REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syamsuddin Radjab, Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar
Salah satu tema besar yang diperbincangkan negara-negara yang menganut klaim demokrasi dan negara hukum yakni batas masa jabatan pimpinan nasional, baik pada sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial, termasuk negara berbentuk monarki bahkan negara sosialis-komunis pun yang biasanya dikuasai oleh partai tunggal.
Negara hukum yang berkarakter rule of law atau rechtstaat dapat bersepakat menentukan ciri negara hukum yang demokratis di antaranya pembatasan kekuasaan dan pembagian kekuasaan selain pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (Wetmatigheid van bestuur) dan Hak Asasi Manusia.
Semua pengaturan masa jabatan tersebut tertuang dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar (ground norm) negara masing-masing yang merupakan penjelmaan kristalisasi kepentingan politik, pengalaman dan dinamika konstalasi politik internalnya.
Konstitusi negara juga dapat diubah atau diamandemen tergantung pada kepentingan politik nasional oleh otoritas lembaga negara atau melalui mekanisme referendum. Dulu, mekanisme perubahan UUD Indonesia (sebelum amandemen) melalui referendum dan saat ini oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebagai contoh terbaru, negara Turki di bawah pemerintahan Presiden Recep Tayyib Erdogan mengubah sistem pemerintahannya dari sistem parlementer menjadi sistem presidensial dengan masa jabatan selama lima tahun dan hanya untuk dua periode masa jabatan melalui referendum yang digelar pada 17 April 2017 lalu.
Rusia mengubah masa jabatan presidennya dari empat tahun menjadi enam tahun pada 2008 melalui amandemen konstitusi oleh State Duma dalam pemungutan suara dengan kemenagan mutlak 388 berbanding 58 suara anggota parlemen. Demikian halnya di Cina, pada Maret 2018 Kongres Rakyat Nasional mengubah masa jabatan presiden dari dua kali lima tahun (maksimal 10 tahun) menjadi tak terbatas.
Prinsipnya, perubahan atau amandemen konstitusi yang terkait dengan pembatasan dan masa jabatan pemimpin nasional baik presiden dan wakil presiden, perdana menteri dan sebutan lainnya sangat bergantung pada kesepakatan politik nasional atau konsensus melalui mekanisme yang biasanya diatur dalam konstitusi baik oleh otoritas negara maupun melalui referendum.
Konteks sejarah
Pengalaman ketatanegaraan kita menunjukkan bahwa sejak UUD 1945 (sebelum diamandemen) masa jabatan presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun tetapi tanpa batasan akhir sehingga seorang Presiden khususnya dapat dipilih berkali-kali seperti masa pemerintahan otoriter Soeharto hingga 32 tahun.
Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Kelemahan Pasal inilah yang dimanfaatkan rezim Soeharto sehingga dapat berkuasa menjadi Presiden selama tujuh periode karena ketiadaan batasan masa jabatan. Jadi perlu ditegaskan bahwa jabatan wakil presiden sama dengan masa jabatan presiden, tidak terpisah.
Bahkan di era demokrasi terpimpin (1959-1965) Soekarno dikenal masa jabatan Presiden Seumur Hidup dengan dikeluarkannya TAP MPRS No. III/MPRS/1963 yang berdampak pada pembubaran DPR hasil pemilu 1955 dan pembubaran beberapa partai politik yang dinilai secara subyektif sebagai kontra revolusi.
Dalam praktik bernegara, Indonesia sangat kaya pengalaman dengan memakai beragam konstitusi sebanyak lima kali yakni UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), UUD RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), UUDS 1959 (17 Agustus 1959-5 Juli 1959), kembali UUD 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999) dan UUDN RI 1945-hasil amandemen (19 Oktober 1999-Sampai sekarang).
Demikian halnya dalam praktik sistem pemerintahan dari sistem presidensial ke parlementer (1945-1959) dan kembali lagi ke sistem presidensial (1959-sekarang) demikian halnya bentuk negara dari bentuk kesatuan ke federal dan kembali lagi ke bentuk kesatuan hingga saat ini.
Dalam soal masa jabatan, dari presiden seumur hidup hingga seumur hidup jadi presiden, lalu mulai dipikir perlunya ada pembatasan masa jabatan presiden. Berkat tekanan dan tuntutan reformasi oleh mahasiswa yang menginginkan perubahan fundamental konsep bernegara yakni batasan periodisasi jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945.
Hasil amandemen UUDN RI 1945 pada Pasal 7 kemudian diubah dan akhirnya berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Hanya menambahkan frasa “dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” dari bunyi Pasal 7 sebelum diamandemen.
Memahami original intent
Kalimat original intent (niat asli pembentuk UU/UUD) belakangan ini makin karib ditelinga publik setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 53/PUU-XV/2017 terkait judicial review (JR) Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyangkut ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.
Penafsiran dengan metode original intent atau dikenal pula dengan metode originalism telah diperkenalkan sejak 1938 oleh Howard Jay Graham di jurnal hukum Yale University, USA, dengan judul “The Conspiracy Theory” dan terus berkembang hingga saat ini sebagai metode penafsiran terhadap undang-undang dan konstitusi selain metode gramatikal, sosiologis, prudensial, doktrinal dan lain-lain.
Pasal 7 UUDN RI 1945 jika didekati dengan metode original intent (maksud pembentuk UUD) maka kita harus membaca risalah-risalah rapat pembentuk Undang-Undang Dasar pada masa itu baik berupa notulensi, pendapat awal/akhir fraksi, pendapat ahli dan akademisi, respons masyarakat, pendapat NGO, dan lain-lain.
Permohonan DPP Perindo ke MK terkait Pasal 169 huruf n dan penjelesannya memang sangat terkait dengan Pasal 7 UUDN RI 1945. Pasal 7 UUDN RI 1945 itulah yang diadopsi kedalam dua pasal UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yakni Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i.
Sayangnya, adopsi itu diubah dari sumber aslinya sehingga mengalami perubahan makna dan konteks. Dari frasa “Presiden dan Wakil Presiden” menjadi “Presiden atau Wakil Presiden” yang berarti ada pemisahan antara Presiden dan Wakil Presiden, sementara mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden.
Jika membaca risalah perubahan UUDN RI 1945 (Sekjen MPR:2008) kekhususnya Pasal 7 UUDN RI 1945 memang semangatnya agar kekuasaan model Presiden Soeharto tidak berulang lagi. Suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) itulah sehingga dalam pembahasan masa jabatan hanya menyoal presiden sementara wakil presiden jarang disebut bahkan tidak dipersoalkan.
Papat PAH III BP MPR yang membidangi perubahan Pasal 7 UUD 1945 yang dipimpin Harun Kamil (F-UG) yang berlangsung pada Oktober 1999 mengemuka beragam pendapat pembatasan masa jabatan Presiden yang hanya boleh dua kali (dua periode),
Fraksi Utusan Golongan (F-UG) misalnya, memaknainya dua kali masa jabatan secara berturut-turut, demikian halnya F-PDIP memberi pengertian dua kali masa jabatan bisa berturut-turut dan bisa berselang bahkan memberi ruang lebih dari dua kali masa jabatan dengan memberi masa jeda waktu tertentu dengan pertimbangan keadaan tertentu dan hak asasi manusia.
Hingga pada pengambilan keputusan akhirnya rumusan Pasal 7 disepakati seperti bunyi Pasal 7 UUDN RI 1945 pada 14 Oktober 1999 yang rumusannya sama dengan TAP MPR No. XIII/MPR/1998 yang ditetapkan pada sidang istimewa pada 13 November 1998.
Apa yang diajukan oleh DPP Perindo ke MK dan keikutsertaan JK sebagai pihak terkait dalam permohonan tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan dalam kerangka mekanisme hukum yang disediakan oleh undang-undang sehingga harus dihormati. Yang menjadi soal karena banyaknya respons politik dengan segala kepentingannya menanggapi hal itu dan bukan respons dan debat hukum sehingga persoalnnya makin runyam.
Kita berharap agar MK menyidangkan permohonan tersebut yang dikaitkan dengan Pasal 7 UUDN RI 1945 dengan pertimbangan yang rasional, adil, demokratis yang berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia dengan sikap yang mandiri dan independen dari para hakim pengawal konstitusi.
Jakarta, 24 Juli 2018