REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ady Amar *)
Manusia-manusia tertentu dari kelompok tertentu tidak boleh berbuat salah. Tidak sekali pun boleh berbuat salah, nihil dalam berbuat salah... Manusia adalah tempat salah, dan karenanya ada ruang untuk meminta maaf. Menjadi aneh jika ada manusia dari kelompok tertentu tidak pernah berbuat salah...
Menjadi aneh jika manusia dari kelompok yang satu ini tidak boleh berbuat salah, tidak boleh kepeleset lidah. Jika melakukan kesalahan sekecil apa pun, tidak bisa ditebus dengan permintaan maaf. Konsekuensinya, ia dalam beberapa hari, berminggu bahkan berbulan akan terus dibicarakan kesalahannya itu, dan diurai dalam berbagai aspek.
Digoreng ke sana ke mari, jika mungkin sampai kering kerontang dengan pembakaran suhu pemanas sempurna. Digoreng tiap waktu tanpa jeda, tidak lagi dipikir efektif atau tidak. Yang penting terus digoreng hingga aromanya menjadi anyir, dan mata menjadi panas nanar.
Siapa sebenarnya manusia-manusia itu yang harus hadir menjadi manusia di luar kodratinya, yang tidak boleh melakukan kesalahan meski sekecil apa pun? Dialah manusia, bisa dari berbagai kalangan, yang memilih jalan tidak sama dengan kebijakan mainstream...
Kebijakan yang dibuat dan diperuntukkan bagi kepentingan di luar pandangan politiknya, dan karenanya ia berada di luar kepentingan politik yang ada, termasuk kepentingan media yang tampaknya bekerja untuk kepentingan itu. Karenanya, manusia jenis ini, yang kepeleset lidah, akan terus menjadi goreng-gorengan media dengan begitu bersemangatnya. Kasus Pak Prabowo yang kepeleset lidah dengan penyebutan “Indonesia Bubar 2030”, dengan mencomot Novel Ghost Fleet, adalah satu contoh bagaimana media menggorengnya tanpa jeda.
Tidak fair memang, dan tentu tidak mengajarkan kebaikan pada publik. Inilah cara media mainstream merampas hak publik mendapatkan informasi yang pas, tidak mengecil-ngecilkan berita atau membesar-besarkannya secara berlebihan (framing media). Karenanya, publik mencari informasinya sendiri lewat media sosial (medsos) yang beragam. Memilih yang sesuai dengan kebutuhannya.
***
Hari-hari ini muncul gerakan yang tampak masif dengan tagline #2019 Ganti Presiden. Inilah gerakan antitesis, setelah sebelumnya muncul kumandang gerakan Jokowi 2 Periode... Di alam demokrasi semuanya sah-sah saja. Rakyat memiliki hak menyuarakan kesukaan maupun ketidaksukaannya, tentunya dengan pengajuan data-data yang dipunyainya, tentang kriteria presiden ideal menurutnya.
Pemerintah mestilah bertindak arif melihat fenomena yang muncul, tidak perlu dilarang-larang. Melarang-larang hal yang tidak melanggar konstitusi adalah hal yang tidak patut, bahkan tidak dibenarkan dalam tatanan aturan yang sewajarnya... Tidak ada yang boleh menghalang-halangi seseorang mengemukakan pendapat politiknya, selama yang disampaikannya adalah data bukan fitnah. Maka tesis dan antitesis akan beradu data memberi pemahaman politik pada publik.
Inilah konsekuensi memilih negara demokrasi, dimana rakyat memiliki hak mengemukakan pendapat, meski pendapatnya berseberangan dengan rezim berkuasa. Terkadang muncul ketegangan-ketegangan yang terjadi karena adanya perbedaan pendapat yang tajam antara sebagian rakyat dan rezim, atau bahkan benturan pendapat dengan rakyat yang memihak pada rezim berkuasa.
Rakyat pemilik kedaulatannya sendiri, berhak mengekspresikan kesukaan dan ketidaksukaannya dengan cara-caranya sendiri. Aspirasi yang disampaikannya mestilah terukur dan selayaknya. Tidak sepatutnya mengumbar narasi jahat dengan nada penghinaan secara personal. Adalah hal biasa, setiap kritik pada kebijakan yang tak tepat menjadi bagian yang disampaikan. Maka yang muncul adalah “perdebatan” data versus data. Asumsi tidak menjadi hal yang patut disampaikan.
Gerakan tesis dan antitesis di atas merupakan hal biasa dan patut disyukuri. Itulah respons penentangan, utamanya pada pemberitaan media mainstream, dan itulah bagian dari proses memberi pelajaran pemahaman politik pada publik tentang siapa yang layak dan tidak layak memimpin negeri.
Publik pemilik hak suara pada pesta Pilpres mempunyai pilihan-pilihannya sendiri, dan masukan pada publik lewat medsos adalah bagian dari proses mengarahkan dan mempengaruhi publik pada pilihan yang “dianggapnya” tepat. Maka pengaruh mempengaruhi publik menjadi menu keseharian menuju perhelatan Pilpres 2019...
Maka seni pengaruh mempengaruhi adalah bagian dari kreativitas publik yang mewarnai pesta perhelatan lima tahunan itu. Dan publik enjoy melihatnya sebagai pernak pernik sebuah proses pesta demokrasi... Pernak pernik suara publik akan terus menghiasi jagad pemberitaan, terutama di medsos, dan tensinya akan terus memuncak kala memasuki tahun 2019...
Inilah saatnya publik mendapat masukan-masukan sebagai bagian dari penyertaan media dalam kepesertaannya, sebagai tanggung jawab memilih pemimpin negeri sesuai harapan dan kehendak rakyat.
*Pemerhati Masalah Sosial