Jumat 09 Mar 2018 19:21 WIB

Soal Cadar di Kampus Islam

Alangkah baiknya jika disosialisasikan bentuk pembinaan tujuh tahap tersebut.

Khairul Amin
Foto: dokpri
Khairul Amin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Khairul Amin*

Pascakeluarnya surat edaran soal pendataan dan pembinaan mahasiswi bercadar tertanda Rektor UIN Sunan Kalijaga (20/2/2018), jagad maya dan nyata mulai ramai dengan pro-kontra. Topik ini pun hangat di seantero internal kampus. Ekspresi pro-kontra hadir di banyak individu-individu civitas kampus, organisasi-komunitas kampus, serta anak yang sering nongkrong di masjid hingga warung kopi. 

Kalau hendak dicermati, fenomena ini cukup menarik. Sebab UIN Sunan Kalijaga terkenal sebagai kampus yang gencar menyuarakan toleransi dan inklusivitas. Siapapun terbuka untuk masuk dan belajar berbagai hal yang ada di kampus putih ini. 

Maka tidak heran, muncul apologi beberapa pihak pihak yang mulai mempertanyakan “status” tadi. Alasan yang dikemukakan antara lain adalah HAM dan freedom of expression. Sebab viralnya berita, Pihak rektorat menggelar konferensi pers. Selaku Prof Yudian menyatakan hal ini sebagai Saddu al zara’i (istilah ushul fiqh yang menujukkan pencegahan terhadap hal yang bisa membahayakan) dan pemulihan nama pascaterbesarnya beberapa foto berkibarnya bendera yang ditengarai sebagai lambang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh rektorat. Selanjutnya beliau menyebutkan ada tujuh tahap pembinaan yang akan dilakukan. 

Soal Cadar dalam Khazanah Islam

Cadar atau penutup muka bagi perempuan, jika dirunut secara historis, ada dalam berbagai tradisi, termasuk Arab. Dalam diskurs fiqh Islam, tindakan bercadar diperselisihkan yang berakar pada batas silang pendapat soal aurat wanita. Akar perbedaan ialah soal tafsir ayat QS Al-An-Nur [24]: 31, yaitu pada makna kalimat “Illa maa Dzahara Minha” yang secara harfiah berarti “kecuali apa yang biasa tampak atau jelas (terlihat) darinya wanita”. 

Asbabun al Nuzul mengenai ayat ini ialah bahwa diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Muqatil bahwa mereka para sahabat mendapat kabar bahwa Jabir bin Abdillah menceritakan bahwa : Asma’ binti Martsad ketika itu sedang berada di kebun kurmanya. Tiba-tiba beberapa wanita masuk ke kebun tanpa mengenakan busana sehingga terlihat perhiasan (yakni gelang di kaki mereka, juga terlihat dada dan rambut mereka). Maka Asma’ berkata, “Alangkah buruknya hal ini!” Maka Allah SWT menurunkan ayat mengenai hal itu.

Para ulama ketika menafsirkan firman Allah berselisih pendapat, namun hanya pada tiga bagian, yaitu wajah, telapak tangan, dan kaki (Ibn ‘Asyur, Al Tahrir wa Al Tanwir, XVIII/207; Ibn Rusyd, Bidayah Al Mujtahid min Hihayah Al Muqtashid I/115; Al-Syaukani,  Nail Al Authar, II/54 ). Ibnu Jarir al Thabari menyatakan yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangan (Jami’ Al Bayan fi tafsir Al Qur’an, XIX/1570) , begitu pula Imam Qurthubi dalam masterpiece-nya Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an (XII/229). 

Imam Al Qurthubi mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari riwayat ‘Aisyah Ra bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar menemui Rasulullah SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah Saw berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.”

Soal cadar sebagai hukum turunan, mazhab fiqh terutama di Syafi’i, Hanafi, dan Maliki terdapat banyak kesamaan. Ketiga mazhab tadi menyatakan bahwasanya wajah bukanlah termasuk aurat, walaupun terkadang bisa diharuskan bercadar sebab takut menimbulkan fitnah yang sebenarnya bisa membahayakan perempuan itu sendiri. 

Sebagian kalangan mazhab Maliki menyatakan memakai cadar (kharij al shalat) sebagai sesuatu yang berlebihan. Sedangkan mazhab Hanbali keukeuh bahwasanya aurat wanita ialah seluruh tubuh termasuk kukunya, sehingga harus ditutup. Tentu ini dipengaruhi ‘urf dan kondisi sosial masyarakat. Sebagai contoh Imam Malik dan Imam Ahmad yang hidup di lokasi yang berbeda budaya dan kondisi sosial. Imam Malik di Madinah yang tenang dan tidak terlalu padat dan Imam Ahmad yang hidup di Metropolitan, Baghdad yang glamor sebagai pusat kekuasaan politik saat itu.

