Selasa 09 Jul 2019 07:23 WIB

Integrasi Nasional dalam Taruhan (I)

Kita tidak boleh menutup mata, pembentukan Indonesia sebagai bangsa belum final.

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Salah satu modal sosio-kultural yang teramat penting bagi kelanjutan hari depan Indonesia adalah manakala terpelihara dan kokohnya rajutan integrasi nasional. Masalah ini mesti selalu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh dalam menghadapi berbagai gejolak politik, ekonomi, dan sosial yang pernah, sedang, dan akan terjadi dalam kehidupan bangsa ini.

Kita tidak boleh menutup mata, pembentukan Indonesia sebagai bangsa belum final. Masih dalam proses menjadi, belum stabil benar. Dimulai sejak 1920-an saat pelajar dan mahasiswa dari berbagai suku sepakat merancang sebuah bangunan keindonesiaan sebagai sebuah bangsa baru di kawasan khatulistiwa yang permai dengan ribuan pulau dalam ukuran yang beragam.

Bukan saja ribuan pulau yang dilingkari laut biru yang luasnya sekitar dua pertiga dari keseluruhan wilayah Nusantara, etnisitas dan subkulturnya juga sangat kaya dengan karakteristiknya yang khas masing-masing. Situasi ilmu bumi yang terberi (given) seperti ini telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah benua maritim yang terluas di muka bumi.

Berbeda dengan daratan sahara Afrika yang tandus, sebagian besar bumi nusantara secara teratur didatangi hujan pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun. Etnisitas yang tebesar adalah suku Jawa dan Sunda, keduanya mendiami Pulau Jawa yang makin sesak dan padat ini. Etnis-etnis lain menempati pulau-pulau di luar Jawa yang jumlahnya ribuan itu.

Adalah karena “jasa penjajahan” Belanda, etnis-etnis (bisa juga dalam bentuk kerajaan-kerajaan) yang berserakan itu secara paksa ditundukkan, semula oleh pasukan VOC (Kompeni Hindia Timur), kemudian diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1799, saat VOC bangkrut karena korupsi. Maka Indonesia yang kita kenal sekarang adalah warisan penjajahan Belanda itu.

Dari sudut pandangan ini, saya termasuk yang tidak setuju Timor Timur diambil alih oleh Indonesia merdeka karena wilayah itu sebelumnya bukan bagian dari jajahan Hindia Timur Belanda. Dalam perspektif teori nasionalisme, pengambilalihan Timor Timur itu, apa pun alasannya, Indonesia telah memasuki tahap nasionalisme ekspansif, istilah lain dari imperialisme. Oleh sebab itu, lepasnya Timor Timur dari Indonesia tidak perlu diratapi, sekalipun anggota TNI telah banyak gugur di sana.

Masalah integrasi nasional jangan dikaitkan dengan lepasnya Timor Timur yang memang secara hukum internasional bukan milik kita. Wilayah ini adalah bekas jajahan Portugis selama lebih dari 400 tahun. Akan lain kejadiannya jika yang melepaskan diri itu adalah wilayah-wilayah yang dulu menjadi bagian dari Hindia Timur Belanda.

Dalam kategori ini termasuk munculnya gerakan-gerakan separatisme yang pernah mengancam anyaman integrasi nasional pada era pasca-proklamasi 1945. Segala corak ancaman ini dengan susah payah dan berdarah-darah telah dapat diatasi, sekalipun luka-lukanya belum sembuh secara sempurna.

Selain gerakan separatis yang berbahaya bagi integrasi nasional, bangsa ini juga pernah diterpa oleh berbagai bentuk bentrokan sosio-etnis, seperti yang meledak pada 1999 antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Dalam skala yang lebih kecil bentrokan serupa juga pernah terjadi di Lampung dan di tempat-tempat lain.

Ledakan-ledakan sosio-etnis ini harus dibaca dalam perspektif teori pembentukan bangsa Indonesia yang belum final itu. Fenomena ini harus disikapi dengan sangat hati-hati, arif, dan lapang dada. Semangat Sumpah Pemuda 1928 dengan triloginya itu perlu disosialisasikan terus-menerus tanpa henti.

Namun, itu belum cukup untuk menjaga integrasi nasional untuk jangka panjang. Syarat lain yang terpokok adalah pelaksanaan kongkret sila ke-5 Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia itu meliputi seluruh etnis yang tersebar di nusantara dengan tingkat sosial ekonomi yang belum merata. Mereka ini wajib merasakan keadilan itu. Tidak ada satu etnis pun yang boleh terlupakan dalam proses pemerataan pembangunan nasional.

Tantangan pemerataan ini ini sungguh berat di tengah keragaman pulau dan etnisitas yang jumlahnya sangat besar itu. Namun, inilah Indonesia yang juga terletak di lingkaran cincin gunung api yang tidak kurang mengancamnya dalam bentuk bencana alam. Kerusakan lingkungan alam yang makin parah sangat perlu pula mendapat perhatian khusus dari negara dan masyarakat secara keseluruhan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement