REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hazman, SH*
Tenaga kerja merupakan elemen penting dalam faktor produksi dan pembangunan. Tenaga kerja bisa menjadi penentu berhasil tidaknya pembangunan atau produksi, dan cepat tidaknya output yang dihasilkan terwujud.
Dahulu, perusahaan mengangkat tenaga kerja sebagai karyawan tetap. Mereka mendapatkan gaji tetap dan berbagai tunjangan dari perusahaan agar tetap nyaman bekerja. Pekerja yang bahagia, akan membantu proses produksi sesuai target yang ditetapkan perusahaan.
Belakangan, saat perusahaan berusaha menekan ongkos produksi untuk mendapatkan keuntungan maksimal, muncul sistem outsourcing atau alih daya. Undang-undang tidak menjelaskan secara tegas tentang outsourcing. Namun, dalam pasal 64 Undang-Undang No 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), disebutkan bahwa,''Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Ada berbagai alasan mengapa banyak perusahaan yang terdapat di Indonesia khususnya Sumatra Utara yang memutuskan untuk mengalihkan setidaknya satu sampai dua item pekerjaan mereka dengan menggunakan jasa tenaga kerja dengan sistem outsourcing. Mereka umumnya menyadari bahwa merekrut, mengkontrak karyawan, menghitung dan membayar gaji, lembur dan tunjangan-tunjangan, memberikan pelatihan, administrasi umum serta memastikan semua proses berjalan sesuai dengan peraturan perundangan adalah pekerjaan yang rumit. Ini banyak membuang waktu, pikiran, dan dana yang cukup besar serta dapat menghambat konsentrasi mereka untuk mengembangkan bisnis utama (core bussines) perusahaannya.
Alhasil outsourcing atau alih daya dipilih. Perusahaan pengguna jasa hanya perlu membayar jumlah tertentu kepada perusahaan outsourcing dengan menyerahkan tanggung jawab terkait relasi dengan tenaga kerja kepada perusahaan alih daya itu.
Tantangan Karyawan Outsourscing
Berprofesi menjadi karyawan memang harus siap mengikuti peraturan perusahaan. Bukan sekadar peluang, menjadi karyawan outsourcing juga memiliki tantangan. Di mana menjadi karyawan outsourcing tidak memiliki jenjang karier.
Saat perekrutan, karyawan outsourcing sudah diberitahukan bahwa tidak akan diangkat menjadi pegawai tetap sampai masa kontrak habis. Sebagai karyawan outsourcing mereka harus menerima sistem kontrak dari perusahaan.
Kondisi ini akan mempersulit setiap karyawan untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Bahkan bukan tidak mungkin kondisi inilah yang akhirnya menempatkan posisi karyawan outsourcing ibarat mesin. Dipakai saat hanya dibutuhkan dan dicampakkan setelah tak digunakan lagi.
Menjadi karyawan outsourcing juga memiliki masa kerja yang tidak jelas. Berstatus sebagai karyawan outsourcing akan memberikan peluang yang lebih besar bagi karyawan untuk menjadi korban PHK apabila perusaan tersebut mengalami kebangkrutan. Karyawan kontrak ini memang sangat rentan terhadap PHK apalagi jika kondisi perusahaan tidak stabil. Bahkan perusaaan bisa melakukan pemecatan dan memutus masa kerja karyawan outsourcing tanpa perlu membayar pesangon jika perusahaan di ambang kebangkrutan.
Dengan kondisi ini, perlindungan hukum mutlak diberikan oleh pemerintah agar para tenaga kerja outsourcing bisa tetap mendapatkan penghasilan. Pada saat yang sama, perusahaan mendapatkan keuntungan.
Pemerintah diharapkan memberikan warganya hak-hak sebagai pekerja. Perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
Sudut Pandang Penulis
Hal yang menjadi perhatian dari penulis adalah harus adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk kesejahteraan karyawan yang berstatus sebagai karyawan outsourcing. Sebab, penulis mendapati keluhan yang cukup miris dalam survei yang dilakukan langsung kepada karyawan yang bersetatus sebagai karyawan outsourcing di Sumut.
Yang paling utama adalah perusahaan hanya memikirkan keuntungan dengan mengabaikan kesejahteraan karyawan outsourcing. Contoh nyatanya ialah saat kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja outsourcing selesai, kontrak kerja karyawan outsourcing ini berstatus PKWT (perjanjian kerja untuk waktu tertentu). Padahal, ini tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Penulis mengusulkan perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Kemudian, pengusaha yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir, telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan.
Pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya PKWT yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Apabila syarat-syarat tersebut dilanggar, maka demi hukum status karyawan berubah menjadi karyawan tetap.
Fakta yang terjadi adalah setelah berakhirnya kontrak karyawan tersebut, perusahaan pemberi pekerjaan malah mengalihkan status karyawan outsourcing tersebut ke perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang lain. Ini guna meminimalisasi kerugian yang dapat dialami perusahaan pemberi kerja dengan merekrut tenaga kerja yang baru.
Dengan kata lain karyawan outsourcing tersebut tetap bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan dan hanya berganti setatus yang awalnya sebagai karyawan penyedia jasa tenaga kerja (A) beralih ke perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (B). Di sini diharapkan kepedulian dari pemerintah guna mensejahterakan rakyatnya agar setatus karyawan kontrak dapat berubah menjadi karyawan tetap tanpa harus mengganti-ganti setatus kedudukan karyawan tersebut.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum UNPAB Medan