Kamis 18 Oct 2012 15:54 WIB

Sebuah Cerpen Sejarah

Bendera Merah Putih
Foto: .
Bendera Merah Putih

Hari Ini Hari Kemerdekaan

Oleh: Gilang Muhammad

Hari ini aku masih berjalan. Lagi-lagi jalan kaki. Aku berjalan seorang diri, menuju sebuah kota tempat yang terkasihku menanti. Ah, aku tahu, masa-masa resesi dunia seperti ini, harga serba melonjak. Itu kata abangku. Ia kerja di bank swasta. Kau tahu, bank swasta bukan milik Hindia Belanda. Kudengar bank tersebut milik seorang Yahudi. Aku berjalan sudah setengah jam. Demi menghemat beberapa sen kupikir. Tapi ah, lelah ini aku yakin akan hilang ketika aku bertemu dengan kekasihku.

Jalanan agak lengang. Tumben sekali. Apakah ada sesuatu? Aku berjalan semakin cepat dengan sesekali melihat jam tangan. Aku heran bukan kepalang, hari ini padahal hari Jum'at. Masih pagi pula, kenapa kota menjadi begitu sepi begini. Semua orang tak satupun menunjukkan batang hidungnya. Aneh kupikir. Apakah resesi dunia sudah menimbulkan efek seperti ini?

Matahari sudah mulai menunjukan kuasanya. Aku mulai berpeluh. Punggungku sudah gatal rasanya oleh keringat. Baju yang baru kubeli dari Glodok ini ternyata tak senyaman yang Koh Samin katakan. Ternyata tak lebih dari karung goni rasanya baju ini kalau sudah kupakai.

+++

“Berapa baju ini Koh?”

“Mulah..mulah, nih...” tangannya mengacungkan empat jari ke arah mukaku.

“Dua setengah deh Koh.. mahal banget dah.”

“Nih baju oe beli pengecel di Batam sana. Lu emang mau buat ape sih?”

“Buat ketemu sama demenan aye Koh”

“Ahhh, oe ada yang lebih mulah, tapi lo jangan tawal-tawal lagi. Oe udah lugi. Sepuluh olang kayak lo aja nih, lugi oe punya dagangan.”

“yaudeh, mane Koh?”

Koh Samin masuk gudangnya. Bunyi barang-barang dipindahkan keluar gudang menghiasi penungguan terhadap baju ini. Anak-anak Koh Samin dari tadi lari-lari mengelilingi seorang jongos yang kesakitan akibat ditimpa sekarung beras oleh mereka. Anak nakal. Debu mulai beterbangan dari gung Koh Samin. Baju macam apa yang akan diberikan olehnya? 

"Baju apaan nih Koh? Aneh bener, kagak ade kerahnye, bolong doang aje gini"

"Tuh namanya kaos, lu olang kagak gaul benel. Ni biasa dipake ama anak muda di Glodok."

Ia benar, sepanjang jalan tadi aku melihat banyak yang memakai pakaian ini. sebenarnya keadaan ekonomi yang tidak menentu dari keluargakulah yang mengakibatkan aku kaget akan semua perubahan ini.

"Berape Koh harganye?"

"Kalena lo udah nungguin dengan sabar, oe kasih dua setengah. Nolak oe buang ni baju."

+++

Akhirnya, aku beli baju itu. Baju yang terlihat bak sutra dari luar, namun panas setelahnya. Mencibir pun tak bisa. Tapi tak apa, demi kekasihku tercinta, biar peluh dan gatal memenuhi tubuh aku akan tegar. Ah, gerah sekali rasanya, dan perutku sudah keroncongan.

Segelas kopi panas dan semangkuk soto mengisi perutku pelan-pelan. Sayup-sayup kudengar alunan melodi-melodi melayu di radio. Benda besi kecil ini selalu menarik perhatianku. Suaranya yang gemerisik, suaranya hilang muncul tenggelam memberikan sensasi tersendiri. Ayahku pernah membelikan sebuah radio, tapi sayang, ia meninggal lebih cepat. Takdir Kupikir. Beberapa dokar melaju cepat menuju arah Manggarai. Tentara Jepang masih bersiaga seperti biasa di perempatan jalan. Tapi, kenapa hanya sedikit ya?

Aku melanjutkan perjalanan ke arah Manggarai. Mungkin aku bisa tahu ada apa di sana, pikirku. Sial, matahari semakin panas dan bajuku ini semakin lengket saja. Udara bulan Agustus yang memanas ini membuat tengkukku terbakar. Kata ibuku, bayi harus ditaruh di bawah sinar matahari biar tulangnya kuat. Tapi dengan suhu yang seperti ini, bisa dipastikan bayi sehat tersebut akan matang seperti telur rebus.

Sampai di Gambir, aku memutuskan menggunakan kereta ke Bogor. Cuaca yang panas membuatku menyerah. Dengan uang yang hanya sedikit ini aku putuskan naik kereta. Pilihannya hanya dua, jalan kaki sampai kepalamu membesar dan meledak atau naik kereta pengap namun ada obat yang bernama es cincau. Aku pilih yang kedua.

***

Suasana dalam kereta sangat pengap, berisik dan bau tak karu-karuan. Beberapa opsir jepang hilir mudik dengan benda hitam yang belakangan kuketahui namanya HT (hands talkie), mungkin aku akan lebih tertarik dengan radio karena tak adanya musik dari dalam benda hitam itu, hanya suara dengan bahasa Jepang yang cepat. Para pedagang hilir mudik mencari pelanggan. Tukang tahu, jajanan gula, sayur, hilir mudik. Tak kujumpai juga tukang cincau itu. Di hadapanku, seorang pemuda tanggung menatap tegas ke luar jendela. Parasnya bersih, kuperkirakan ia seorang yang berpendidikan atau bekerja di kantor pemerintahan. Kacamatanya agak kusam, sebuah buku yang ia pegang di tangannya dan peci hitam lusuhnya ia kenakan di kepalanya yang berambut agak jarang itu. Guratan wajahnya menyatakan ia bahagia.

“Mau ke Bogor juga?” aku memulai percakapan agar tidak bosan.

“Ah, iya?” ia tidak sadar ketika kutanya.

“Mau ke Bogor juga ya mas?” kuulangi.

“Iya, mau pulang.”

“Sering seperti ini?”

“Yah, baru kali ini. Kereta api pengap juga ya?”

“Begitulah, saya juga terpaksa naik kereta api ini..”

Pembicaraan dengan orang tersebut terhenti karena seorang yang dikenalnya datang dan ia asyik mengobrol dengan pria itu. Mataku kembali mengarah ke luar jendela. Jakarta begitu membosankan, pikirku. Sejak namanya berubah dari Batavia menjadi Jakarta, kota ini menjadi semakin ramai, juga semakin lusuh. Pasca pendudukan Jepang sangat mempengaruhi keadaan ini. Tak ada lagi kutemui meneer, mevrouw dan sinyo bebas berkeliaran. Kudapati hanya seorang Jepang yang pendek, kekar, dan haus akan wanita dan arak. Menjijikan. 

Aku ingat bagaimana tetanggaku yang masih muda. Sakinah namanya, bunga desa di kampungku. Gadis tercantik yang bisa membuat dua orang adik kakak saling tikam dan dua orang sahabat saling benci. Tahun itu kalau tidak salah tahun 1942, bulannya aku tidak ingat, aku hanya ingat bulan dalam tanggalan Islam. Sakinah baru berumur, kalau tidak salah 19 tahun, ia diambil paksa oleh tentara Jepang. Kata tentara Jepang itu Sakinah ingin dijadikan pegawai Jepang. Waktu tahu begitu, aku langsung berdoa agar aku seorang wanita, tapi doa itu aku urungkan setelah tahu bahwa Sakinah dijadikan budak seks oleh Jepang. 

