Selasa 05 Jun 2018 01:00 WIB

Ramadhan, Momentum Membangun Perjuangan dan Persatuan

Jangan pernah putus asa untuk terus menebarkan upaya persatuan.

Suasana jelang berbuka puasa Ramadhan di halaman Masjidil Haram, Makkah  (Ilustrasi)
Foto: RepublikaTV/Irfan Junaidi
Suasana jelang berbuka puasa Ramadhan di halaman Masjidil Haram, Makkah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Tatang Hidayat, Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

 

Pada bulan ini, kita diwajibkan melaksanakan shaum. Shaum Ramadhan merupakan salah satu syiar Islam yang menyatukan seluruh kaum Muslim dari ufuk barat hingga ufuk timur. Shaum Ramadhan juga senantiasa mengingatkan kita bahwa Tuhan kita adalah Allah SWT; agama kita satu, Islam; kiblat kita satu, Ka’bah; dan yang menjadi perhatian kita satu, kondisi kaum Muslim saat ini yang masih terpecah belah dan didzalimi di berbagai negeri.  

Semua itu memperkuat bahwa kita, kaum Muslim, adalah satu umat di tengah-tengah umat manusia secara keseluruhan.  Karena itu, tidaklah layak kita selaku kaum Muslim terpecah-belah oleh semangat kemaslahatan duniawi, harta benda, dan penghormatan dari manusia.  

Tetapi dalam realitasnya di kehidupan bermasyarakat beberapa tahun terkahir, justru sesama umat Islam yang satu dengan yang lainnya seolah belum bisa bersatu, umat masih terpecah belah dengan beberapa ikatan, baik ikatan ormas maupun ikatan madzhab. Padahal, jika kita melihat potensi yang dimiliki umat Islam saat ini tentunya sangat besar, dari masing-masing kelompok tersebut tentunya memiliki kegiatan yang berbeda-beda tetapi sejatinya tujuannya sama, untuk meninggikan kalimat Allah SWT.

Terbesit dalam pikiran saya, apakah suatu saat nanti, dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing kelompok Islam tersebut bisa mengadakan agenda bersama, supaya tujuan terwujudnya cita-cita bersama tegaknya Islam bisa segera terwujud? 

Kalau bagi saya, tentunya itu bukan hal yang mustahil. Karena meskipun ada perbedaan di antara umat Islam, tetapi ketahuilah bahwa sesungguhnya persamaan sesama umat Islam sangat banyak. Dan benar saja, sesuatu yang mustahil namun jika Allah SWT berkehendak hal tersebut pasti terjadi. 

Kita menyaksikan semua pada tahun 2016, sejarah bagi bangsa Indonesia bahkan dunia telah terukir dalam tintas emas peradaban umat manusia, melalui peristiwa Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212— karena kasus penistaan agama yang diakui sangat fantastis dan memesona. Umat Islam Indonesia pada saat itu berkumpul dan meninggalkan perbedaan masing-masing untuk melaksanakan shalat Jum’at terbesar di dunia. 

 Salat Jumat merupkan simbol (syiar) dari persatuan dan kesatuan umat Islam yang dibingkai dalam bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah SWT. Dari itulah, setiap ada sekumpulan umat Islam dalam pemukiman diwajibkan menyelenggarakan shalat Jumat.

Shalat Jumat termegah dan terpanjang dalam sejarah pernah terjadi pada tahun 1453 M dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fath. Waktu itu, shalat Jumat  dilakukan di jalan menuju Konstantinopel dengan jamaah yang membentang sepanjang 4 KM dari Pantai Marmara hingga Selat Golden Horn di utara. Shalat Jum’at tersebut terjadi 1.5 KM di depan benteng Konstantinopel. Memang, saat itu dalam proses penaklukan Konstantinopel oleh Sultan yang kemudian mengakhiri sejarah Kekaisaran Byzantium dan menjadi cikal bakal kekhalifahan Utsmaniyah.

Selanjutnya, shalat Jumat yang terjadi pada aksi bela Islam 212 tercipta membentang sepanjang ruas jalan Thamrin-Sudirman bahkan ditaksir jamaah yang hadir melebihi 7 juta. Shalat Jumat tersebut telah mencatat sejarahnya sebagai shalat Jumat termegah dalam ‘sejarah didirikannya’ shalat Jumat di Indonesia bahkan dunia. 

Jika kembali ke belakang, jangankan sesama umat Islam, dengan berbeda agama-pun umat Islam bisa hidup rukun. Bagaimana dulu ketika zaman Rasulullah SAW saat Beliau SAW hijrah ke Madinah, di sana hidup rukun tiga agama di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Ada agama Islam, Yahudi dan Nasrani. 

Begitupun ketika Kekhilafahan Umayyah di Andalusia (Spanyol), disana bisa hidup rukun tiga agama antara Islam, Yahudi dan Nasrani. Maka bukan hal yang mustahil suatu saat nanti kelompok-kelompok Islam tersebut bisa bahu membahu untuk mewujudkan cita-cita bersama untuk tegaknya Islam dan jayanya kaum Muslimin.

Tentunya untuk mewujudkan persatuan umat tersebut perlu perjuangan dan pengorbanan, dan tentunya perjuangan tersebut telah di contohkan oleh para Ulama terdahulu, khususnya ulama-ulama yang ada di Jawa Barat. Dari sederetan ulama-ulama yang berkiprah dan berjuang di Jawa Barat, menarik kiranya untuk kita teladani selaku generasi muda yang akan meneruskan estafet perjuangan mereka dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT. 

Tidak sedikit ulama-ulama besar terlahir di Jawa Barat, sederetan nama seperti KH. Choer Affandi (Tasikmalaya), KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi), KH. Abdullah bin Nuh (Cianjur), KH. Sholeh Iskandar (Bogor), KH. Abdul Halim (Majalengka), KH. Zainal Musthafa (Tasikmalaya), KH. Amin Sepuh (Cirebon) dan nama-nama kyai besar lainnya pernah menorehkan tinta emas mengisi panggung tarbiyah di Jawa Barat. 

Mungkin tidak asing lagi bagi kita semua, khususnya para santri yang belajar kepada para Kyai lulusan dari Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya dengan sosok KH. Choer Affandy “Ulama Legendaris dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya”. Saat ini Pesantren Miftahul Huda Manonjaya sudah beranak pinak menjadi ratusan bahkan ‘ribuan” pesantren. inilah salah satu karya besar KH. Choer Affandy dalam membangun mercusuar pendidikan Islam di Jawa Barat bahkan Nusantara yang mungkin sudah banyak di tiru pesantren lain 

Dari Sukabumi, ada sosok KH. Ahmad Sanusi Sang Pemikir dan Pejuang “Guru dari Para Ulama Besar Jawa Barat. Beliau adalah sosok Kiai jenius yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, beliau menjadi rujukan penting perkembangan keilmuan Islam di Jawa Barat karena telah melahirkan Kiai-kiai besar yang berpengaruh di tanah jawa ini. Beliau merupakan sang pemikir dan pejuang yang gigih menentang kekuasaan Belanda hingga ia bersama sejumlah kiai lainnya seperti KH. Wahid Hasyim, Moch. Yamin dan Kiai lainnya yang terlibat dalam merumuskan berdirinya negeri ini. 

Ia adalah mutiara yang terpendam di dalam lumpur, sebuah kekayaan yang tak ternilai namun tak banyak dikenal, di Usia 12 tahun sudah hafizh Quran, Usia 25 tahun sudah menjadi Imam di Masjidil Haram, ia menguasai berbagai disiplin keilmuan di usianya yang masih sangat muda, padahal semua ilmunya itu hanya didapatnya di pesantren dalam kurun waktu empat setengah tahun saja, dan corak pemikirannya terbentuk selama di Jazirah Arab  dengan menghabiskan waktunya lima tahun, hingga seorang syaikh disana pernah berkata “Jika orang Indonesia mau belajar agama Islam tidak usah ke Timur Tengah, cukup ke Sukabumi karena disana sudah ada Kiai yang mumpuni yakni KH. Ahmad Sanusi”.

Dari Cianjur, ada sosok KH. Abdullah bin Nuh “Al-Ghazali Dari Cianjur Indonesia” (Ulama Pejuang Yang Banyak Berkiprah Di Tingkat Internasional).  KH. Abdullah bin Nuh adalah sosok ulama sekaligus pejuang yang memiliki kharismatik dimata Dunia Islam. Tapak sujudnya bertebaran di Indonesia maupun di dunia internasional. Cita-cita luhurnya dan seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk mempersatukan umat Islam lintas madzhab.

Dari Bogor, ada KH. Sholeh Iskandar (alm) “Sang Panglima Militer Yang berbelot Menjadi Pendakwah Ulung”. Kiprah K.H. Sholeh Iskandar ternyata tidak berheti sebagai Ulama saja, tetapi dalam dunia pendidikan yang lebih luas, kesehatan dan keuangan pun memiliki andil yang cukup besar, terutama untuk warga Bogor. Karena ini merupakan cita – cita besar beliau dalam melakukan dakwahnya, yaitu selain berdirinya pesantren sebagai pusat kaderisasi maka harus didukung pula oleh 3 pilar, yaitu berdirinya perguruan tinggi (Universitas Ibnu Khaldun), berdirinya rumah sakit dan berdirinya lembaga perbankan (BPR Syari’ah Amanah Ummah). 

Dari Majalengka, ada sosok KH. Abdul Halim “Ulama Sang Pemersatu”. Seorang Pahlawan Nasional. Pada tanggal 5 April 1952, mendirikan dan menjadi ketua, organisasi besar yaitu Persatuan Umat Islam yang merupak fusi 2 organisasi, Perikatan Oemat Islam (POI) yang beliau pimpin dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh sahabatnya, KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi. 

Dari Sukamanah Tasikmalaya ada sosok asy-Syahid KH. Zainal Musthofa “Sang Singa Sukamanah”. K.H. Zainal Musthafa sering diturunkan dari mimbar oleh orang pribumi penghianat yang menjadi kaki tangan pemerintah Belanda dan ditahan di penjara Tasikmalaya bersama K.H. Ruhiyat (Pimpinan Pesantren Cipasung) pada tanggal 17 Nopember 1941/27 Syawal 1362 atas tuduhan menghasut rakyat. 

Beribu-ribu rakyat Indonesia dijadikan romusha, penjualan padi kepada Pemerintah Jepang secara paksa, pemerkosaan terhadap gadis-gadis merajalela, segala partai, ormas, dan organisasi nasional dilarang dan setiap pagi rakyat Indonesia diwajibkan saikeirei atau rukuk ke arah istana Kaisar Jepang Tokyo. Keteguhan iman beliau tidak akan tergoyahkan dengan perbuatan saikeirei tersebut, beliau bertekad untuk menegakkan kalimatullah dan berjuang menentang kezaliman Jepang meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Ada sosok KH. Amin Sepuh Pahlawan Dari Cirebon. Dalam sebuah majelis KH. Abdul Mujid Ridlwan (alm) yang merupakan tokoh NU, pernah menyampaikan sebuah pertanyaan “Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap ?” Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib. “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan KH. Hasyim Asy’ary untuk memulai pertempuran. Mengapa tidak diizinkan ? ternyata Kiai Hasyim Asy’ary menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga langit Surabaya, beliau adalah KH. Abbas Abdul Jamil dari pesantren Buntet Cirebon dan KH. Amin Sepuh dari Pesantren Babakan Ciwaringin.

Para Nabi dan Rasul yang dikirim ke dunia pada umumnya adalah ahli pidato yang ulung, juru dakwah yang bijak, mubaligh yang tangkas. Tulisan dan jejak pena seorang pengarang, menjadi pelopor dari suatu pemikiran, pandangan, dan keyakinan, idea dan cita. Revolusi-revolusi besar di dunia selalu didahului oleh jejak pena dari seorang pengarang. Beliau adalah KH. Muhammad Isa Anshasy seorang ulama yang memiliki keahlian pidato, sehingga dijuluki sebagai Sang Singa Podium, mengaum bagaikan napoleon Masyumi.  

Kiai Isa lahir di Manunjau, Sumatera Barat tanggal 1 Juli 1916. Kiai Isa menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam pada tahun 1953 hingga 1960, menggantikan para pendahulunya seperti KH. Zamzam, KH. Muhammad Yunus, Ahmad Hasan, dan Mohammad Natsir. 

Dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kita selaku generasi muda yang akan melanjutkan estafet perjuangan para ulama dalam membangun peradaban Islam mesti meneladani perjuangan total mereka. Karena hakikatnya Peradaban Islam yang pondasinya telah diletakkan dengan susah payah oleh para ulama terdahulu, selanjutnya giliran kita dan generasi yang akan datang untuk melanjutkan pembangunan peradaban Islam tersebut, sehingga bangunan tersebut akan segera berdiri dengan kokoh dan disempurnakan oleh generasi-generasi selanjutnya. 

Peradaban Islam tersebut akan segera terwujud, bagaikan fajar yang sinarnya telah terbit di ufuk timur, dan siapapun yang akan menghambat tegaknya peradaban Islam ini tidak akan mampu meskipun semua kekuatan jin dan manusia di kerahkan, sama saja usahanya akan sia-sia sebagaimana layaknya mereka akan menahan matahari terbit dari timur.  Karena Tegaknya Peradaban Islam itu merupakan Janji Allah SWT dan Bisyarah (Kabar Gembira) dari Rasulullah SAW. Tentunya untuk menegakkan Peradaban Islam tersebut memerlukan persatuan umat yang berjuang bahu membahu, dan persatuan umat tersebut sekarang mulai ditebarkan oleh berbagai pihak umat Islam.

Tentunya kita jangan pernah putus asa untuk terus menebarkan upaya persatuan dan mempersatukan, maka sebagai penutup perlu kiranya kita merenungi sebait prosa dalam upaya menebarkan persatuan yang ditulis oleh seorang Ulama besar bernama KH. Abdullah bin Nuh (Cianjur). Selain merupakan guru para ulama,  KH. Abdullah bin Nuh juga di kenal sebagai seorang ahli bahasa dan sastrawan, pendidik dan pejuang kemerdekaan.

 “Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan  yang satu.  Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang yang luas, yaitu Padang Arafah. Sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad SAW. Kita sama-sama bernaung di bawah langit kemanusiaan yang sempurna. Dan sama-sama berpijak di bumi kepahlawanan yang utama”. Itulah salah satu bait prosa KH. Abdullah bin Nuh dalam menebarkan persatuan di tengah-tengah umat. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement