dan meniti hidup dari bawah, hingga memiliki satu anak, Rika. Saat itulah kedua orangtua Edna datang. Tentu suasananya haru biru, tangis yang bahagia.
Teddy memiliki rahang yang menonjol. Suaranya agak berat. Intonasinya tegas. Ia murah senyum, namun wajahnya yang agak persegi membuat dirinya memiliki kharisma. Kariernya di perusahaan asing yang bergerak di bidang industri kimia, Union Carbide, sangat baik hingga ia menjadi kepala administrasi. Namun jabatan yang baik itu ia tinggalkan ketika mendapat tantangan yang menarik saat istri TP Rachmat, yang punya hubungan dekat dengan Edna, mengajak Teddy bergabung dengan Astra. Orangtua Edna juga akrab dengan William Soeryadjaya, pemilik Astra. Astra kemudian menjadi perusahaan raksasa dan dikenal sebagai raksasa otomotif serta perkebunan. Teddy di Astra sejak perusahaan ini benar-benar mulai dari awal sekali, hingga Teddy menjadi salah satu direkturnya. Namanya cukup dikenang. Suharto, kini sudah almarhum dan pernah bekerja di Astra namun kemudian bergabung dengan Tommy Soeharto untuk mendirikan perusahaan mobil Timor, bercerita tentang keluwesan Teddy. “Suatu saat saya diajak beliau ke suatu kampung. Sesepuh kampung itu mencium tangannya. Eh, ternyata beliau menjadi khotib di masjid di kampung itu,” katanya. Suharto bercerita bahwa Teddy sangat persuasif. Saat itu Astra akan membeli lahan di kampung itu.
Peter Gontha, kini duta besar di Polandia, menyebut Teddy Thohir dengan singkat. “Luwes dan tidak punya musuh,” katanya. Gontha mengaku berteman akrab dengan Teddy. Ia dan Teddy beserta sekitar sembilan orang taipan sering berjalan bersama. Kelenturan, tekad, keberanian, dan keteguhan membuat Teddy telah berevolusi dari anak miskin menjadi profesional hingga menjadi seorang pengusaha. Ia merintis bisnis di bawah naungan TNT. Tak hanya itu, ia juga mampu mendidik anak-anaknya agar bisa terbang namun tetap berpijak di bumi. Boy dan Erick disekolahkan di Amerika Serikat. Tentang anak-anaknya, suatu saat Teddy bercerita bahwa ia sengaja menyekolahkan anak-anaknya hingga SMA tetap di Indonesia. “Agar mereka memiliki jaringan yang baik,” katanya. Bahkan sengaja menyekolahkan di sekolah negeri dengan risiko terkena bully. “Agar mereka bisa survive dan mampu mengatasi masalah karena nantinya mereka akan berada di tengah-tengah bangsanya sendiri,” katanya. Tak hanya itu, ia juga mengajarkan anak-anaknya agar berpijak pada agama Islam secara baik, bahkan memiliki prinsip-prinsip keluarga yang harus terpatri dengan kuat.
Teddy adalah fenomena berkah kemerdekaan Indonesia. Robert van Niel, dalam buku Munculnya Elit Modern Indonesia, menulis bahwa elite tradisional Indonesia berorientasi kosmologis. Sedangkan elite modern berorientasi kemakmuran, karena pengaruh pendidikan. Elite modern pertama lahir berkat politik etis pemerintah kolonial Belanda. Namun yang bisa sekolah hanya kaum ningrat saja. Kemerdekaan Indonesia mengubah segalanya. Semua rakyat Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah. Sehingga elite modern yang muncul setelah kemerdekaan lebih beragam latar belakangnya. Namun Teddy memang istimewa. Jika umumnya berorientasi menjadi pegawai negeri, ia justru bekerja di perusahaan swasta yang belum menjadi pilihan menarik saat itu. Pilihan itu membawanya menjadi seorang pengusaha dan kini diteruskan anak-anaknya sehingga mereka menjadi konglomerat Indonesia. Erick selalu ingat pesan ayahnya: “Jaga nama baik, karena itu yang utama.”
Kesempatan bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja. Bergiat dan beranilah menjemput masa depan dengan modal di badan kita sendiri. Teddy Thohir sudah membuktikannya. Dia dan keturunannya menjadi gelombang baru anak negeri yang masih harus memperbesar lapis entrepreneurshipnya, terutama dari generasi Muslim.