REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Didin Hafidhuddin
Alhamdulillah, Ahad, 04 Agustus 2019, hari ini bertepatan dengan tanggal 03 Dzulhijah 1440 H di mana jutaan kaum Muslimin yang datang dari berbagai penjuru dunia, termasuk dari Indonesia, sedang bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji, terutama untuk melaksanakan wukuf di Padang Arafah tanggal 09 Dzulhijah beberapa hari ke depan.
Semoga para jamaah haji dimudahkan dan dilancarkan segala urusannya oleh Allah SWT dan mereka mendapatkan anugerah predikat hajjan mabruran (haji mabrur), yaitu perilaku dan akhlaknya semakin baik dibandingkan dengan perilakunya sebelum melaksakan ibadah haji, dan ketika kembali ke Tanah Air mereka menjadi panutan masyarakat sekitarnya.
Berbagai peristiwa dan kejadian yang diabadikan yang menjadi bagian utama dari rukun, wajib, dan sunah dalam ibadah haji, seperti wukuf di Padang Arafah, mabit dan melempar jumrah di Mina, ataupun yang berkaitan secara langsung dengan Idul Adha, seperti penyembelihan hewan kurban, di samping merupakan ibadah kepada Allah SWT, mengikuti sunah Rasulullah SAW, yang sikap kita saman wa thaatan (mendengar dan mematuhi), juga merupakan sebuah proses pembelajaran dari sebuah keluarga yang telah berhasil menjadikan keluarganya sebagai institusi pendidikan untuk melahirkan anak keturunan yang beriman dan bertakwa, yang saleh dan salehah, yang mengabdi kepada Allah SWT, yang menghormati kedua orang tuanya, yang mencintai sesamanya, dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
Pendidikan ini berlangsung dengan mengedepankan kasih sayang, cinta, tanggung jawab, saling menghargai, mengedepankan musyawarah yang sangat religius. Itulah keluarga Nabiyullah Ibrahim AS dengan istrinya, Siti Hajar dan Siti Sarah, beserta putranya, Nabiyullah Ismail AS dan Nabiyullah Ishak AS. Mereka semua adalah tipologi keluarga bahagia, sakinah mawaddah warahmah, dan keluarga panutan umat manusia, secara universal karena ketaatan dan kepatuhannya kepada perintah Allah SWT.
Ketika Nabi Ibrahim AS mendapatkan perintah dari Allah SWT melalui mimpi untuk menyembelih putra yang sangat dikasihi dan dicintainya, Ismail AS, dan ia yakin akan kebenaran dan kemutlakan perintah Allah SWT, ia tidak langsung melaksanakan perintah Allah tersebut, tetapi terlebih dahulu meminta saran dan pendapat anaknya, Ismail AS.
Dan sang anak, karena sudah terdidik dengan baik oleh kedua orang tuanya, dan sudah kuat keyakinannya bahwa apa yang disampaikan oleh orang tuanya adalah benar dan mutlak harus dilaksanakan, ia langsung merespons dengan menyatakan. "Yaa abati if'al. Maa tuumaru, satajidunii Insyaa Allah minash shabirin (Wahai Bapakku, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan mendapatkanku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar).”
Perhatikan QS ash-Shaffat (37) ayat 100-108: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (100). Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (101). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’ (102). Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (103). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim’ (104). Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik (105). Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (106). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (107). Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian (108).” (QS ash-Shaffat [37]: 100-108).
Itulah contoh keluarga yang mengedepankan kasih sayang antara sesama anggotanya, tetapi dilandasi dengan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah SWT. Karena itu, bagi orang yang beriman kecintaan kepada suami atau isteri dan anak tidak boleh mengorbakan kecintaan kita kepada Allah SWT. Apalagi kecintaan kepada harta, jabatan, maupun kedudukan, tidak boleh dengan cara mengorbankan akidah, syariah, dan integritas pribadi yang kuat.
