Sabtu 10 Feb 2018 07:36 WIB

Bunda, Ini Impian Siapa?

Anak-anak bukan milik kita, mereka titipan Allah kepada kita.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Kartika kecil tahu, untuk menggapai impian ia harus sekolah tinggi, karena itu gadis ini selalu belajar dengan tekun. Di saat banyak anak seusianya sibuk bermain dan menonton televisi, Kartika sibuk dengan buku, alat tulis, dan mengerjakan tugas sekolah.

Sekolah dasar dilaluinya dengan penuh prestasi. Juga jenjang menengah pertama. Pada masa SMA, saat banyak remaja galau dengan percintaan dan pergaulan, Kartika tetap berprestasi hingga akhirnya ia diterima di sebuah perguruan tinggi negeri.

“Kamu membuat orang tua bangga.” Begitu kalimat yang disematkan ayah bundanya.

Kartika tidak puas, ia ingin mencapai lebih. Ia punya impian besar. Segera saja gadis itu menyampaikan tekadnya pada kedua orang tua.

“Ayah, Bunda. Tika ingin kuliah di luar negeri. Semua ujian sudah Tika pelajari. Insya Allah bisa.” Mata sang gadis berpendar ketika mengucapkannya. Ia tahu akan mampu membuat orang tuanya lebih bangga lagi.

Namun, jawaban sang orang tua, sungguh di luar dugaan. “Tika, anak perempuan tidak boleh sekolah di luar negeri!” kata sang ayah menegaskan.

Tika memandang ibunya yang melihat anak gadisnya dengan penuh iba. Tika membutuhan dukungan. Tapi, keputusan ayah begitu kuat hingga sang ibu tak berdaya mengubah pendiriannya.

Tika tidak punya pilihan kecuali menyelesaikan kuliah di dalam negeri. Gadis itu harus menguburkan impiannya dalam-dalam. Tidak ada kesempatan baginya kuliah di luar seperti yang selama ini bermain dalam benaknya. Bukan karena universitas di Tanah Air tidak bersaing melainkan karena keinginan membuktikan diri di luar dan melihat dunia.

Hati Tika semakin gundah melihat dua saudaranya berhasil diterima di luar negeri, satu kuliah di Jerman dan satu kuliah di Amerika. Bukan iri, melainkan ada rasa duka karena impian itu sebenarnya sesuatu yang mampu ia capai tapi gagal, hanya karena ia perempuan, hanya sebab dilarang orang tua.

Lulus kuliah, sebagaimana teman lainnya, Tika mencari kerja. Sebagaimana teman lainnya juga, ia menikah dengan lelaki kebanyakan, teman saat kuliah dan bekerja di perusahaan setelah lulus kuliah. Alhamdulillah mereka dikaruniai seorang bidadari cantik.

Jadilah mereka pasangan yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, juga merawat anak. Mereka mapan, tapi tidak kaya raya. Hanya berkecukupan.

Manusia punya rencana, Allah juga punya rencana. Krisis tahun 1998 menimpa Indonesia, dan Kartika menjadi salah satu korbannya. Suaminya dipecat dari pekerjaan, dan perusahaan tempatnya bekerja juga terombang-ambing hingga ia harus berhenti. Memenuhi susu anak kini jadi kendala.

Kartika tidak tahu harus memulai dari mana hingga sebuah peluang datang tanpa diduga. Seorang menawarkan jasa jahitan dan entah mengapa Kartika merasa bisa melakukannya. Ia memulai pesanan dengan dua kodi, lalu bertahap bajunya terjual hingga beribu-ribu potong.

Hidup yang awalnya sederhana kini mulai menanjak naik. Kartika kembali teringat impiannya. Kuliah di luar negeri. Tapi kali ini, tekadnya bulat bukan untuknya melainkan untuk anak perempuannya.

“Anakku, Bunda dulu tidak boleh kuliah di luar negeri karena perempuan. Tapi, kini kamu tidak perlu khawatir, Bunda akan dukung kamu kuliah di luar negeri.”

Untuk mewujudkan impian itu, Kartika bekerja keras siang dan malam untuk mengumpulkan pundi penghasilan demi bidadari kecilnya.

Sang Bunda juga mendisiplinkan anak perempuannya untuk giat belajar. Tidak ada malam yang boleh lewat tanpa mengerjakan PR, dan tidak ada rapor yang berwarna merah.

“Kamu harus rajin tidak boleh malas, nanti tidak dapat beasiswa ke luar negeri.”

Kartika bekerja begitu keras, mendisiplinkan anak begitu tegas, demi sebuah impian, anak perempuannya bersekolah di luar negeri. Impiannya yang pupus pada masa lalu.

Begitu keras Kartika mendidik dan bekerja justru akhirnya membuat anak-anak tertekan dan tak tahan lagi hingga memberi sebuah perlawanan.

“Bunda, kuliah di luar negeri kan impian Bunda, bukan impian aku!”

Kartika tersentak. Selama ini ia merasa telah berjuang untuk mewujudkan impian anaknya, tapi ternyata yang diperjuangkan justru impiannya sendiri.

Cerita di atas nyata. Sepenggal kisah dalam film Bunda, Kisah Cinta Dua Kodi yang sedang tayang di bioskop. Sebuah refleksi yang menyadarkan orang tua untuk kembali mengingat bahwa anak-anak bukanlah milik kita.

Kahlil Gibran mengatakan mereka hanyalah titipan Tuhan. Tugas setiap ayah dan bunda mewujudkan impian ananda, membimbing mereka mencapai masa depan dengan cara yang mereka cintai, dan sesuai tuntunan Ilahi. Bukan dengan mendikte dan menguasai.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement