Sabtu 11 Aug 2018 11:14 WIB

Politik Rasional VS Simbolik

Menang kalah itu adalah 'Keputusan Allah'.

Capres Jokowi-Prabowo
Capres Jokowi-Prabowo

Oleh: DR Adhian Husaini,Pengasuh Pondok Pesantren Attaqwa Depok

Kamis malam itu, karena lelah menunggu pengumuman capres-cawapres kubu Prabowo, saya tertidur. Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sudah diumumkan. Ketika saya terbangun, tampak Prabowo sedang mengumumkan pasangan dirinya dengan Sandiaga Uno. Jujur, saat itu, saya kecewa. Karena saya berharap ada "kejutan", dan berharap ada calon wapres Prabowo dari kalangan ulama.

Tetapi, ketika saya cermati pidato Prabowo, Sandi, dan beberapa pimpinan Partai Koalisi Prabowo, saya paham, bahwa pilihan Prabowo atas Sandi adalah sebuah pilihan rasional. Prabowo fokus pada program pembangunan kedaulatan dan keadilan ekonomi. Itu gagasan dia yang sudah saya dengar sejak saya masih aktif sebagai wartawan tahun 1990-an.

Prabowo tampak konsisten, tidak berubah, baik gagasan maupun gaya bicaranya. Puluhan tahun saya tidak jumpa lagi dengan Prabowo, mungkin sejak 1998. Saya paham, mengapa Amien Rais, Sohibul Iman, Zulkifli Hasan, dan lain-lain, bisa menerima Sandi sebagai cawapresnya Prabowo. Bukan karena uang, tetapi karena Prabowo adalah sosok yang sangat cerdas dan rasional. Tidak mudah berdiskusi dengan Prabowo. Perlu modal intelektual dan referensi tinggi. Prabowo, SBY, ZA Maulani (alm), Sayyidiman, dan beberapa jenderal lainnya, dikenal sebagai sosok-sosok tentara intelektual yang hobi membaca buku. Mereka juga punya kemampuan retorika yang tinggi.

Mimpi saya, bagus sekali jika para jenderal itu kemudian mendalami ulumuddin dan bisa tampil pula sebagai ustad yang mampu khutbah Jumat. Saya sama sekali tidak merasa tersaingi sebagai khatib Jumat. Justru saya merasa sangat gembira, kalau AHY -- misalnya -- mau belajar agama dengan serius, sehingga menjadi ulama.

Seorang jenderal AD pernah bilang kepada beberapa wartawan, saya termasuk di situ, "Ini jelas-jelas batu, tapi kalau Jenderal ini (bukan Prabowo) ngomong bahwa ini emas, bisa-bisa orang percaya bahwa ini emas." Sang jenderal itu tentu sedang bermetapora. Ia hanya menggambarkan, betapa kuatnya kemampuan sang jenderal itu dalam membangun narasi.

Jadi, kembali ke pilihan Prabowo terhadap Sandi. Malam itu saya senyum-senyum sendiri. Karena saya paham dan bisa membayangkan, bagaimana cara Prabowo meyakinkan para pimpinan partai itu untuk menerima Sandi. Inilah pilihan rasional. Saya juga paham, meskipun ini masih sebatas dugaan, mengapa Prabowo tidak memilih Arifin Ilham dan AA Gym.

Maka, pilihan terhadap Sandi adalah sebuah politik rasional. Sebaliknya, pilihan Jokowi terhadap Kyai Makruf Amin, lebih merupakan strategi politik simbol. Dan itu juga pilihan cerdas. Sebab, kubu Jokowi tidak memerlukan konsep dan strategi pembangunan ekonomi yang baru. Cukup mencitrakan bahwa pembangunan ekonominya berhasil, setidaknya perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki apa yang kurang.

                                       ******

Beberapa kali saya bahas dalam acara sebuah radio di Jakarta, bahwa jika mengacu kepada hasil Pilkada beberapa daerah, khususnya di Jateng, maka paduan pasangan "nasionalis" dan "tokoh Islam" terbukti sukses. Pilihan Kyai Makruf Amin juga diharapkan meredam sentimen dan citra anti-Islam dan anti-ulama yang berkembang di kalangan tokoh-tokoh dan umat Islam. Dan sejauh ini, tujuan itu cukup berhasil. Suasana Pilpres 2019 pun terasa lebih sejuk, dibandingkan dengan suasana 2014 atau Pilkada DKI terakhir.

Siapa yang akan menang? Politik Rasional atau Politik simbol? Menurut prediksi saya, faktor Sandiaga Uno menjadi unsur yang paling menentukan. Sandi punya potensi besar untuk ditampilkan sebagai "sosok ideal" generasi milenial. Ia pintar, kaya, tampan, gagah, religius, setia istri. Modal tampilan fisik ini tidak dimiliki pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Alhamdulillah, saya berkesempatan mengenal Kyai Ma'ruf dengan cukup baik. Selama 10 tahun saya pernah menjadi pengurus MUI Pusat, meskipun amat jarang bertemu dengan beliau. Ketika Kyai Ma'ruf menjadi anggota Wantimpres, seingat saya, dua kali saya diundang. Salah satunya, saya diminta presentasi makalah tentang konsep Kerukunan Umat Beragama. Kyai Ma'ruf Amin adalah ulama yang mumpuni, dan juga politisi yang kenyang makan asam garam. Saya senang Kyai Ma'ruf bisa mendampingi Jokowi. Saya membayangkan, sosok Kyai Ma'ruf memang cukup disegani di kubu Jokowi.

Saya menduga, kubu Prabowo akan melakukan usaha habis-habisan untuk menampilkan sosok Sandi sebagai "model ideal generasi milenial" dan "wajah masa depan Indonesia baru". Dengan potensi yang ada pada diri Sandi, tentu ini bukan hal yang sulit. Apalagi, kubu ini diperkuat dengan kehadiran AHY. Maka, tidak heran, saat berfoto di KPU, Prabowo minta dirinya diapit oleh AHY dan Sandi Uno. Ini tampilan cerdas. Bisa dipahami, mengapa Prabowo tidak merespon celaan-celaan yang bertubi-tubi diarahkan politisi demokrat pada dirinya, seperti dikatakan sebagai Jenderal kardus dan sebagainya.

Jokowi pun tampak semakin piawani dalam memainkan kata-kata. Jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2014. Di KPU, Jokowi secara terbuka memuji Prabowo dan Sandi; menyebut mereka sebagai putra-putra terbaik bangsa. Ini juga tampilan cerdas, yang menarik simpati.

Jadi, kalau begitu, siapa yang akan menang dalam Pilpres 2019? Perjalanan masih panjang. Yang jelas, tampaknya, kita akan menyaksikan kontestasi politik yang menarik. Biasanya, selama ini, politik simbol lebih mudah menarik simpati, ketimbang politik rasional. Tetapi, dua-duanya tidak bisa ditinggalkan, jika ingin memenangkan kontestasi politik.

Saya bukan pengamat politik. Saya hanya orang Pesantren yang setiap hari bertungkus-lumus dengan dunia pendidikan di pesantren. Jadi, coretan tentang Pilpres ini, jangan dianggap serius dan terlalu dipercaya.

Kalau boleh, saya juga ingin urun rembuk, bahwa menang kalah itu adalah 'Keputusan Allah'. Yang menang akan mendapatkan amanah yang sangat berat. Yang kalah, lebih ringan amanahnya.

Dalam rumus keilmuan Islam, jika mau menang, maka ikutilah rumus dari Allah. Gunakan konsep keilmuan dalam Aqaid Nasafiyah, bahwa ada 3 sumber ilmu, yaitu panca indera, akal, dan wahyu. Ketiga potensi itu harus dipadukan secara harmonis. Yang akan menang adalah yang sabar dan taqwa serta bersih jiwanya. (QS 3:123-125, juga 91:9-10).

Yang jelas, sebagai bangsa Indonesia, kita semua berharap, yang menang nanti adalah yang lebih baik, dan akan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kebaikan (kemaslahatan) bagi rakyat dan negara Indonesia.

Tentu kita paham, bahwa saat ini bangsa kita sedang menghadapi masalah yang sangat berat dan kompleks. Maka, kita berharap, para pemimpin bangsa itu mampu merumuskan konsep pembangunan yang luar biasa hebat, yang tidak biasa-biasa saja! Dan jangan merasa mampu menyelesaikan masalah bangsa, dengan tanpa memohon pertolongan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa! Amin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement