REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur; E-mail : [email protected]
Rilis tujuh kampus radikal oleh BNPT masih segar dalam jejak digital. Juga rilis tentang sejumlah ulama yang terekrut menjadi anggota BPIP. Dan yang tak kalah santer, yakni adanya ulama anggota Wantimpres yang berbicara di forum AJC, forumnya para pembela Israel di dunia. Berdasarkan hal ini, berikut mendalami dampak lanjut berbagai bentuk kediktatoran konstitusional di dalam negeri, ketiga fakta di atas patut diperhitungkan berdasarkan kacamata mayoritas penduduk negeri ini, umat Islam.
Dampak lanjut yang dimaksud adalah kunjungan ulama-ulama milik pemerintah tersebut di sejumlah kampus beberapa hari belakangan ini. Tak terkecuali kampus-kampus yang oleh BNPT sempat dikategorikan radikal. Ini layak disikapi oleh umat Islam, karena tema besar kunjungan yang dimaksud adalah Islam Nusantara. Jadi dapat disimpulkan, bahwa pemerintah nampak memiliki target untuk menusantarakan Islam di kampus radikal.
Hal ini sebenarnya tidak lumrah, meski tidak aneh juga. Semakin terasa, kian hari negeri ini kian tersuasanakan oleh iklim Islamphobia. Di tengah kecamuk problem sosial, kampus ternyata masih terekomendasi sebagai rujukan dan panutan masyarakat. Kampus, sebagaimana sekolah, adalah tempat yang efektif untuk mencetak generasi yang seragam dari sisi kurikulum dan output pendidikan.
Efektivitas ini pula yang sedang dimanfaatkan untuk menderadikalisasi kampus. Terlebih, menuju proyek besar neokapitalisme KBE-WCU berikut internasionalisasi PTN-PTS Islam, wacana Islam Nusantara merupakan opini subur untuk memupus idealitas yang terindikasi Islam radikal. Karena para aktivis Islam sejati takkan pernah rela neokapitalisme bertengger menjajah ekonomi dan pemikiran.
Kita juga tidak boleh alpa, istilah-istilah semacam Islam radikal, Islam nusantara, Islam moderat, bahkan Islam liberal; sesungguhnya adalah ciptaan Barat sebagai bagian pertarungan pemikiran yang disebut “The Game of Naming”. Masyarakat Islam dikotak-kotakkan dengan nama dan label tertentu, yang pada dasarnya justru bersifat kompromistis mengikis Islam.
Dengan kata lain, ini adalah pembunuhan karakter secara tidak langsung terhadap masyarakat Islam. Hingga nanti menjauhkan mereka dari kaffah-nya. Jadi, jikalau yang dimaksud radikal di kampus sehingga harus “dinusantarakan”, adalah definisi “kaffah” yang dibuktikan dengan kondisi para mahasiswa yang bersemangat untuk belajar Islam, mengamalkan Islam, dan memperjuangkan Islam, maka benarlah sudah target “The Game of Naming” ini.