Kamis 21 Mar 2019 17:43 WIB

White Supremacy dan Ancaman Global

Pelaku teror tidak lagi ada ikatan agama karena agama telah mereka hinakan.

Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali
Foto: Nusantara Foundation
Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali*

Dalam sepekan ini dunia menyaksikan madness (kegilaan) yang tidak terkontrol. Saya katakan demikian karena di saat dunia masih berbelasungkawa atas sebuah musibah, musibah lain terjadi dengan korban yang lebih dahsyat.

Barangkali yang berbeda hanya respon dari dunia internasional semata. Ada yang dihebohkan secara luar biasa. Ada pula yang dibiarkan berlalu biasa-biasa saja.

Di Selandia Baru menjelang Jumatan, dalam sekejap 50 orang lebih dihabisi tanpa rasa (senselessly). Seorang teroris putih dari pengikuti “White Nationalist” atau penganut paham “White Supremacy” mendatangi sebuah masjid di Christchurch dan menembaki mereka yang sedang melakukan ibadah.

Peristiwa kekerasan itu mengakibatkan 49 orang meninggal, dua lainnya menyusul di rumah sakit dan puluhan lainnya luka-luka. Banyak di antara yang luka ini berada pada titik kritis juga. Secara iman kita terima ini sebagai sebuah ketentuan langit yang telah terjadi. Pahit dan perih! Tapi iman mengatakan “di balik semua peristiwa, bahkan yang terpahit pun pasti ada hikmahnya”. Karenanya posisi kita sebagai orang beriman adalah menerima dengan “hati yang penuh tawakal”.

Namun hati kita menangis bahkan berdarah (bleeding) melihat realita pembantaian itu. Kesedihan itu karena saudara-saudara kita terbantai tanpa belas kasih (mercilessly). Mereka tidak melakukan apa-apa yang merugikan dan menyakiti orang lain.

Mereka terbantai hanya karena mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Perbedaan yang harusnya diterima sebagai bagian dari alam. Bahkan sesuatu yang selama ini oleh dunia yang beradab (civilized work) dipromosikan sebagai keindahan (beauty) dan kekayaan (treasure).

photo
Warga berdoa untuk para korban penembakan di dekat Masjid Linwood di Christchurch, Selandia Baru, Selasa (19 /3/ 2019).

Pada saat semua masih bersedih, berbelasungkawa atas peristiwa Selandia Baru, tiba-tiba dunia juga dikejutkan oleh pemboman sebuah gereja Katolik di Filipina. Kekerasan itu menelan 20 korban nyawa dan ratusan lainnya luka-luka.

Jika di Selandia Baru pelakunya adalah Kristen berkulit putih dan korbannya adalah Muslim, di Filipina pelakunya mengaku Muslim dan korbannya adalah Kristen Katolik. Di sinilah pentingnya ditekankan ketika sudah menyangkut hidup manusia, agama bukan pertimbangan terpenting. Ketika Anda seorang Muslim dan kelaparan, sementara yang ada hanya daging babi, maka Anda wajib menyelamatkan hidup Anda dengan memakan babi itu. Itulah yang kita maksud hidup manusia itu di atas segalanya.

Karenanya korban terorisme tidak lagi dilihat kepada ikatan agamanya. Mereka adalah manusia yang punya hak hidup dengan kemuliaan.

Sebaliknya pelaku teror tidak lagi ada ikatan agama. Karena walaupun dalam aksi teror itu mereka mengaku melakukannya atas nama agama, kenyataannya agama telah mereka hinakan.

Sehari setelah di Filipina di Yaman juga terjadi kekerasan yang lebih dahsyat dan lebih setan (jahat). Sebuah masjid di bom yang mengakibatkan terbunuhnya 130 orang dan puluhan lainnya luka-luka.

Peristiwa di Yaman ini dilakukan mereka yang beragama Islam dan korbannya juga beragama Islam. Orang Islam membunuh orang Islam dalam masjid. Sebuah kekerasan yang berada di luar kemampuan daya nalar manusia untuk memahaminya.

Peristiwa terakhir ini sesungguhnya adalah bukti yang paling nyata di mata dunia bahwa “teror” itu tidak mengenal batas-batas. Tidak memilki batas ras, etnis, bangsa dan agama. Bahkan tidak beragama sama sekali.

Kalau ada teror yang mengenal agama mengapa mereka melakukan itu di rumah-rumah ibadah? Bukankah Islam (Alquran) mengharamkan pengrusakan rumah-rumah ibadah (sinagog, gereja, masjid, dan rumah ibadah apa pun)?

Ancaman global White Supremacy

Dalam tiga tahun terakhir ini penembakan atau pembunuhan yang terjadi di Amerika didominasi oleh mereka yang menyebut diri “White Supremacy” (keunggulan kaum berkulit putih). Mereka biasanya juga dikenal dengan sebut “Right Wing radicals”.

Pada 2017 misalnya dari 23 kejadian pembunuhan atau penembakan massal di Amerika Serikat saja, 18 di antaranya dilakukan oleh kelompok yang dikenal dengan “White Nationalists” ini. Dan pada 2018 kecenderungan ini tidak berkurang tapi semakin menjadi-jadi.

Mungkin memori terdekat adalah penembakan pembunuhan jamaah Yahudi di Sinagogu Tree of life di Pittsburgh yang menelan puluhan nyawa warga Yahudi. ADL, sebuah organisasi Yahudi yang mendedikasikan diri membela hak-hak Yahudi di Amerika dan dunia mengatakan pada 2018 lalu terjadi kenaikan pembunuhan terhadap Yahudi oleh kalangan Terorris Putih (white terrorists) di atas 48 persen ketimbang tahun sebelumnya.

Pada 2018 lalu menurut ADL juga dari 50 kasus penembakan atau pembunuhan 38 di antaranya dilakukan kelompok White Nationalist. Pada umumnya penembakan atau pembunuhan itu dilakukan di rumah-rumah ibadah, seperti gereja, masjid dan sinagog.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement