REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Naupal, Peneliti dan Pengajar Filsafat Agama di Universitas Indonesia (UI)
Fenomena LGBT di Indonesia sungguh sangat memprihatikan. Menurut survey CIA (2015), jumlah populasi LGBT di Indonesia adalah kelima terbesar di dunia setelah Cina, India, Eropa, dan Amerika. Berdasarkan data Kemenkes tahun 2012, ada setidaknya 1.096.970 gay di Indonesia.
Data statistik terakhir mengatakan, tiga persen penduduk Indonesia adalah gay. Itu berarti ada pertumbuhan 10 persen gay di Indonesia setiap tahunnya. Terlepas dari teori LGBT itu natural (kodrati) atau konstruksi sosial dan lingkungan, fenomena ini sangat memalukan di negara yang menganut ideologi Pancasila dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perilaku seks yang menyimpang menurut ajaran agama ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh jaringan LGBT tingkat global, proyek sekularisme, dan advokasi yang keliru. Advokasi atas komunitas LGBT selama ini, baik di tingkat lokal maupun global, dengan berbagai fasilitas dana dan jaringan media informasinya tidak memberikan solusi final, tapi malah menumbuhsuburkan, bahkan melegalkannya sebagai gaya hidup dan pilihan dari masyarakat plural yang bebas.
Proyek sekularisme
Jaringan LGBT yang cukup luas tidak bisa dilepaskan dari pandangan dunia yang sekuler. Salah satu proyek sekularisme dalam bidang moral adalah melepaskan ikatan ajaran dan norma agama dalam berperilaku dan gaya hidup. Sekularisme berusaha sedapat mungkin mendalilkan konsep baik dan buruk berdasarkan kesepakatan dan konstruksi bersama.
Artinya, baik dan buruk perilaku adalah berdasarkan kontrak sosial, bukan lagi berdasarkan dalil agama. Agama dianggap sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Dengan mengikuti teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann, yang meyakini bahwa realitas tak lain adalah hasil ciptaan manusia melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya, maka pandangan heteroseksual yang selama ini dianggap natural dan normal adalah konstruksi masyarakat yang terus-menerus dibentuk, sehingga mempunyai pesan simbolis yang mapan dan diperkuat lagi dengan dalil agama.
Pada tingkat ini manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Dengan dalih itu dan sejalan dengan perkembangan zaman, paham sekuler mengamini teori konstruksi sosial. Bahwa tidak ada yang sifatnya esensial dan mutlak, semuanya adalah relatif dan disepakati berdasarkan konstruksi sosial.
Pandangan yang menyatakan LGBT adalah abnormal, sakit mental, atau bahkan perilaku yang menyimpang dari kodrat kemanusiaan adalah pandangan yang usang dan tidak lagi sesuai dengan dunia kontemporer, yang mengusung kehendak bebas dan penghargaan pada pilihan eksistensial individu masing-masing.
Kaum sekuler menolak klaim universalisme dan absolutisme moral. Bahwa hanya ada satu ajaran moral yang menuntun dan membimbing arah moral seseorang dalam menjalani hidup ini, seperti agama dan tradisi.
Dalam hubungannya dengan komunitas LGBT, sekularisme mendukung setiap individu untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan pilihan kehendak dirinya, untuk menjadi gay, lesbi, atau apa pun kehendaknya, tanpa boleh ada pihak mana pun yang menghalanginya, yang disebutnya sebagai basic rights atau fundamental rights yang melekat pada diri setiap orang. Dengan ini dikatakan, homoseksual bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan pada tindakan pilihan setiap orang.
Upaya untuk menghalangi atau mendeskriminasi pilihan hidup seseorang dianggap sebagai penodaan dan penghinaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Bagi sekularisme tidak ada lagi batasan moralitas, tapi yang ada adalah nihilisme moral, segalanya serbaboleh.
Melihat realitas sosial tidak lain adalah konstruksi sosial yang dikreasikan oleh individu, maka individulah yang menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Dengan dalih itu, kampanye untuk membebaskan individu dari ikatan moral agama yang selama ini menjadi penghalang kaum liberalisme dan sekularisme untuk mengegolkan cita-citanya, yaitu nihilisme moral dan kebebasan individual menjadi corong sekularisme, untuk mengafirmasi keberadaan LGBT atas nama HAM dan perjuangan antidiskriminasi.
Afirmasi atas komunitas ini diperjuangkan dengan berbagai jaringan dana dan media yang kuat, baik di tingkat lokal maupun global. Targetnya adalah rekognisi, legitimasi, dan legalisasi atas praktik-praktik LGBT oleh negara.
