Ahad 29 Oct 2017 05:00 WIB

Surga Buku di Negeri Minim Minat Baca

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Sudah lebih dari sebulan berdiri, namun gaungnya belum terasa kuat. Berita yang seharusnya menjadi viral, justru sepi di media sosial. Indonesia semestinya bangga akhirnya mempunyai gedung perpustakaan tertinggi di dunia. Sebuah bangunan mewah yang berdiri megah tepat menghadap Monas, di Jalan Medan Merdeka Selatan.

Gedung yang terdiri atas 27 lantai, termasuk basement dengan ketinggian 126,3 meter ini, mengalahkan rekor perpustakaan tertinggi sebelumnya, yaitu Shanghai Library Insitute, yang memiliki ketinggian mencapai 106 meter. Desain Gedung Perpustakaan Nasional sangat modern, ramah anak, lansia, dan difabel serta menawarkan kenyamanan bagi pengunjung.

Sebelum masuk ke bangunan, mereka yang datang akan menjumpai semacam ruang seperti museum. Terdapat bilik yang menampilkan riwayat baca bangsa Indonesia. Mamamerkan naskah-naskah kuno, huruf dalam berbagai tradisi suku bangsa, dan berbagai sejarah pustaka. Sudut lain menyajikan perkembangan media penulisan serta barang-barang yang menjadi saksi sejarah, seperti media tulis bambu, kayu alim, daun lontar, gebang, daluwang, kertas Eropa, hingga kertas Cina.

Begitu masuk di lobi, pengunjung akan berhadapan dengan rak penuh buku yang menjulang tinggi nyaris mencapai 30 meter atau setara empat lantai. Setiap lantai memberikan pelayanan yang berbeda-beda, pengunjung bisa memilih layanan apa yang dibutuhkan. Ada audio visual, layanan koleksi buku langka, layanan koleksi naskah, layanan koleksi foto, peta dan lukisan, koleksi monograf, layanan koleksi anak lansia, disabilitas, layanan multimedia, dll.

Suasana ruang baca didesain senyaman mungkin agar pengunjung bisa membaca dengan khusyuk dan berlama-lama. Aneka sofa warna-warni berukuran minimalis tersebar di seantero ruangan, melengkapi belasan rak buku yang berjajar rapi. Bagian tangga tak lepas dari sentuhan kekinian. Jika pengunjung perpustakaan suka membaca buku di tangga, mereka tinggal menggunakan bantal duduk. Bagi anak-anak disediakan ruang baca yang santai sekaligus tempat bermain.

Tentu saja, keberadaannya menjadi kabar gembira untuk kita yang dinyatakan sebagai bangsa dengan minat baca terendah kedua di dunia, menempati urutan ke-60 dari 61 negara, berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu.

Tentu saja, tidak mudah menuntaskan gedung Perpustakaan Nasional tersebut, dan jelas tidak murah. Untuk membangunnya, dibutuhkan biaya sekitar Rp 465,2 miliar.

Sekadar gambaran betapa besarnya uang tersebut, saya akan membandingkannya dengan Rumah Baca (perpustakaan dhuafa) Asma Nadia. Sejak lama saya mendekap impian untuk mendirikan 1000 rumah baca, tetapi sejauh ini baru dibuka sekitar 229 perpustakaan dhuafa. Anggap rata-rata rumah baca membutuhkan sekitar Rp 5 juta (kadang cukup Rp 2 juta atau Rp 3 juta) untuk awal pendiriannya dengan bantuan relawan.

Maka, uang sebesar Rp 465,2 miliar bisa digunakan untuk mendirikan 93.040 rumah baca. Jika rata-rata rumah baca mampu menyentuh sekitar 50 anak di daerah tertinggal, dana sebesar sangat mungkin menjangkau 4.652.000 anak Indonesia. Jumlah yang fantastis, menggembirakan, bahkan meski sekadar dibayangkan.

Tentu saja, sekarang tantangannya adalah membuat perpustakaan megah dan lengkap serta nyaman ini menjadi ramai. Karena sejauh ini, perpustakaan dengan daya tampung mencapai 20 ribu pengunjung baru menarik ratusan orang per hari. Pemerintah dan semua pegiat literasi harus mampu membuktikan bahwa keberadaan perpustakaan dengan kapasitas luar biasa tersebut adalah kebutuhan, kemestian, dan buah pemikiran visi masa depan.

Jangan sampai keberadaan perpustakaan yang begitu membanggakan ini—meminjam istilah Helvy Tiana Rosa dalam filmnya yang sedang tayang di bioskop—menjadi Duka Sedalam Cinta. Kita mencintai buku-bukunya, tapi berduka sebab minim pembacanya. Untuk meramaikannya, mari membagi tautan ini juga berita lain terkait perpustakaan nasional, viralkan bersama.

Lalu, jadikan perpusnas sebagai salah satu tujuan wisata utama bersama bagi anak-anak dan sekolah. Saya sudah membuat jadwal wisata ke perpusnas dan segera membuat kartu keanggotaan. Semoga rekan pun demikian.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement