Selasa 14 Mar 2017 06:00 WIB

Malala: Oase di Bumi yang Tandus (II)

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Di samping oase, Malala adalah juga seorang petarung sejati untuk kepentingan pendidikan anak usia sekolah yang banyak terlantar di berbagai belahan bumi. Bahkan fenomena pekerja anak-anak dengan upah murah bukanlah sesuatu yang asing, demi kelangsungan hidup keluarga miskin dan telantar. Oleh sebab itu ketika rezim Taliban meremehkan dunia pendidikan, terutama pendidikan bagi perempuan, semangat tempur Malala tidak bisa dibendung lagi, apalagi ayahnya seorang pendidik dan diplomat.

Suatu ketika Malala mengatakan: “…kita tahu bahwa kelompok teroris takut kepada kekuatan pendidikan.” (Lih. Mishal Husain, “Malala: The girl who was shot for going to school,” BBC News, 7 Oktober 2013). 

Saat Malala sedang tergeletak di rumah sakit militer di Peshawer, ayahnya Ziauddin Yousafzai datang sambil berucap: “Saya tatap wajahnya, saya hanya menunduk, saya cium keningnya, hidungnya, dan pipinya…dan kemudian saya katakan, ‘Engkau adalah puteri kebanggaanku. Saya bangga denganmu.’’’ (Ibid.). Ketika ditanya tentang ketahanan mental puterinya, Ziauddin menjawab: “Karena saya tidak memotong sayapnya.” Ziauddin pernah bertugas sebagai atase pendidikan Pakistan di Birmingham, juga sebagai penasehat khusus PBB untuk pendidikan global.

Dalam pidatonya di PBB pada 12 Juli 2013 yang diawali dengan menyebut Bismillahirrahmnirrahim, Malala sangat menekankan pentingnya pendidikan bagi semua anak di seluruh negara, sesuatu yang dilecehkan oleh Taliban. Tetapi Malala tidak membenci Taliban: “Saya bahkan tidak benci kepada anggota Taliban yang menembak saya. Bahkan jika ada senjata di tangan saya dan dia berdiri di depan saya, saya tidak akan menembaknya. Ini adalah sifat belas-asih yang saya pelajari dari Muhammad—nabi penyebar rahmat, dari Jesus Kristus, dan dari Buda yang agung.”

Kemudian dalam pidatonya di PBB itu Malala melanjutkan: “Saya ingat ada seorang bocah di kelas kami yang ditanya oleh wartawan, ‘Mengapa Taliban menentang pendidikan?’ Dengan cara sederhana bocah itu menjawab dengan menunjuk kepada bukunya sambil berkata: ‘Seorang Talib [anggota Taliban] tidak tahu apa yang tertulis dalam buku ini.’” Pengikut Taliban itu “mengira bahwa Tuhan itu kecil, makhluk konservatif alit yang akan mengirim anak perempuan ke neraka semata-mata karena pergi ke sekolah. Para teroris sedang menyalahgunakan nama Islam dan masyarakat Pashtun [nama salah satu suku di Pakistan] untuk kepentingan dirinya sendiri,” imbuh Malala.

Dijelaskan lebih jauh bahwa: “Pakistan adalah negeri demokratik yang cinta damai. Rakyat Pashtun menginginkan pendidikan untuk anak-anaknya, perempuan dan laki-laki. Dan Islam adalah agama perdamaian, kemanusiaan, dan persaudaraan. Islam mengatakan bahwa bukan hanya merupakan hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan, tetapi itu semua merupakan kewajiban dan tanggung jawabnya.”

Nurani Malala demikian tersiksa oleh kenyataan banyaknya belia yang terlantar, tidak dapat pergi ke sekolah oleh berbagai halangan. Kita kutip: “Di banyak bagian dunia, khususnya di Pakistan dan Afghanistan, terorisme, perang, dan konflik telah menghalangi anak-anak pergi ke sekolah. Kami benar-benar kelelahan akibat perang. Kaum perempuan dan anak-anak sedang menderita di berbagai bagian dunia dengan cara yang bermacam-macam. Di India, anak-anak tak berdosa dan miskin adalah korban  akibat kerja usia anak. Banyak sekolah telah dirobohkan di Nigeria….Kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, rasisme, dan perampasan hak asasi merupakan masalah utama yang tengah dihadapi oleh laki-laki dan perempuan.” 

Di bagian akhir pidatonya, Malala berseru: “Oleh sebab itu mari kita lancarkan perjuangan melawan buta huruf, kemiskinan, dan terorisme, dan mari kita tenteng buku dan pena kita. Mereka adalah senjata kita paling dahsyat. Seorang anak, seorang guru, sebuah pena, dan sebuah buku dapat mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan paling utama.”

Pidato Malala ini didengarkan dengan tekun dan antusiasme yang tinggi oleh para belia yang hadir di gedung PBB itu, termasuk juga hadir sekjennya kala itu: Ban Ki-moon. Berkali-kali tepuk tangan panjang mengiringi Malala selama menyampaikan pidato dalam yang usianya ketika itu baru 16 tahun. Mulai tahun 2013 itu namanya sudah mulai diusulkan sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel yang kemudian dimenangkannya bersama Kailash Satyarthi (60), pegiat dan pejuang hak pendidikan anak dari India.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement