REPUBLIKA.CO.ID, Namanya Novel Baswedan. Kariernya dimulai di kepolisian, namun kini lebih terkenal sebagai penyidik di KPK. Badannya tambun, mukanya bulat, dan kepalanya botak. Namun ia menjadi idola bangsa Indonesia. Padahal dia hanya pegawai menengah. Namun jiwa, kemampuan, dan mentalnya yang membuat dirinya ditakuti para koruptor. Berkali-kali ia menjadi sasaran pencelakaan atau bisa juga sasaran pembunuhan. Ia juga terus diincar untuk dipidanakan atas perbuatannya ketika menjadi reserse di kepolisian. Namun dukungan kuat publik, dan tentu dukungan itu datang karena rekam jejaknya, membuat dirinya bisa lolos dari semua itu.
Kabar itu datang bak sengatan lebah di tengkuk. Menyentak dan membuat kita sakit sekujur tubuh. Adrenalin terpacu, kelenjar air mata tertekan, tapi juga kepala panas mendesak. Biadab. Cuma satu kata itu yang banyak terucap. Wajah Novel disiram orang tak dikenal di remang subuh usai dirinya melaksanakan Shalat Subuh di masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Cairan itu oleh polisi disebut sebagai H2SO4 alias asam sulfat. Pipinya terlihat terbakar. Dua matanya bengkak. Ada informasi satu matanya kemungkinan rusak permanen, dan satu matanya lagi masih bisa diobati. Akhirnya ia dirujuk ke rumah sakit di Singapura. Semoga ia bisa segera pulih kembali dan bisa bertugas lagi memburu koruptor.
Orang menduga-duga dan berspekulasi. Siapa pelakunya dan siapa yang menyuruhnya. Polisi sedang bekerja keras untuk mengungkapnya. Segala kemungkinan layak disisir, termasuk bisnis jilbab online istri Novel. Terasa lucu, namun kita harus bersangka baik. KPK sendiri sedang menangani banyak kasus, yang sudah dipublikasikan maupun yang masih belum diungkap ke publik. Yang lagi rame adalah kasus korupsi KTP elektronik. Kasus ini menyembulkan banyak nama besar, termasuk Setya Novanto. Bahkan ketua DPR ini sudah dicekal.
Di luar itu ada keriuhan soal pengunduran jadwal pembacaan tuntutan kasus penodaan agama oleh Ahok. Awalnya adalah permintaan Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan. Lalu dikukuhkan oleh pernyataan jaksa. Dalam sidang, jaksa beralasan bahwa pihaknya belum mengetik tuntutan itu. Lucu? Silakan tertawa. Juga ada kekisruhan video kampanye pasangan Ahok-Djarot. Ada suara mirip suara Djarot dengan langgam pidato Bung Karno. Materi video itu diberi judul Beragam Itu Basuki-Djarot. Yang jadi soal adalah gambar-gambar video itu. Video itu seolah setting kerusuhan 1998. Kerusuhan itu ditafsirkan dilakukan massa Islam dan orang Tionghoa sebagai sasaran dan korbannya. Tentu saja ini tuduhan koplak dan menunjukkan kebodohan, juga bersifat provokatif dan destruktif. Hal itu terlihat dari sikap publik yang mengecam keras materi kampanye itu.
Semua spekulasi itu bersifat liar. Sebaiknya kita menunggu hasil kerja polisi. Bahwa tragedi Novel ini bisa meredam pemberitaan video pandir dan penundaan tuntutan memang benar. Tapi mengaitkan semua itu adalah kegegabahan dan sangat konspiratif. Kasus yang disidik Novel juga tak hanya kasus KTP elektronik. Yang lebih penting adalah bahwa serangan balik koruptor itu memang nyata. Yang harus lebih kita perhatikan adalah bahwa negeri ini memang barbar.
Pembunuhan politik di Indonesia sebetulnya sudah lazim. Tapi kita tak pernah mengakuinya. Yang fenomenal adalah kasus Munir, tentu yang terdahsyat adalah pembunuhan tujuh pahlawan revolusi pada 1965 dan pembunuhan kiai-kiai dengan kedok dukun santet. Selebihnya ditutup-tutupi atau keluarganya tak ingin dijadikan objek. Karena itu pembunuhan politik di Indonesia bersifat laten. Diam-diam bangsa Indonesia juga melazimkan kerusuhan politik yang berujung pembantaian seperti kasus di Kalimantan, Maluku, Sulawesi Tengah, 1998, dan sebagainya. Hanya kasus Munir yang relatif terang, walaupun tak terang benar. Selebihnya gelap. Karena itu pembunuhan politik menjadi kebiasaan dan kelaziman.
Tak ada bangsa yang besar dan maju yang dibangun di atas fondasi ketidakjelasan. Semua bangsa maju selalu terang dan jelas dasar pijakannya. Revolusi Prancis, Perang Sipil Amerika Serikat, Restorasi Meiji adalah di antara kisruh bangsa-bangsa besar yang terang dan jelas. Jelas hitam-putihnya, terang beauty and the beast-nya. Gunnar Myrdal memiliki istilah yang pas untuk negara yang tak bisa membawa kemajuan: soft state. Ekonom peraih Nobel itu, dalam buku magnum opusnya Asian Drama, menyebut negara yang lembek sebagai negara yang bersikap lunak terhadap penyimpangan sosial, bahkan dalam situasi yang menuntut untuk tegas, termasuk soal korupsi. Akibatnya, hal itu melemahkan kemampuan negara dalam menegakkan hukum. Semua itu akibat dampak kolonial yang menghancurkan kekuatan lokal, seperti kelembagaan dan nilai-nilai budaya.
Kasus Novel harus menjadi kasus yang terakhir. Pemerintah harus bisa mengungkap hingga ke dalangnya. Karena ketidakjelasan hanya akan melanggengkan kelaziman pembunuhan politik dan kerusuhan politik. Tak hanya itu, ketidakjelasan hanya akan menjadi narasi bagi pihak-pihak tertentu untuk memproduksi dusta demi kepentingan politiknya. Bahkan kelembekan itu hanya membuat sejarah bangsa kehilangan titik asalnya. Tentu saja, yang terpenting adalah menjadi bangsa yang tidak bisa beranjak maju karena mengalami involusi, jalan di tempat, di segala bidang.
Bung Karno memiliki istilah yang lebih lokal: bangsa tempe. Tapi istilah ini lebih kepada mentalitas personal. Karena Sukarno menjejerkan bangsa tempe dengan kerja keras, bangsa kuli, dan kerelaan menderita demi mencapai cita-cita. Sehingga bangsa tempe dimaknai sebagai bangsa yang tak mau kerja keras, bangsa yang menghamba, dan tak mau menderita untuk mencapai cita-cita. Namun pada titik tertentu, konsep Myrdal bisa bertemu. Karena ujung dari soft state adalah lemahnya disiplin sosial, yang dekat dengan kerja keras. Kita harus rela menderita dan sakit untuk mengamputasi koruptor dan petualang politik. Kasus Novel harus menjadi titik pijak untuk memotong mereka dengan menegakkan hukum.
Tanpa menjadi strong state maka kita akan membiarkan para pencipta rusuh akan tetap senyum berpesta harta dan kuasa.