REPUBLIKA.CO.ID, Apakah faktor kebetulan saja Allah menciptakan manusia dengan dua mata, dua telinga, dan hanya satu mulut?
Tidak ada ketidaksengajaan dalam penciptaan, semua dibuat sesuai rencana, disertai maksud. Dari penciptaan manusia, kita melihat betapa Allah memberi pesan tersirat agar manusia banyak mendengar, melihat, serta belajar dari apa yang menyapa panca indra, dan yang terpenting, memilih lebih sedikit berbicara.
Apa yang kita dengar dan lihat hanya berimbas pada diri pribadi. Akan tetapi begitu mulut terbuka, dan lidah digerakkan, pengaruhnya akan besar pada lingkungan. Sebab lidah lebih tajam dari pedang. Sebilah pedang bisa melukai dan diperlukan waktu beberapa bulan untuk memulihkan. Namun luka yang disebabkan ketajaman lidah melahirkan sayatan dalam yang sangat mungkin abadi.
Tidak hanya itu, sepotong lidah sanggup menggerakkan ribuan pedang dan jutaan peluru ke medan perang. Dengan lidah, Hitler mengobarkan perang Dunia ke-2 yang menelan korban hingga puluhan juta nyawa. Dengan lidah pula Winston Churchil berhasil mengajak Amerika untuk bersekutu mengalahkan Axis.
Meski demikian lidah pun bukan kekuatan yang mudah dikendalikan. Mulutmu harimaumu. Jika seseorang sanggup mengendalikan seekor harimau, nyaris tidak ada manusia akan berani mendekat, atau terpancing melawan. Akan tetapi begitu harimau lepas kendali, tidak mustahil yang bersangkutan sendiri menjadi korban.
Lidah menjadi senjata makan tuan. Sebagaimana pepatah: Karena mulut badan binasa, karena mulut kepala terpenggal.
Suatu saat, Umar bin Khattab yang melihat Khalifah Abu Bakar berusaha menarik lidah dengan tangannya, serta-merta bertanya,
"Wahai Khalifah, apa yang engkau lakukan?"
"Ini (lidah) mendatangkan padaku jalan kebinasaan."
Sang Khalifah paham, ketidakmampuan menjaga lidah bisa menyebabkan manusia terjerumus ke neraka. Sebagimana sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa menjamin bagiku apa yang di antara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang di antara dua kakinya (kemaluan), niscaya akan aku jamin baginya surga."
Lidah tidak bertulang. Bagian tubuh ini memang dirancang elastis, mudah bergerak dengan leluasa. Bisa menyampaikan hal baik ataupun buruk. Semua tergantung pemiliknya.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, lidah orang berakal berada di belakang hatinya, sedangkan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya. Sederhananya, orang bodoh berkata dulu baru berpikir, orang pintar berpikir sebelum memutuskan mana yang harus disampaikan dan mana yang tidak.
Dalam ungkapan lain, khalifah keempat ini juga menyampaikan, al-lisanu mizan al-insan, lisan adalah ukuran kemanusiaan. Apa yang terucap merupakan cerminan dari apa yang ada di dalam pikiran. Mungkin mirip analogi, apa yang keluar dari teko tergantung isi teko tersebut.
Karenanya Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, hendaklah ia bertutur kata yang baik, atau lebih baik diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diam adalah emas, kecuali ada kata-kata baik untuk diucapkan.
Terkait ini, Lukman Al Hakim pernah diminta menyembelih kambing dan memilihkan bagian terbaik dari hewan tersebut untuk tuannya. Lelaki bijak itu memberikan lidah dan qalbu (hati).
Lalu Lukman Al Hakim diminta menyembelih kambing sekaligus memilih bagian terburuk dari hewan tersebut untuk tuannya. Lelaki bijak itu sekali lagi memberikan lidah dan qalbu (hati).
Sang majikan yang heran kemudian bertanya alasan Lukman memberikan organ yang sama ketika diminta memisahkan bagian terbaik dan terburuk dari kambing yang di sembelihnya.
Lukman menjelaskan tidak ada sesuatu yang lebih baik dari lidah dan qalbu, jika keduanya baik, dan tidak ada sesuatu yang lebih buruk, jika keduanya buruk.
Pada akhirnya, merupakan kemestian bagi siapa saja untuk terus belajar menata lidah dan hati sepanjang hidup, agar terjaga sampai ke surga. Sebab kegagalan menjaga keduanya, akan melemparkan seorang hamba dalam jurang kehinaan di dunia dan akhirat.