REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram
Salah satu tantangan paling krusial dari sebuah negara kerajaan adalah keterikatannya pada seorang raja. Apalagi bila sang raja mempunyai kekuasaan absolut, berkuasa sangat lama, hari kelahiran dan kenaikan tahtanya pun dijadikan hari nasional. Dan, ini yang menambah rumit, sang raja tidak mempunyai anak dan tidak mengangkat putra mahkota.
Itulah yang terjadi pada Oman, negara kesultanan yang penguasanya bergelar sultan. Negara Teluk ini sangat kaya dari minyak dan gas, berpenduduk sekira 4,5 juta jiwa, berada di pesisir tenggara Jazirah Arab, berbatasan dengan Uni Emirat Arab (UEA) di barat-laut, Arab Saudi di barat, dan Yaman di barat-daya. Penguasanya bernama Sultan Qaboos bin Said bin Taimur Al Said. Ia berkuasa selama 50 tahun, dari 23 Juli 1970 ketika mengkudeta ayahnya Said bin Taimur Al Said hingga meninggal dunia pada 10 Januari 2020 lalu.
Tak mengherankan bila kekuasaan yang sangat lama itu pun menjadikan Qaboos identik dengan Oman. Qaboos adalah Oman dan Oman adalah Qaboos. Saking identiknya, banyak pihak pun khawatir jika penggantinya kelak tidak sehebat Sultan Qaboos, yang telah membawa Oman sebagai negara modern dan sejahtera.
Hingga sakit-sakitan dan bolak balik ke rumah sakit dalam beberapa tahun terakhir, warga Oman sendiri pun tidak tahu siapa pengganti Sultan Qaboos kelak. Bahkan mungkin juga orang-orang dekat di lingkungan istana.
Tak seperti para penguasa Teluk lainnya yang terbiasa mempunyai beberapa isteri dan banyak anak, Sultan Qaboos hanya mempunyai dua isteri, Nawwal binti Tariq bin Taimur Al Said dan Shawana binti Nasir Al Said. Itu pun isteri keduanya ia nikahi setelah 26 tahun ia bercerai dengan isteri pertamanya. Dari kedua isteri yang juga sepupunya ini ia tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Yang semakin menjadi teka-teki tentang suksesi di Oman, lantaran Sultan Qaboos tidak pernah mengangkat seorang putra mahkota yang akan menggantikannya kelak. Maka, selama beberapa jam sejak Sultan Qaboos diumumkan telah meninggal dunia, para warga Oman — dan juga masyarakat internasional — pun menunggu dengan berdebar.
Untuk segera mengisi kekosongan kekuasaan, Dewan Pertahanan Oman lalu meminta Keluarga Kesultanan untuk segera mengadakan pertemuan darurat, buat membuka surat wasiat almarhum Sultan Qaboos. Pertemuan penting itu digelar pada Sabtu pagi, 11 Januari 2020, sebelum jenazah almarhum dimakamkan. Pertemuan itu di hadiri seluruh anggota keluarga Dewan Kesultanan dan Dewan Pertahanan Negara. Yang terakhir ini antara lain beranggotakan kepala lembaga-lembaga keamanan dan pertahanan negara.
Yang terjadi kemudian adalah detik-detik menegangkan. Dewan Keluarga Kesultanan meminta Dewan Pertahanan untuk mewakili keluarga, membacakan surat wasiat Sultan Qaboos. Surat wasiat ini tersegel. Tidak seorang pun tahu isinya, termasuk anggota keluarga terdekat dengan almarhum sekalipun. Lalu siapakah yang ditunjuk Sultan Qaboos sebagai penggantinya?
Sultan Qaboos tidak mempunyai anak. Ia hanya mempunyai saudara perempuan bernama Omaima binti Said bin Taimur Al Said. Namun, dalam tradisi Arab, tampaknya tidak mungkin menyerahkan kekuasaan kepada saudara perempuan berikut keturunannya.
Yang paling mungkin, Sultan Qaboos menunjuk salah seorang dari para sepupunya keturunan dari Taimur Al Said. Keturunan Al Said telah berkuasa secara turun temurun sejak sekitar tiga abad lalu. Namun, sepupu mana yang harus dipilih?
Sultan Qaboos mempunyai beberapa paman yang semuanya sudah almarhum. Mereka adalah Tariq, Majid, Fahr, Shahib, dan Suhaib. Masing-masing mereka mempunyai beberapa anak-laki-laki, yang merupakan sepupu dari Sultan Qaboos.