Pandanganku kembali keluar kereta. Banyak sekali pria-pria yang disebut jago berkeliaran di luar. Di setiap stasiun, selalu berteriak dengan ocehan yang tidak jelas. Entah apa maksdunya. Wajah mereka mengisyaratkan kesumringahan. Entah ada apa. Aku tak tahu.

*** 

Bogor, kota ini menjadi tempat istirahat dan riset pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meneer Bravt sering menyebut Bogor dengan kata Buitenzorg, sedangkan saya dengan kata Bogor, tidak berbeda, hanya kualitas lidah saja. Kota ini masih hutan, banyak kebun dan bersuhu rendah. Keluar dari kereta yang pengap seperti selesai mengalami kisah siksaan di neraka dan diangkat ke surga, persis seperti kata Ustad di kampungku.

+++

“Nanti orang Islam gimane tad pas nti mati?” aku mulai bertanya.

“Tergantung, pas mati die ngelakuin dosa apa kagak”

“Kalo die ngelakuin dosa, gimane tuh tad?”

“Die masuk neraka dulu, digodok dulu dah tuh badannye, bi situ dia diangkat diasupin ke surge dah”

“Kalau die kagak ngelakuin dosa?”

“Bayi kali, klo lo pada pasti masuk neraka dulu nemenin ustad”

+++

Aku tertawa mengenang Ustad Ja’i. Sekarang ustad tersebut sudah meninggal, tubuhnya ditembus timah panas Belanda akibat tak bergeming saat rumahnya dianggap menyebarkan pemberontakan. Semua keluarganya pindah ke Indramayu. Pak Ustad selalu bilang kalau Indonesia masih belum merdeka, dia tahu itu dari koran.

Aku perlu berjalan sedikit ke arah Selatan untuk menemui Siti, calon istriku. Berjalan di Bogor tak pernah kulihat sesepi ini. banyak orang yang kulihat berpakaian seperti pemuda yang kutemui di kereta tadi. Aku masih bingung, ada apa dengan hari ini? 

Aku akhirnya sampai di rumah keluarga kekasihku. Rumahnya kosong, tak ada orang. Aku terus memperhatikan ke dalam, mungkin ada gerakan atau apalah itu. Nihil, tak ada siapa-siapa. Aku putus asa.

“Neangan saha, Kang?” seorang ibu-ibu dengan bahasa daerah bertanya kepadaku.

Aku yang hanya mengerti sedikit menjawab.

“Siti bu, aya teu?”

“Neng Siti angkat jeung bapana.”

“Kamana bu?”

“Ka Jakarta meureun nya, teu terang ibu oge.”

“Aya naon kitu di Jakarta teh bu?”

“Teu terang ibu oge.”

Nihil, ibu ini hanya memberikan kabar bahwa Siti pergi dengan bapaknya. Entah kemana. Aku putuskan untuk sholat dulu, aku kelelahan. Aku berjalan sedikit keluar gang, masuk jalan utama dan ditabrak oleh seseorang yang berteriak. 

“Merdeka!!! Merdeka!!!”

“Merdeka apanya, saya tertabrak begini. Memang kapan kita merdeka?” aku menggerutu.

“Kamu pasti antek Jepang atau Belanda itu, ya? Kita sudah merdeka, baru saja Soekarno menyatakannya!”

“Masa bodoh, saya tak peduli” kekesalan karena tidak berhasil bertemu dan kelelahan terakumulasikan.

“Tolol kamu!” sebuah bogem mentah mendarat ke wajahku. Disusul pukulan berikutnya, aku ambruk, berdarah, setelah sekian lama tidak melihat darah. Mungkin yang pertama di hari kemerdekaan ini.

Depok, November 2010

 

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas AKAR

@majalahakar

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement