REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Satriwan Salim *)
Di media sosial saat ini, ramai diwartakan perihal seorang selebritis yang diduga bahkan dituding oleh masyarakat telah berganti jenis kelamin. Sosok yang dituding para netizen sebagai transgender yang sebelumnya laki-laki, kemudian mengubah jenis kelaminnya menjadi perempuan.
Figur tersebut bernama Lucinta Luna, penyanyi yang diyakini publik telah melakukan operasi jenis kelamin. Setidaknya demikianlah pembahasan khususnya di media sosial yang sempat viral sampai sekarang, tentang personil “Duo Bunga” ini.
Bicara tentang kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) atau ditambah IQ (Intersex dan Queer) masih menjadi tabu dan polemik bagi masyarakat. Biasanya ukup didiskusisan dan diperdebatkan dalam kelas kajian gender. Atau perdebatan teori sosial di kelas sosiologi, psikologis bahkan kelas fikih Islam.
Artinya membicarakannya cukup di ruang-ruang terbatas saja. Dukungan terhadap eksistensi kelompok tersebut di kalangan aktivis feminis dan pegiat hak asasi manusia (HAM) selalu muncul. Apalagi sampai kini terus mengupayakan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG) segera disahkan DPR.
LGBT dalam perspektif siswa
Dalam tulisan sederhana ini, penulis ingin berbagi pengalaman singkat untuk memperkaya perspektif kita, sebagai bagian diskursus perihal LGBT dalam konteks pendidikan dan persekolahan.
Tema besar yang menjadi inti persoalan adalah, “Bagaimana pemahaman para siswa 'Generasi Z' terhadap keberadaan kelompok LGBT?”. Pertanyaan ini menjadi wacana yang sangat menarik bagi penulis dalam pembelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di kelas, khususnya pada KD (Kompetensi Dasar) “Penghormatan HAM berdasarkan nilai-nilai Pancasila” di Kelas XI SMA.
Dalam KD ini, secara umum para siswa akan belajar mengenai teori dan konsepsi HAM, seperti konsep “non-derogable rights” dan “derogable rights”. Yang pertama adalah hak asasi manusia yang tidak bisa ditangguhkan atau dikurangi kapanpun, sedangkan yang kedua adalah hak asasi manusia yang bisa ditangguhkan atau dikurangi keberadaannya. Kemudian belajar prinsip universalisme HAM dan partikularisme HAM. Dilanjutkan menganalisis kasus-kasus pelanggaran HAM (berat) di Indonesia.
Begitu pula mengenai teori universalitas HAM dan relativitas HAM (ICCE UIN Jakarta, 2012). Para siswa pun sudah belajar pasal 28 A-J UUD 1945 yang khusus menguraikan tentang hak asasi manusia dalam konteks konstitusi Indonesia, sebagai wujud nyata partikularisme HAM. Konsepsi HAM Indonesia berbeda dengan konsepsi HAM negara barat yang didasari ideologi liberalisme (universalisme HAM). Setidaknya demikian uraian singkatnya.
Dalam tiap diskusi terkait isu-isu HAM yang saat ini sedang berkembang, baik konteks Indonesia maupun global, para siswa sering merujuk tentang legalisasi kelompok LGBT di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Diskusi biasanya diawali oleh pertanyaan, “Apakah memilih orientasi seksual LGBT merupakan bagian dari HAM di Indonesia?”. Secara umum siswa terbagi menjadi tiga (3) pandangan kelompok.
Kelompok pertama, yakin dan menilai bahwa LGBT bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, budaya, adat-istiadat dan agama di Indonesia. Prinsip partikularisme HAM. Oleh karena itu, menjadi LGBT bukan bagian dari HAM, justru bagi mereka melanggar HAM itu sendiri.
Mereka yakin sampai kapanpun LGBT takkan diterima oleh budaya Indonesia. Apalagi wacana untuk legalisasi “same-sex marriage” seperti di beberapa negara Eropa, tidak akan pernah bisa diterima di negara ini. Kelompok ini jumlahnya paling dominan, hampir di setiap kelas yang saya ajar.
Sedangkan kelompok kedua, ada beberapa siswa di tiap kelas yang memiliki pemahaman lebih “moderat” terhadap kelompok LGBT. Mereka beralasan bahwa kelompok LGBT saat ini memang menjadi persoalan sosial dan perilaku menyimpang, tetapi seiring globalisasi dan masuknya nilai-nilai barat ke Indonesia, lambat-laun kelompok LGBT akan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai HAM yang berkembang di barat akan memengaruhi pola pikir dan sikap hidup masyarakat Indonesia. Kelompok ini berpandangan positif dan akomodatif terhadap perubahan sosial. Meyakini suatu hari nanti, nilai-nilai budaya asli Indonesia akan memudar dan terkikis. Ini tak akan bisa dihindari kata mereka, sebuah keniscayaan global.
Sedangkan bagi kelompok ketiga, adalah beberapa siswa yang memiliki persepsi lebih “liberal” dari kelompok lainnya. Biasanya jumlahnya paling sedikit, hanya hitungan jari tak lebih dari lima (5) siswa. Mereka yakin bahwa menjadi bagian dari LGBT adalah sebuah pilihan psikologis, sosial dan konstitusional karena dijamin dalam UUD 1945.
Kelompok non-mainstream ini juga beralasan, jika LGBT adalah kelompok sosial yang sebenarnya potensial, baik secara jumlah maupun secara kualitas (sumber daya manusia). Para siswa kemudian mencontohkan negara Eropa dan Amerika Serikat, yang kelompok LGBT-nya dari beragam profesi, bahkan ada yang menjadi CEO perusahaan internasional Apple, Tim Cook atau pemusik legendaris seperti John Lenon.
Bagi mereka LGBT memiliki potensi yang harus diberdayakan, mereka sama dengan kita yang juga sebagai manusia. Para siswa kemudian mengutip Pasal 28D UUD 1945; (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Kemudian Pasal 28I (2) “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Artinya menjadi seorang yang bagian dari LGBTIQ adalah pilihan hidup. Dijamin konstitusi menurut mereka. Dan siapapun atau kelompok manapun tak boleh memaksakan pemahamannya kepada kelompok lain. Yang lebih penting kelompok LGBTIQ harus terbebas dari tindakan diskriminasi dalam masyarakat. Singkatnya demikian argumen yang dibangun.
LGBT dan pendidikan kritis
Dalam pembelajaran (PPKn), di satu sisi mengemukakan isu-isu kontroversial dalam pembelajaran di kelas akan menarik partisipasi siswa, seperti yang pernah Prof Dr Udin S Winataputra (Guru Besar Pendidikan Kewarganegaraan, UT) sampaikan kepada saya dalam sebuah diskusi di Puskurbuk beberapa waktu lalu.
Bahwa seorang guru PPKn harus mampu melakukan “burning issues”, mengangkat persoalan sosial yang kontroversial ke hadapan siswa dalam format diskusi atau debat. Di sisi lain, memulai diskusi kontoversial ini akan membuka lebar liberalisasi wacana kepada siswa.
Tapi semua itu dilakukan dengan tujuan agar siswa mampu menyampaikan argumentasinya secara logis dan rasional, berpikir kritis (critical thinking), mampu mengomunikasikannya (communicative) kepada siswa lain, menghargai perbedaan cara pandang dan toleran terhadap kelompok yang berbeda dengan dirinya serta bertanggungjawab dengan pilihan sikapnya. Inilah perwujudan pedagogi kritis dan dialogis, seperti yang diajarkan Paulo Freire (1985) dan Henry Giroux (2011).
Model ini juga dilakukan, agar pembelajaran di kelas lebih menarik bagi siswa khususnya di level SMA. Pendidikan kritis dan dialogis inilah yang sampai sekarang dirasa kurang hadir dalam pembelajaran di sekolah oleh guru-guru kita. Tidaklah heran jika PISA (Programme for International Students Assessment) dan TIMSS (Programme for International Students Assessment), memasukkan para siswa Indonesia ke dalam kelompok dengan keterampilan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skills (LOTS). Artinya secara umum kemampuan berpikir para siswa masih di sekitar menghafal, mengingat dan memahami.
Guru, HAM dan LGBT
Pertanyaan berikut, “Bagaimana perspektif dan sikap penulis sebagai guru dalam proses pembelajaran di kelas, perihal HAM dan LGBT di Indonesia ini?”
Sebagai seorang guru, secara normatif konseptual penulis akan menjelaskan argumentasi dan ragam perspektif secara sosial budaya (termasuk teologis di dalamnya) dan konstitusi, alasan mengapa LGBT ditolak oleh sebagian besar masyarakat kita.
Secara sosiologis, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral dan adat-istiadat. Oleh karena itu kehidupan masyarakat Indonesia tak akan lepas dari pengaruh agama dan budaya (adat-istiadat).
Prinsipnya agama-agama akan sulit menerima umatnya menjadi bagian dari kelompok tersebut. Begitu juga di wilayah adat, secara umum masyarakat adat di nusantara ini tak memberikan ruang bagi gender ketiga apalagi perkawinan sesama jenis.
Secara konstitusional kemudian diuraikanlah Pasal 28J UUD 1945 point (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Secara prinsip penulis memang memilih bersikap bahwa kelompok LGBT bukan pilihan, tetapi gejala perilaku yang bisa diperbaiki secara psikologis dan mental spritual. Agama (Islam dalam pemahaman saya) melarang umatnya menjadi LGBT, begitu pula nilai-nilai adat yang kita anut.
Namun sebagai pendidik yang terus berikhtiar menjadi adil dan bijak, bagi penulis orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai LGBT juga merupakan warga negara Indonesia, yang tidak bisa diperlakukan semena-mena, tak boleh diintimidasi dan berhak memperoleh perlindungan dari bentuk kekerasan apapun. Sebagai warga negara, keberadaannya setara dengan kita yang bukan LGBT. Begitu pulalah akan hak dan kewajibannya.
Penulis pun menyampaikan ke hadapan siswa bahwasanya adat di daerah tertentu juga memiliki local wisdom yang berbeda dari daerah lain, misalnya di masyarakat adat Bugis, yang memberikan tempat sangat spesial, mulia dan sakral kepada para “Bissu”. Mereka diyakini sebagai pendeta suci yang bukan perempuan dan juga bukan laki-laki. Suatu kearifan lokal yang mesti dihargai. Dan kita mesti melestarikannya. Karena konstitusi UUD 1945 memberikan penghormatan bagi segala bentuk kearifan lokal.
Oleh karena itu konsepsi HAM yang hidup dalam masyarakat kita terlihat bersifat relatif partikularistik dan unik. Keunikannya itu disesuaikan dengan nilai dan tatanan budaya masyarakat seperti di Indonesia. Dalam konteks kasus LGBT di Indonesia inilah, partikularisme HAM berlaku adanya. Sejauh ini demikianlah yang penulis pahami dan lakukan sebagai seorang guru, tentang pembahasan LGBT dalam pembelajaran.
*) Pengajar Labschool Jakarta-UNJ/Wasekjen FSGI, email: [email protected]