Namun, beberapa pengamat di Oman memperkirakan Sultan Qaboos akan memilih salah seorang dari tiga putra Tariq bin Taimur Al Said, yang selama ini aktif membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka adalah Assad bin Tariq (wakil perdana menteri untuk hubungan kerja sama internasional dan perwakilan khusus Sultan Qaboos), Shihab bin Tariq (pensiunan komandan angkatan laut), dan Haitham bin Tariq (menteri warisan budaya nasional). Mereka inilah yang kemungkinan paling tegang menjelang dibacakannya surat wasiat almarhum. Tariq bin Taimur Al Said sendiri merupakan ayah dari isteri pertama Sultan Qaboos.
Ternyata Sultan Qaboos, dalam surat wasiatnya, menunjuk Haitham bin Tariq sebagai penggantinya. Penunjukan ini tentu didasarkan pada keyakinan yang bersangkutan sangat memahami visi-misi Sultan Qaboos dalam membangun Oman. Penunjukan yang didasarkan pada Konstitusi Negara Oman Pasal 6 ini pun disetujui oleh semua pihak. Masyarakat pun bisa bernapas lega, bahwa alih generasi penguasa Oman telah berjalan lancar tanpa ada pergolakan.
Dalam pidato singkat setelah mengucapkan sumpah jabatan dan pelantikan, Haitham bin Tariq bin Taimur Al Said pun berjanji akan meneruskan segala kebijakan Sultan Qaboos dalam memodernisasi Oman, termasuk kebijaan luar negeri.
Penegasan ini penting karena Oman selama ini dikenal sebagai ‘bandul perimbangan’ di kawasan Timur Tengah. Bandul perimbangan yang antara lain diterjemahkan sebagai wasathiyah, moderat, toleran, dan akomodatif.
Di dalam negeri, ‘bandul berimbangan’ itu diterjemhakan bahwa modernisasi bisa berdampingan dengan tradisi. Bahkan Sultan Qaboos menjadikan tradisi, agama (Islam), dan budaya rakyatnya sebagai pendorong modernisasi. Protes-protes warga pun tidak dihadapi dengan kekerasan seperti terjadi di negara-negara Teluk lainnya. Namun, ia mendengarkan dulu apa yang diinginkan warganya dan berusaha mengakomodasinya dalam bentuk kebijakan.
Dalam kebijakan luar negeri, Sultan Qaboos benar-benar memainkan peran sebagai bandul perimbangan itu. Ia pun dijuluki sebagai ‘penjaga stabilitas kawasan (Timur Tengah)’ dan ‘teman semua orang’. Di kalangan para diplomat ia dikenal sebagai ‘perunding yang sabar’.
Coba bayangkan, Oman adalah pendiri Dewan Kerja-sama Teluk. Ia juga ikut mengucilkan Qatar yang diprakarsai Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Namun, Sultan Qaboos tetap berhubungan baik dengan penguasa Qatar. Ia juga ogah ikut berperang melawan kelompok Khouti di Yaman yang dipimpin Arab Saudi dan UEA. Ia juga menolak keras memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran yang menjadi seteru Arab Saudi.
Oman pun merupakan pendukung utama perjuangan rakyat Palestina. Namun, hal itu tidak menghalanginya berbubungan baik dengan para pemimpin Israel. Tercatat Sultan Qaboos pernah menerima kunjungan pemimpin Israel di Muscat, ibukota Oman. Yaitu dengan PM Yitzhak Rabin pada 1994 dan PM Benjamin Netanyahu pada 2018. Kata Qaboos tentang pertemuan dengan pemimpin Israel itu, perjuangan tidak musti di medan perang. Perjuangan juga bisa lewat jalur diplomasi.
Bahkan Sultan Qabus merupakan pemimpin Arab pertama yang mendukung perjanjian damai Mesir dengan Israel pada 1978, yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Camp David. Padahal, waktu itu, hampir semua negara Arab mengecam perjanjian itu dan kemudian memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir.
Hubungan Oman dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, negara-negara Barat, Rusia, Cina, dan Turki juga sangat baik. Beberapa kali Oman menjadi juru runding negara-negara besar itu dengan seterunya di Timur Tengah. Termasuk membebaskan warga AS yang disandera Iran dan Hizbullah (Lebanon).
Kini peran Oman sebagai ‘bandul perimbangan’ itu berada di tangan Sultan Haitham bin Tariq bin Taimur Al Said. Akankah ia mampu mengemban peran itu di di tengah kawasan Timur Tengah yang terus bergolak?