Di Indonesia setidaknya ada dua LSM yang berorientasi pada advokasi terhadap LGBT di Indonesia. Pertama, Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) yang bermitra dengan 119 organisasi yang terkait dengan gay langsung atau tidak langsung di 28 provinsi. Kedua, LGBTIQ Indonesia yang merupakan subordinasi dari LGBTIQ dunia, yang berurusan dengan komunitas perilaku seksual yang aneh-aneh.
Usaha mereka mencapai sukses besar di beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat (26/06/2015) dan Australia (15/11/2017). Jaringan LGBT di Indonesia juga cukup masif menyuarakan hal yang sama. Dan sangat memprihatikankan sekali jika konstruksi moralitas ala liberalisme dan sekularisme dengan slogan “HAM dan antidiskriminasi” berhasil menggantikan konstruksi moral, yang bersumber dari ajaran-ajaran agama dan tradisi yang sudah mengakar kuat di bumi Indonesia.
Advokasi keliru
Berkembangnya pemahaman sekularisme yang memaknai kebebasan sebagai pilihan eksistensial manusia yang merdeka di dunia barat, berdampak pada tercerabutnya kodrat manusia dari norma-norma ajaran agama dalam perilaku sehari-hari, termasuk di dalamnya perilaku seksual.
Awalnya LGBT dianggap sebagai penyakit mental, bahkan pada abad ke-19, American Psychiatric Assosiation (APA) menganggapnya sebagai mental disorder. Kemudian pada tahun 1952, diagnosis para psikiater dan Statistik Manual of Mental Health (DSM) di Amerika menetapkan bahwa homoseksual adalah “gangguan kepribadian sosiopat”.
Pada tahun 1968, kaum homoseksual dinyatakan sebagai pelaku “penyimpangan seksual”, begitu juga pada tahun 1973, homoseksual dinyatakan sebagai “penyakit mental”. Namun, setelah tahun 1973, melalui American Psychiatric Association, kaum homoseksual tidak lagi dinyatakan “berpenyakit mental”. Karena adanya tuntutan dan tekanan dari komunitas LGBT dan kampanye antidiskriminasi atas kemanusiaan, akhirnya American Psychiatric Association menghapus homoseksualitas dari DSM berdasarkan hasil voting, bukan berdasarkan hasil riset ilmiah.
Hakikatnya, seperti yang dikatakan oleh Charles W Socarides, homoseksualitas itu bukan hanya merupakan bawaan sejak lahir (kodrat/natural/genetik) yang jumlahnya sangat kecil. Tapi karena dikonstruksi oleh lingkungan dan akhirnya menjadi gaya hidup dan pilihan secara sadar.
W Socaridas menolak genetis menjadi faktor penyebab utama LGBT, karena terbukti ada faktor lingkungan yang juga dapat berpengaruh terhadap seseorang untuk menjadi LGBT. Berdasarkan itu, advokasi atas komunitas LGBT harus untuk menyembuhkan mereka, bukan melegitimasi dan melegalisasinya. Namun, advokasi atas LGBT saat kini menjadi salah dan keliru, karena adanya klaim LGBT bukan suatu masalah pada dirinya.
Dalih HAM dan antidiskriminasi sering kali menjadi selubung untuk advokasi komunitas LGBT. Memang advokasi dalam batas antidiskriminasi dan antikekerasan adalah suatu tujuan luhur, tapi sebaiknya diikuti dengan solusi bukan malah legitimasi dan legalisasi, karena komunitas LGBT bagai virus yang siap memangsa generasi muda bangsa. Pertumbuhan pesat komunitas gay di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari masifnya advokasi yanng keliru selama ini.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim mayoritas dan yang mendasarkan negaranya atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah seharusnya negara dengan segala fasilitas yang dimilikinya mengadvokasi komunitas LGBT, dengan memandangnya sebagai korban yang harus diselamatkan sebelum jatuhnya ribuan korban generasi bangsa berikutnya. Caranya untuk penanganan korban dengan merehabilitasi mereka ke “rumah rehabilitasi” lewat berbagai pendekatan yang manusiawi dengan tidak melupakan sisi kebatinan dari si korban.
Dari sisi legalitas, diperlukan kontrak sosial mayoritas komponen bangsa untuk terus menyuarakan “anti-LGBT” kepada DPR dan Pemerintah untuk membendung masifnya kampanye mereka yang akan melegitimasi perilaku LGBT. Dari sisi pencegahan, diperlukan langkah strategis dan terencana dengan melibatkan unsur Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan memasukkan pendidikan seks yang sesuai dengan ajaran agama dan tradisi ketimuran, dalam kurikulum pendidikan agama di sekolah tingkat menengah dan tinggi.