Di tengah-tengah berbagai macam masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan bangsa sekarang, perhatian kita pada pendidikan Islami dalam keluarga harus lebih ditingkatkan dan dikuatkan. Karena masyarakat dan bangsa akan menjadi baik kalau pendudukunya adalah orang-orang yang berhimpun dalam keluarga yang baik, keluarga yang taat beragama, yang mencintai dan menghargai sesamanya.
Peran kedua orang tua dalam pendidikan keluarga ini sangat sentral karena bergantung pada mereka berdualah agama dan karakter anak-anak akan terbentuk. Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak yang lahir, dia terlahir atas fitrah, maka tergantung kedua orang tuanya yang menjadikan dia orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi, seperti binatang ternak yang dilahirkan dengan sempurna, apakah kamu melihat padanya telinga yang terpotong?” (HR al-Bukhari).
Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan dalam menguatkan peran pendidikan dalam keluarga ini. Pertama, menguatkan aqidah salimah, yaitu keyakinan kepada Allah SWT dan keyakinan akan kebenaran ajaran Islam sebagai kurikulum kehidupan yang bersifat komprehensif (mencakup semua bidang kehidupan) dan bersifat sempurna.
Anak-anak kita harus diajarkan agar bisa membaca dan menghayati isi dan kandungan Alquran al-Karim sebagai sumber utama ajaran Islam. Alquran mengajarkan etos kerja, semangat belajar, cinta kepada sesama, dan cinta pada negara dan bangsa.
Sejarah kehidupan bangsa kita telah membuktikan bahwa para pahlawan pembela Tanah Air itu adalah mereka yang memiliki jiwa agama yang kuat, yang melawan penjajah dengan kalimat tauhid dan kalimat takbir (Allahuakbar). Kita mengetahui bahwa mayoritas (8 dari 9) anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) adalah tokoh-tokoh Islam, seperti Ir Soekarno (ketua), Drs Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr Achmad Soebarjo (anggota), Mr Mohammad Yamin (anggota), H Agus Salim (anggota), KH Wachid Hasyim (anggota), Abdoel Kahar Moezakir (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), Mr Alexander Andries Maramis (anggota).
Kedua, pendidikan yang terbaik itu adalah pendidikan yang mengutamakan pembiasaan. Kita harus membiasakan diri kita dan keluarga kita pada ibadah-ibadah yang bersifat mahdlah, seperti shalat dan ibadah sosial, menyayangi sesama umat serta menghormati sesama Marusia. Jika kita dan keluarga kita dan terutama anak-anak kita tidak terbiasa melaksanakan shalat, maka akan rapuh pertahanan dirinya dan mudah diintervensi oleh pengaruh-pengaruh yang buruk, seperti narkoba, minuman keras, tawuran antar sesama pelajar, dan lain-lain. Allah SWT berfirman dalam QS. Maryam [19] ayat 59: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam [19]: 59).
Ketiga, keteladanan menjadi sangat penting dalam pendidikan keluarga, terutama teladan dari kedua orang tua. Orang tua yang bertanggung jawab adalah orang tua yang memberikan contoh kehidupan beragama yang baik serta memberikan contoh implementasi akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah SAW berhasil dalam membangun umat karena keteladanan dan akhlakul karimah sehingga para sahabat tidak hanya mendengar ucapannya, tetapi juga melihat langsung perbuatannya. Firman Allah dalam QS al-Ahzab [33] ayat 21 dan Al-Qalam [68] ayat 4: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 4).
Dengan pendidikan Islami yang intensif dalam keluarga, diharapkan akan lahir generasi mendatang yang kuat akidah Islamiyahnya, yang benar syariah dan ibadahnya, yang mulia akhlaknya dan berguna bagi masyarakat dan bangsanya, sehingga akan menyebabkan negara dan bangsa kita di masa mendatang akan menjadi Negara yang kuat yang berkeadilan yang rakyatnya sejahtera lahir dan batin.
Allah SWT berfirman dalam QS at-Tahrim [66] ayat 6: ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).
Mudah-mudahan kita semua dan keluarga kita akan diselamatkan Allah SWT di dunia dan akhirat, dengan sebab berpegang teguh pada ajaran agama-Nya.
Wallahu `alam bi ash shawab.