REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung*
Hari-hari belakangan, semua berduka atas bencana demi bencana yang menimpa sejumlah daerah di Indonesia. Habis air mata melihat dan mendengar derita para korban. Namun, di tengah duka bersama, masih ada oase yang menyejukan kita.
Bagaimana dahsyatnya relawan berbondong-bondong membantu tanpa pamrih. Tak peduli agama dan suku, semua warga beringsut terpanggil. Pelbagai rekening dibuka, pelbagai bantuan diberikan.
Di tengah kabar duka, di tengah pergulatan politik yang membelah bangsa ini menjadi dua polarisasi besar, bangsa ini tetap satu untuk bersama-sama berempati, bergerak, membantu korban dalam terang dan senyap. Dari Lombok, Palu, Donggala, relawan beramai-ramai terpanggil. Tanpa komando, tanpa instruksi. Semua berangkat dari hati. Instansi, ormas, kelompok, sampai mahasiswa semua menginisiasi bantuan untuk korban.
Ini adalah aset sangat berharga bagi bangsa. Sebuah oase yang semoga bisa mengular tak hanya ketika bencana tiba. Tapi bisa menjadi gerakan kesadaran yang berlaku sehari-hari.
Sejumlah pengungsi korban bencana alam gempa bumi dan tsunami saat makan di Posko Pengungsian Rumah Dinas Gubernur, Palu, Sulawesi Selatan, Rabu (3/10).
Saya jadi teringat kisah seorang dermawan yang mencari tempat untuk mewakafkan hartanya. Sepenggal kronologi yang saya terima, membuat bulu bergidik. Begini kisahnya: Diko, sebut saja begitu. Ia berniat hijrah dan mengadzamkan diri dan hartanya agar bernilai manfaat. Ia mencari informasi di mana hartanya bisa diberikan.
Singkat kata, Diko bertemu dengan salah seorang pengelola pendidikan Ibnu Sina, Bogor. Pengelola itu membutuhkan dana untuk membangun masjid. Dengan cara tak terduga, keduanya bertemu. Tanpa banyak kata, Diko benar-benar merealisasikan adzamnya dengan mewakafkan hartanya berbilang miliar untuk membangun masjid di wilayah Harvest Bogor, Jawa Barat.
Di tengah kabar duka, di tengah pergulatan politik yang membelah bangsa ini menjadi dua polarisasi besar, bangsa ini tetap satu untuk bersama-sama berempati, bergerak, membantu korban dalam terang dan senyap.
Mendengar kisah itu, optimisme dalam hati mencuat. Diko hanya salah satu contoh betapa anak-anak bangsa ini masih banyak yang baik. Masih banyak warga Indonesia yang memiliki hati mulia.
Memori berputar pada ingatan pada peristiwa fenomenal 212, sebuah momen di mana anak-anak bangsa berebut untuk berbuat baik. Berebut untuk menyedekahkan hartanya. Berebut untuk menggembirakan orang lain. Dan semua itu bergerak dari hati.
Bergerak tanpa instruksi. Bergerak tanpa pamer ke sana ke sini. Bergerak dan berbuat dalam senyap tanpa membonceng kepentingan apapun. Tanpa mengabarkan pada siapa pun.
Semua adalah aset berharga bagi bangsa. Jangan, jangan sampai hanya karena perbedaan politik, kita terbelah. Jangan, jangan sampai hanya karena perbedaan pandangan, kita terpecah.
Kita punya aset berharga. Semua punya potensi itu. Sebuah aset bangsa bernama senyap dalam berbuat. Berlomba memberi maslahat. Mari jaga bersama aset berharga kita.
Mudah-mudahan itu pun bisa direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Membantu dalam keheningan orang miskin yang lapar. Membantu dalam kesenyapan anak-anak yatim yang butuh kasih sayang. Membantu dalam kesunyian tetangga yang kekurangan. Membantu dalam kesepian saudara yang membutuhkan.
Berbagi, menebar kebaikan di kehidupan sehari-hari dalam senyap dan terang. Seperti para relawan yang terpanggil dari hati. Seperti Pak Diko yang hijrah dari ketulusan. Seperti peserta aksi 212 yang berbagi dengan keikhlasan. Inilah aset paling berharga bagi bangsa. Mari jaga bersama. Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati masalah sosial