Kalau mau tarik ulur secara historis, timbul pertanyaan bagaimana dengan zaman nabi? Secara garis besar cadar sebenarnya tidak berdasar jika merujuk pada Alquran. Hal menjadi syariat Islam ialah berjilbab (QS Al Ahzab: 59) dan berkhumur atau berkerudung (QS Al Nur: 31). 

Kemudian sebagai penjelasan, para fuqaha sepakat riwayat atau hadits penjelas ialah kasus Asma’ binti Abu Bakar yang telah memasuki usia dewasanya serta otomatis menjadi mukallafah ditandai dengan peristiwa haidh. Hadits ini sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud lewat jalur Khalid ibn Duraik. Hadits ini dikuatkan oleh riwatat Thabrani, Al Baihaqy, dan Ibn ‘Abi Syaibah lewat jalur Qatadah. 

Pertanyaan lainnya, apakah para sahabiyyah bercadar? Ternyata banyak riwayat menjelaskan keadaan shahabiyyah yang banyak tidak bercadar atau menutupi wajah dan telapak tangan mereka. Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi SAW di mana di kisahkan olehnya, bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al khaddain).

Beberapa Pandangan : Adil dan Proporsional

Kembali ke kasus cadar di kampus Islam. Ada beberapa penting yang perlu penulis utarakan terkait hal tersebut, yaitu pertama, jika aturan bercadar melanggar kontitusi kampus, maka perlu dan menjadi perhatian penting bagi pimpinan kampus untuk juga bisa menertibkan segala macam peraturan yang dilanggar dan tidak sejalan norma-norma yang ditetapkan dalam kehidupan di kampus, termasuk pelanggaran cara berpakaian lainnya, termasuk pakaian pakain superketat, terkadang tipis dan mengundang syahwat. 

Maka tidak heran, jika penulis menemukan ada dosen mengisyaratkan para mahasiswi harus pakai rok dan tidak dibolehkan memakai sandal jepit di dalam kelas. Di sisi lain, contoh-contoh berpakaian yang harusnya menjadi acuan standar kampus sudah terpampang jelas disertai. Uniknya yang menjadi contoh buruk ialah pakaian yang mengumbar syahwat tadi. Hemat penulis, yang ditetapkan sudah proporsional, sebab tidak ketat dan membentuk tubuh serta tidak tembus pandang. 

Kedua, jika memang hendak dilaksanakan pembinaan dan pendataan, alangkah baiknya jika diberitakan ke publik bentuk pembinaan yang tujuh tahap tersebut, sehingga menjadi jelas dan clear. Jika pembinaan di antaranya berupa kajian fiqh yang bernuasa manhaji atau ushul fiqh yang mengakomodir ‘urf dalam hal ini keindonesiaan, maka akan menjadi sangat baik. 

Namun penulis juga menyayangkan kalau sampai ada mahasiswi bercadar yang kemudian dikeluarkan dari kampus sebab keukeuh bercadar. Kalau kedua pihak bersikeras, ini tentu akan sangat merugikan bagi kedua pihak. Maka penulis ingin mengutip dua kaidah fiqh sebagai bahan pertimbangan bagi keduanya. 

Pertama, Al Mashlahah al Aammah muqaddamun ‘ala al mashalahah al khassah (mashlahat umum didahulukan atas mashalahat khusus). Kedua, Dar al mafaasid muqaddamun ‘ala jalb al mashalih (mencegah kerusakan didahulukan atas mengambil maslahat).

Sebagai penutup, membahas foto sekumpulan wanita bercadar di tangga masjid yang ditengarai bukanlah mahasiswi UIN. Bukan cadarnya, tetapi poin menariknya adalah pose unik yang diperagakan yaitu jempol dan jari telunjuk yang disilangkan. Usut punya usut, ternyata itu simbol untuk menunjukkan love dalam bahasa Korea. Tiba-tiba penulis teringat kalimat budayawan kondang, Emha Ainun Nadjib. Kalimat yang perlu direnungkan dan dimaksudkan untuk beragama secara proporsional dan bijak. Beliau berkata, ”Alim sedikit kearab-araban, Pinter sedikit kebarat-baratan, lah jowo-mu neng di??”.

 

*Penulis merupakan Alumni Intellectual Summit 2016, Alumni UIN Sunan Kalijaga

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement