Dalam sebuah diskusi di forum komunitas menulis mencuat sebuah pertanyaan, “Proyeksi pendidikan karakter abad 21, bagaimana cara yang paling efektif untuk menerapkan pada peserta didik tentang pendidikan karakter ini?”
Pertanyaan mendasar ini menjadi topik diskusi yang hangat. Para sahabat pemerhati pendidikan karakter se-Indonesia yang terlibat dalam diskusi saat itu sangat antusias memunculkan gagasan demi gagasan, yang apabila diurut tak satu pun ada yang salah. Sebuah gagasan menarik saat diksuksi pendidikan karakter tersebut diurai, yakni cara terbaik untuk menerapkan proyeksi pendidikan abad 21 adalah dengan modeling, pembiasaan, evaluasi dan apresiasi.
Semua sepakat empat hal tersebut harus dilakukan orang tua, para guru, seluruh civitas akademika di sekolah, serta masyarakat. Namun fakta di lapangan membuktikan kendala penanaman proyeksi pendidikan karakter abad 21 tersebut berasal dari rumah.
Banyak hal yang menyebabkan ini terjadi, di antaranya kurangnya tingkat pendidikan orang tua, orang tua sangat sibuk, bahkan sampai memiliki sikap tak acuh dan beranggapan segalanya beres diurus oleh sekolah. Mereka berfikir untuk apa disekolahkan dan harus menambah iuran sebagainya.
Namun apakah ke empat kendala itu akan dibiarkan begitu saja? Arus globalisasi kian deras, kemerdekaan berbicara, kemerdekaan berbuat sudah tidak terbendung. Perang ujaran setiap detik terjadi di media sosial. Siapakah yang harus menjadi tiang utama dalam proyeksi ini?
Memproyeksi pendidikan karakter abad 21 harus secara menyeluruh. Di samping guru dan pihak sekolah, justru peran orang tualah yang paling utama. Sekolah adalah mitra dan fasilitator dalam proyeksi tersebut.
Jika mendapati orang tua yang kurang dalam tingkat pendidikan, tidak peduli dan sebagainya sekolah sebagai institusi pendidikan harus langsung mengambil alih. Ambil bagian untuk memfasilatasi terselenggaranya Sekolah Orang Tua (SOT) atau Kelas Orang Tua (KOT) dianggap perlu dalam menanamkan proyeksi pendidikan karakter abad 21 ini. Mengapa penting pendidikan untuk orang tua?
⦁ Orang Tua menjalankan 8 FUNGSI dalam keluarga, yaitu fungsi (1) agama; (2) sosial; (3) cinta kasih; (4) perlindungan; (5) ekonomi; (6) pendidikan; (7) pelestarian lingkungan; dan (8) reproduksi
⦁ Keterlibatan peran orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran, untuk mencegah perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma susila dan nilai moral (Renstra Kemdikbud, hal. 79).
⦁ Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b) menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan (d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. (UU RI NO.35 Tahun 2014 Pasal 26 ayat 1).
Berbagai penelitian telah membuktikan orang tua memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kemampuan anak dalam lingkup pendidikan. Salah satu penelitian yang dilakukan Krishna Y. Smith (2011) dalam disertasinya yang berjudul The Impact of Parental Involvement on Student Achievement telah menunjukkan keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan dapat meningkatkan pencapaian prestasi belajar peserta didik baik dalam kemampuan moral maupun intelektual. Yang paling mendasar dalam keterlibatan ini adalah, saling memberikan keteladanan (model), menanamkan pembiasaan positif. Saling mengevaluasi dalam pengawasan serta memberikan apresiasi.
Dimensi pendidikan karakter abad 21 memiliki tiga komponen utama, yakni karakter, kompetensi, dan literasi. Karakter terdiri dari dua bagian, yaitu karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral meliputi iman, taqwa, jujur, dan rendah hati. Sedangkan karakter kinerja meliputi kerja keras, tangguh dan ulet. Memberikan keteladan dalam penanaman kedua karakter ini haruslah seimbang.
Adapun dalam hal kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik adalah memiliki daya berpikir kritis, memiliki kreativitas, dapat berkomunikasi dengan baik serta dapat bekerja sama. Selanjutnya adalah kemampuan berliterasi.
Kemampuan berliterasi adalah pengembangan karakter yang akan lebih menguatkan nilai diri peserta didik. Literasi baca, literasi budaya, literasi teknologi, dan literasi keuangan. Peserta didik yang literat menjadi amunisi ampuh lahirnya genenasi emas di tahun 2045 yang diperoyeksikan melalui pendidikan karakter abad 21 ini.
Yang terpenting sekolah harus terus mencari upaya untuk terbangunya keterlibatan ini. Bentuk keterlibatan orang tua dan kerja samanya dengan pihak sekolah dapat terbangun jika seluruh pihak memainkan perannya. Eipstein (2002) telah mengembangkan sebuah rangkaian enam tipe keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan anak. Enam tipe tersebut, di antaranya adalah pengasuhan (parenting), komunikasi (communicating), relawan (volunteering), pembelajaran di rumah (learning at home), membuat keputusan (decision making), serta kerja sama dengan komunitas (collaborating with the community).
Penerapan ke enam tipe Eipstein di atas dapat digambarkan sebagai berikut ;
1. Pengasuhan (parenting), keluarga membantu menyiapkan lingkungan kondusif untuk belajar. Dapat pula dilakukan dalam bentuk mengadakan pertemuan dengan setiap orang tua peserta didik di awal semester dan akhir semester. Hal ini pun juga dapat didukung dengan sekolah yang mengadakan seminar parenting untuk para orang tua/wali, agar dapat terbangun pemahaman yang sama di antara seluruh keluarga akan pentingnya menyiapkan lingkungan belajar yang kondusif.
2. Komunikasi (communicating), komunikasi instensif antara pihak sekolah dan orang tua dalam rangka mensosialisasikan program-program sekolah serta progres perkembangan peserta didik selama berada di sekolah. .
3. Relawan (volunteering), mengajak orang tua peserta didik untuk menjadi relawan dalam aktivitas mengajar di kelas (guru tamu), administrator sekolah maupun mengadakan les-les tambahan bagi peserta didik serta program pengembangan diri lainnya.
4. Pembelajaran di rumah (learning at home), hal ini dapat diwujudkan dengan cara memberikan kepada orang tua informasi tugas apa saja yang diberikan kepada peserta didik dan bantuan apa saja yang diperlukan peserta didik ketika berada di rumah. Kegiatan ini disebut juga proyek bersama orang tua (work with parent). Alangkah baiknya setiap kegiatan berbasis proyek/tugas diberikan di awal semester oleh pihak sekolah dalam bentuk satuan tugas semester (handout)
5. Membuat keputusan (decision making), hal ini dapat diwujudkan dengan membentuk komite sekolah atau organisasi yang terdiri dari para orang tua peserta didik. Orang tua peserta didik diajak untuk ikut serta menjadi relawan dan mendukungan setiap program pengembangan sekolah.
6. Kerja sama dengan komunitas (collaborating with the community) kegiatan ini dapat berupa pengadaan kerja sama dengan komunitas-komunitas pengembangan minat dan bakat yang disertai dengan partisipasi orang tua dan seluruh peserta didik.
Tidak ada kata terlambat dalam membangun kembali sinergi bersama orang tua melalui program sekolah orang tua (SOT)/ kelas orang tua (KOT) yang merupakan tiang utama dalam memproyeksi tiga dimensi pendidikan katakter di abad 21 ini. Semoga kelak lahir generasi best yang diharapkan.
“Jika Anda ingin mengontrol hasilnya, Anda juga harus mengontrol prosesnya”. (Harvey Makcay, 1955:222)
“Jika namamu ingin tersimpan dalam hati mereka, maka mulailah masuk ke dunia mereka mulai hari ini, bukan nanti” (Sz).
TENTANG PENULIS
SUSILOWATI. Perintis gerakan literasi sekolah dan staf pengajar di SMA IT Insan Cendekia Gunung Geulis Kabupaten Bogor.