REPUBLIKA.CO.ID Istilah wasathiyah kini sedang jadi primadona. Di mana-mana, di seminar-seminar, diskusi, sarasehan atau pertemuan-pertemuan lain — baik nasional maupun internasional — yang membahas terorisme, radikalisme, dan istilah-istilah lain tentang kelompok garis keras, wasathiyah dikupas tuntas dari berbagai sisi. Wasathiyah seolah telah menjadi obat mujarab untuk berbagai penyakit yang meresahkan masyarakat internasional.
Mesir menarik diri dari pemerintahan Ikhwanul Muslimin (IM) yang dinilai tidak cocok karena menempuh garis keras. Bahkan IM kini mereka anggap sebagai kelompok teroris yang harus dimusuhi. Mereka kini memeluk erat wasathiyah. Arab Saudi yang sempat sekian lama direpotkan oleh pemahaman keagamaan garis keras dari para ulama Wahabi kini mengubah diri menjadi wasathiyah.
Coba bayangkan, bagaimana para ulama Wahabi itu mengharamkan perempuan menyetir mobil, pergi ke stadion, menonton pertunjukan musik, mengharuskan menutup muka ketika keluar rumah, dan fatwa-fatwa aneh lainnya yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama.Dan, ketika fatwa-fatwa itu dianggap sudah pada tingkat meresahkan, dan bahkan mengganggu modernisasi sesuai dengan Visi Saudi 2030, penguasa Saudi pun bertindak cepat dan tegas.
Dua lembaga keagamaan — Haiatu Kibar al Ulama dan Haiatu al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar — yang selama ini ‘mengatur’ kehidupan masyarakat Saudi pun mereka reformasi total. Anggota Haiatu Kibar al Ulama — berjumlah 21 ulama — yang beraliran keras mereka ganti dengan yang lebih moderat.
Sedangkan kewenangan Haiatu al-Amr bi al-Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar yang bertindak sebagai polisi syariah pun mereka pangkas. Sejumlah anggotanya juga mereka ganti dengan yang lebih toleran. Kini sebuah kantor megah di Riyadh yang dijadikan pusat penyebaran wasathiyah pun mereka dirikan.
Di Indonesia, kemunculan dan tumbuh berkembangnya kelompok-kelompok radikalis juga telah meresahkan masyarakat. Sejumlah bom telah mereka ledakkan di berbagai kota besar, terutama di Jakarta dan Bali. Para ulama, tokoh masyarakat, lembaga dan ormas keagamaan pun sibuk menyampaikan penjelasan bahwa Islam tak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok garis keras, radikalisme, dan apalagi terorisme.
Kondisi ini diperpanas dengan situasi politik hingga seolah memecah masyarakat kepada dua kelompok besar yang serba ekstrem.Sejumlah pihak pun bicara tentang perlunya penguatan empat pilar -- Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Eka, dan NKRI -- dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar Indonesia tidak tercabik-cabik dalam serba ekstrem.
Bagi umat Islam, empat pilar itu sudah harga mati. Final. Hasil konsensus para pendiri negara, yang sebagian besar ulama. Konsensus bisa tercapai karena mereka menganut pemahaman Islam wasathiyah, didasarkan pada musyawarah untuk mencapai sepakat. Konsensus berarti bisa menerima dan memberi.Karena itu, empat pilar dalam berbangsa dan bernegara itu akan terus kokoh selama umat Islam yang mayoritas di negeri ini, memegang erat pemahaman dan sikap wasathiyah.
Kerukunan umat beragama di Indonesia itu ternyata telah dilirik oleh negara-negara lain. Indonesia dijadikan contoh. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim — bahkan terbesar di dunia —, namun mampu hidup harmonis dalam masyarakat yang pluralistik. Berbeda suku, agama, ras, dan golongan. Bandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah yang seagama dan sebahasa, namun terus berkonflik. Karena itulah wajar bila Presiden Afghanistan dan pihak-pihak lain di sana, seperti dituturkan Presiden Joko Widodo, ingin belajar dari Indonesia mengenai persatuan dan kesatuan ini.
Bahkan Grand Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Thoyyib berterus terang memuji Indonesia sebagai role model dari pelaksanaan moderasi Islam alias Islam Wasathiyah ini. Ia beberapa kali juga menyatakan akan terus membantu dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai mitra untuk mengembangkan moderasi Islam di masyarakat internasional.
Grand Sheikh Al Azhar telah tiga kali berkunjung ke Indonesia. Terakhir ketika menjadi pembicara kunci dalam acaraHigh Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasathiyyah Islam (HLS-WMS) selama tiga hari (1-3 Mei) di Bogor. Hajatan besar untuk menebarkan moderasi Islam ini digagas Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-agama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Prof Dr Din Syamsuddin. Lebih dari 100 ulama dan cendekiawan Muslim dari dalam dan luar negeri hadir.
Selama tiga hari berdiskusi, pertemuan para ulama dunia itu telah menelorkan Bogor Message, sebuah pesan dari Bogor untuk dunia. Menurut Profesor Din, semua peserta pertemuan berkomitmen untuk merevitalisasi atau memperkuat kembali paradigma Islam Wasathiyah. Ada tujuh poin dari Pesan Bogor, yang semuanya untuk menegaskan kembali tentang makna wasathiyah.
Yaitu, wasathiyah bermakna tawassuth. Ia merupakan jalan tengah yang lurus. Tidak ekstrem kanan dan kiri. Wasathiyah juga berarti i’tidal, berlaku proporsional, adil, dan tanggung jawab. Wasathiyah juga mengandung makna tasamuh, toleran, mengakui dan menghormati perbedaan dalam semua aspek kehidupan. Ia juga berarti syuro, bersandar pada konsultasi dalam menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus.
Wasathiyah juga membawa arti islah, terlibat dalam tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama. Berikutnya, wasathiyah juga bermakna qudwah, melahirkan inisiatif yang mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia. Terakhir, wasathiyah juga berarti muwathonah, mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan.
Kehadiran Grand Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Thoyyib pada acara HLS-WMS juga mempunyai makna tersendiri. Ia diundang langsung oleh Presiden Joko Widodo. Selain menjadi pembicara kunci, dalam kunjungan beberapa hari di Indonesia ia manfaatkan untuk menyampaikan tentang pentingnya wasathiyah dalam berbagai pertemuan. Di Solo ia bertemu dengan sekitar 500 alumni Al Azhar yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Ia menyapa mereka dengan ‘anak-anakku’.
Sheikh Al Azhar menegaskan, para alumni Al Azhar yang berjumlah lebih dari 30 ribu orang harus bisa bekerja sama dengan berbagai pihak. Mereka harus terbuka, tidak boleh eksklusif. Kepada Sheikh Al Azhar, Ketua Organisasi Internasional Alumni Al Azhar untuk Indonesia Tuan Guru Bajang (TGB) Dr H Muhammad Zainul Majdi menyampaikan bahwa para alumni Al Azhar berkhitmad dalam berbagai bidang.
Dari pebisnis, pendidik, birokrat, hingga politisi dan bidang-bidang lainnya. ‘’Namun ada satu hal yang tidak pernah kami lupakan, Ya Maulana, yaitu meskipun kami terjun dalam berbagai bidang sejatinya kami adalah dai. Dakwah yang kami sampaikan adalah Islam Wasathiyah seperti yang diajarkan Al Azhar,’’ ujar Gubernur NTB ini.
TGB sendiri sejak didaulat memimpin organisasi alumni Al Azhar tahun lalu terus berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia. Ia bersafari dakwah dan bersilaturrahim dengan para tokoh, ulama, dan kiai. Dalam berbagai kesempatan itu ia selalu menyampaikan tentang pentingnya wasathiyah di tengah masyarakat yang pluralistik ini. Wasathiyah bukan hanya di bidang keagamaan, namun juga dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya. Ia mengistilahkan apa yang ia lakukan adalah safari untuk menebar kebaikan.
Selain membahas wasathiyah dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, para kiai Pondok Modern Gontor, Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siroj, Sheikh Al Azhar juga menggalang koalisi wasathiyah di Indonesia. Antara lain dengan memberi tambahan beasiswa kepada para pemuda Indonesia untuk menimba ilmu di Al Azhar Mesir.