Sabtu 11 Aug 2018 12:32 WIB

Bijak Menghadapi Bencana

Bencana seperti gempa bumi sangat tidak patut dikaitkan dengan urusan politik.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi bencana terbesar di dunia.

Kalimat tersebut bukan tanpa alasan.

Potensi gempa di Tanah Air jauh lebih banyak dari negara lain, bahkan menyimpan jumlah gempa lebih banyak dari Jepang yang dikenal sebagai negara rawan gempa.

Salah satu sebab Jepang lebih terkenal dengan imej gempa karena Negari Matahari Terbit tersebut mengantisipasi gempa lebih serius, mendidik masyarakat lebih telaten, dan memberitakan gempa lebih rutin.

Sedangkan di Indonesia kesadaran terkait fenomena alam di atas, sekalipun membaik, tapi belum sekuat Jepang. Hal ini menjadi satu pekerjaan rumah, terutama sejak tren gempa di Indonesia sering kali menyentuh angka 6 sampai 7 pada skala Richter (SR). Walaupun belum sedahsyat gempa tsunami di Aceh yang sampai 9,3 SR, gempa di atas 6 SR memiliki daya rusak cukup tinggi, apalagi bila terjadi dekat permukaan tanah.

Belum lagi jika kita menghitung banyaknya gunung berapi di Tanah Air. Dalam beberapa tahun terakhir, letusan gunung berapi telah sering mengakibatkan kerusakan besar.

Selain gempa, fenomena alam badai dan angin juga menyisakan catatan potensi bencana yang tidak bisa diabaikan. Benar belum separah Amerika atau negara lain yang rutin diterpa bencana serupa, tetap saja harus diantisipasi.

Seluruh bencana yang diuraikan di atas termasuk bencana alam murni yang mustahil dihentikan dengan kekuatan manusia. Hanya bisa diantisipasi dan diminimalisasi dampaknya.

Jika ragam ujian alam di negeri ini ditambah dengan yang disebabkan kelalaian manusia, jumlahnya akan semakin tak terhitung.

Bencana asap muncul akibat pembakaran hutan atau hilangnya gambut basah karena pengairan yang tidak memperhatikan tingkat kebasahan gambut.

Banjir yang disebabkan tata kelola ruang yang tidak teratur rapi, atau akibat sampah yang menutupi aliran sungai. Bencana longsor akibat penggundulan hutan atau penggalian yang tidak memperhatikan stabilitas tanah.

Ragam bencana tersebut merupakan contoh bencana yang terjadi akibat kelalaian dalam menegakkan peraturan dan antisipasi kejadian alam yang kian rutin.

Lebih buruk lagi deret tersebut kini ditambah bencana tenggelamnya kapal yang merenggut ratusan jiwa. Jika sebelumnya berita kecelakaan angkutan umum didominasi moda transportasi darat dan udara, kini angkutan laut mulai melambungkan angka korban.

Sayangnya, masih banyak masyarakat juga pihak berwenang yang tidak menyikapi bencana dengan bijak.

Bencana kapal tenggelam yang harusnya menjadi evaluasi luas tentang tata kelola angkutan laut, disiplin pengawasan aparat yang berwenang, justru dihubung-hubungkan dengan kekuatan gaib penjaga danau yang ikut berperan dalam terjadinya bencana.

Lalu, ketika gempa beruntun terjadi dan masih mengancam di Lombok, sebagian masyarakat sibuk menghubungkan bencana dengan kepemimpinan daerah setempat yang dianggap 'menyimpang' secara politik.

Seharusnya, kita tak perlu mengembuskan sesuatu yang tidak kita ketahui. Lebih baik melibatkan diri membantu, menggalang dana, menyokong sebisanya, bukan sebaliknya asyik mereka-reka, membangun prasangka, yang tidak memiliki penjelasan ilmiah.

Berbeda jika sebuah bencana terjadi karena kelalaian, seperti kapal tenggelam, angkutan umum yang menimbulkan korban karena kurangnya pengawasan, tentu selain memobilisasi bantuan, kita boleh mempertanyakan pihak berwenang, agar pada masa mendatang musibah demikian tak terulang.

Akan tetapi, jika terjadi bencana murni akibat kondisi alam, seperti gempa, gunung meletus, angin topan atau badai, menghubung-hubungkannya dengan politik, apalagi klenik dan mistis, sungguh bentuk miskinnya empati selain tidak bertanggung jawab.

Perilaku demikian akan menghabiskan energi, menyakiti hati korban yang sudah menderita, serta mengganggu fokus penanganan bencana.

Berusaha selalu bijak menyikapi bencana alam, menyadari dari segi geografis dan geologis, memang besar peluangnya terjadi di Indonesia.

Tentu saja segenap lapisan harus memperkuat doa agar Allah selalu melindungi dari segala bencana, serta memberikan kekuatan bagi kita saat harus menghadapinya. Semoga pula Dia memberikan kearifan kepada seluruh anak bangsa untuk senantiasa mampu menyikapinya secara bijak.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement