Sabtu 13 May 2017 06:00 WIB

Islam, Nasionalisme, Kebinekaan, dan Pancasila

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Semalam saya bermimpi, berjumpa Bung Tomo yang tampak gundah. Sepasang matanya yang menatap saya, memancarkan begitu banyak ketidakmengertian.

“Apa yang membuatmu risau, wahai Pahlawan?” Tanya saya seketika.

“Aku justru ingin bertanya apa yang sebenarnya sedang terjadi?” Sosok karismatiknya balik bertanya. Tekanan pada kalimatnya menyiratkan beliau tidak memerlukan jawaban.

Dan benar, tanpa menunggu penjelasan dari saya, dengan lantang ia melanjutkan, “Kenapa ada yang menganggap berislam berarti tidak nasionalis, bukan pancasilais, bahkan antikebinekaan? Apakah saya juga dianggap seperti itu hanya karena meneriakkan Allahu Akbar setiap kali menyerukan perjuangan? Lalu, apakah pejuang yang bersemangat meneriakkan takbir juga dicap demikian?”

Ah. Benar. Lelaki yang dijuluki Jenderal Kancil oleh Bung Karno itu selalu mengumandangkan takbir. Bahkan perang Surabaya dikobarkan dengan dukungan ulama dan deklarasi “Resolusi Jihad” yang direstui KH Hasyim Asy’ari dan kalangan ulama di Jawa Timur.

Bung Tomo bukan satu-satunya. Jenderal Sudirman, selain menggemakan takbir saat memimpin perang, kerap mengutip kalimat “Isy Kariiman Aumut Syahidan” yang berarti “Hidup mulia atau mati syahid.” Sang panglima dalam setiap pidatonya juga gemar mengutip ayat-ayat Qur’an yang banyak mengandung kata “Jihad”, seperti surah Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta al-Baqarah ayat 154.

Jenderal Besar Sudirman di masa perjuangan dikenal sebagai sosok relijius. Begitu taatnya sang panglima kepada ajaran Islam, anak buahnya biasa menyapa ‘Kajine’ atau ‘Pak Haji’, padahal sang pemimpin belum pernah mengunjungi Tanah Suci Mekkah. Sepanjang gerilya, setiap kali singgah di pedesaan, ia tekun menyelenggarakan pengajian. Bahkan, walau didera penyakit paru-paru akut, senantiasa menunaikan shalat tahajud.

Mantan guru Muhammadiyah ini erat menjalin hubungan kerja sama dengan pesantren-pesantren dan Laskar Hizbullah (tentara Allah). Pun, banyak santrinya ikut berjihad dalam Pertempuran Ambarawa.

Pertemuan singkat dalam mimpi dengan lelaki pejuang itu memantik ingatan akan sejarah tanah tumpah darah tercinta. Bukankah Islam justru erat dengan perjuangan, nasionalisme, kebinekaan, dan juga Pancasila?

Ketika Panglima Sudirman mengutip ayat Quran dalam perjuangan, melibatkan Laskar Hizbullah melawan penjajah. Ketika gaung Allahu Akbar mengiringi Bung Tomo dalam pertempuran, mereka sepenuhnya menyadari yang diperjuangkan adalah Negara Republik Indonesia, yang berasaskan Pancasila. Mereka paham bahwa warga negara yang harus mereka lindungi, bukan hanya muslim, melainkan termasuk anak bangsa penganut agama berbeda.

Para pahlawan nasional tersebut tidak mempermasalahkan asas negara karena nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah bagian dari nilai-nilai Islam. Dan mereka pun memahami keharusan untuk melindungi masyarakat tanpa mempedulikan suku, ras, dan agama justru merupakan bentuk penghargaan tertinggi atas kebinekaan. Seperti itulah ajaran Islam, bukan sekadar menghormati perbedaan, tapi juga melindungi.

Karenanya, mengherankan ketika muncul sebagian orang yang mempertanyakan keindonesiaan sesama warga negara hanya karena menyukai sesuatu yang berbau Islam atau bernuansa Islam.

Atau mereka yang menganggap bahwa bersorban itu kearab-araban. Lupa bahwa pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Antasari, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, mengenakan sorban dalam keseharian. Apakah karenanya mereka kemudian menjadi tidak nasionalis? Apakah perjuangan sosok-sosok mengagumkan itu dalam mengusir Belanda atau membangun negeri ini lalu diabaikan hanya karena gaya berpakaian?

Ada juga yang mencemooh lelaki Muslim yang memiliki janggut, padahal bagi banyak muslim ini adalah upaya mengikuti sunah Rasul. Barangkali segelintir yang menjadikan hal tersebut lelucon lupa, para pejuang seperti Haji Agus Salim, Hasyim Asy’ari, Tuaku Imam Bonjol, juga memelihara janggut.

Bukankah menghormati kebinekaan berarti memberi kebebasan kepada setiap orang, salah satunya, berpakaian sesuai pilihan sepanjang tidak melanggar etika moral dan kesopanan?

Lebih parah lagi, kini ada sesama putra bangsa yang memandang kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai suatu masalah. Padahal, Indonesia merdeka karena semangat Islam, karena nilai-nilai Islam yang dianut para pahlawan di masa perjuangan.

Sungguh lucu menemukan segelintir anak bangsa yang merasa dirinya lebih Indonesia dari yang lain, lebih nasionalis dari yang lain, padahal peran mereka dalam kehidupan belum ada apa-apanya dibanding jejak gegap gempita deret pahlawan di atas, dan masih banyak nama lain yang mengusung semangat serupa.

Segelintir orang yang anehnya masih saja mengulang kalimat ini: bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement