Senin 18 Jul 2016 14:00 WIB

BINCANG BISNIS- Agus Dwi Handaya, Direktur Keuangan dan Strategi BSM: Menuju Beyond Banking

Red:

Perbankan syariah terus berupaya untuk mendapatkan tempat dan peran yang lebih baik di masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, bank berbasis nilai-nilai Islam tersebut masih belum bisa mengalahkan sistem konvensional yang telah lebih lama diterapkan di Tanah Air. 

Meskipun begitu, para pelaku perbankan syariah terus mencari jalan agar dapat memberikan pelayanan beyond banking. Yaitu, pelayanan yang menyediakan dasar perbankan yang bagus dan memiliki nilai syariah.

Saat ini, pemerintah pun sedang membuat perusahaan induk (holding) keuangan, termasuk di dalamnya subkomite perbankan syariah dan bank pembangunan daerah (BPD). Tim perbankan syariah yang diketuai BSM memiliki kesempatan untuk memberi masukan penguatan industri.

Kepada wartawan Republika Fuji Pratiwi, Direktur Keuangan dan Strategi BSM, Agus Dwi Handaya pun menceritakan pandangannya untuk membesarkan industri perbankan syariah. Misalnya, mengenai opsi untuk mewajibkan induk mengembangkan anak syariahnya. Dengan begitu, perkembangan bank syariah akan berjalan lebih natural karena induk dan anak syariahnya dapat tumbuh secara bersamaan.

Agus Dwi juga menyampaikan opsi inisiatif konsolidasi dan penggabungan (merger) menjadi dua bank syariah yang skalanya sama agar bisa berkompetisi. Opsi mana yang paling tepat digunakan untuk perbankan syariah? Berikut wawancara lengkapnya.

***

Pemerintah berencana melakukan penguatan perbankan syariah dan BSM terlibat di dalamnya. Penguatannya seperti apa?

Pemerintah sedang membuat perusahaan induk (holding) keuangan, termasuk perbankan. Sudah ada komite yang dibentuk dan salah satu subkomitenya adalah perbankan syariah serta bank pembangunan daerah (BPD). Tim perbankan  syariah sudah ada dan diketuai BSM. Pemerintah punya inisiatif menguatkan perbankan syariah. Ini kesempatan tim untuk memberi masukan bagaimana penguatan perbankan syariah.

Kalau jadi holding bank BUMN, implikasinya kepada anak usaha. Ada beberapa opsi yang dipertimbangkan, tapi belum ada keputusan. Tim akan memberi usulan ke komite dan komite yang akan memutuskan. Tim ini terdiri atas bank-bank syariah dan unit syariah bank BUMN plus induknya (bank-bank BUMN). Dalam holding pun induk ini terlibat.

Opsi apa saja yang dipertimbangkan?

Pertama, mitra strategis. Tidak hanya untuk modal, tetapi juga kepakaran. Kalau modal, induk kami punya. Yang lebih dibutuhkan adalah kepakaran agar nantinya bank syariah khas dan berbeda dari konvensional. Kalau sama, nanti bank syariah  harus head to head dengan konvensional. Kami mencari mitra strategis yang punya kepakaran dan modal untuk pasar seperti Indonesia. Bisa jadi sulit, tapi ini tetap jadi opsi.

Kedua, konsolidasi dan penggabungan (merger) menjadi dua bank syariah yang skalanya sama agar bisa berkompetisi. Secara pribadi, saya lihat merger tidak bisa jadi aksi tunggal. Setelah merger, bank syariah baru itu perlu tambahan modal dan dukungan kemampuan, jadi ada akselerasi. Jadi merger baru masuk investor strategis. Merger itu tahap awal konsolidasi karena setelah itu harus ada langkah lanjutannya.

Belajar dari Bank Mandiri, merger empat bank menjadi Bank Mandiri itu salah satu yang tersukses di dunia. Merger Mandiri itu tidak dilakukan dengan aksi tunggal, tapi ada beberapa tahap dan beberapa faktor yang membuat merger Mandiri sukses.

Tiga, wajibkan induk besarkan anak syariahnya. Bank syariah akan terbantu kalau induk membantu. Kasih target induk agar anak bisa naik buku. Saya pikir ini lebih natural. Keempat, kalau hanya kejar melewati pangsa pasar, konversi saja satu bank konvensional. Memang terlampaui target itu, tapi bisnis bank syariah tidak bertambah.

Opsi mana yang sekiranya cukup bagus untuk bank syariah?

Sekarang yang jadi fokus itu menyelesaikan hitungan matematis saja atau benar-benar mau mengembangkan perbankan syariah dan sektor riil? Yang paling bisa buat perbankan syariah berkembang saya pikir opsi ketiga. Selain mendorong induk, pemerintah juga harus berkemauan kuat untuk membesarkan perbankan syariah.

Setelah bank syariah dibesarkan induknya, berilah porsi 20-30 persen proyek infrastruktur harus melalui bank syariah. Dengan begitu, kompetensi bank syariah juga naik. Kalau kemudian digarapnya infrastruktur oleh bank syariah ini dikaitkan dengan citra bank syariah sebagai bank rakyat, tidak apa-apa. Bank syariah baru berkembang, beri waktu. Setelah kuat, baru gerak masif ke segmen bawah.

Banyak yang bisa dilakukan dan risikonya rendah tanpa harus merger. Indonesia punya dana haji dan proyek infrastruktur sedang gencar. Bagi saya, ini lebih memberdayakan induk untuk besarkan anaknya.

Kalau mau besarkan bank syariah, beri kelonggaran dulu enam hingga 10 tahun. Tak harus modal, pemerintah bisa mendukung bank syariah melalui induknya dan memberi peluang bisnis, misalnya di infrastruktur. Kalau sudah kuat, silakan cabut kelonggaran dan biarkan bank syariah bersaing dengan konvensional.

Belajar dari pembentukan Bank Mandiri, apa saja faktor suksesnya?

Bank Mandiri adalah hasil merger empat bank. Pertama, aset buruk dari empat bank itu dihapus buku dan dilimpahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Aset buruk dijual ke pemerintah sehingga bank baru hasil merger mendapat dana baru. Tapi, karena kondisi saat itu likuiditas pemerintah pun sulit, dana hasil penjualan aset bermasalah yang diterima Bank Mandiri kemudian dibelikan obligasi pemerintah, dana kembali ke pemerintah. Jadi modal dan aset bank naik, pemerintah pun tidak kehilangan dana.

Jadi, menghapus buku ini akan membuat manajemen baru tidak lagi terbebani, tapi fokus integrasi dan menghidupkan bisnis bank. Integrasi dan pengembangan bisnis pun repot kalau dikerjakan bersamaan. Saat itu pengembangan bisnis terbantu adanya penempatan dana di obligasi pemerintah sebesar Rp 180 triliun, dan memberi pendapatan sehingga manajemen fokus pada integrasi.

Integrasi juga butuh biaya orang untuk merampingkan jumlah pegawai, menyatukan sistem, tutup cabang, dan lain-lain. Saat itu, dana yang digunakan untuk integrasi dari dana pemerintah. Ada hitungan berapa kebutuhan biaya untuk integrasi dan penuhi rasio-rasio keuangan di level tertentu. Skimnya bagus sehingga merger lebih halus. Itu saja butuh waktu cukup lama.

Kedua, beri bank baru hasil merger itu aset sehat tanpa risiko dan berkelanjutan. Selama integrasi selama dua tiga tahun, bank fokus ke sana dan agak longgar soal bisnis. Waktu kan berharga. Kalau bank syariah hendak juga digabungkan, faktor-faktor pendukungnya dipenuhi. Jadi, merger itu bukan langkah tunggal.

Arahan pemerintah sendiri seperti apa kepada bank-bank syariah anak BUMN?

Kami, melalui subkomite perbankan syariah, diminta membuat kajian. Intinya, pemerintah ingin punya bank syariah besar dan ingin mendengar usulan dari bank-bank syariah.

Bank syariah diharapkan jadi banknya umat. Apa perlu spesialisasi bank syariah yang fokus ke segmen ritel dan segmen korporasi?

Bisa saja. Tapi kembali lagi, terlepas dari spesialisasi yang mungkin dibentuk, bank syariah itu industri baru, tetap butuh dukungan. Dukungan ini bisa dari induk atau yang lain.

Inisiatif merger, tidak bisa menjawab persoalan yang ada saat ini. Merger dengan spesialisasi di ritel atau korporasi tetap perlu membangun kapasitas dulu. Bagaimana cara bangun itu? Didukung induknya. Kalau tidak, head to head lagi dengan konvensional.

Saya sepakat dengan bank spesialis, tapi untuk bangun spesialisasi itu butuh dukungan pemerintah juga. Bicara bank syariah itu bicara industri baru di pasar lama. Mustahil industri baru bisa tumbuh berkembang kalau tidak mendapat dukungan khusus. Karena itu, kalau mau besarkan, pemerintah dan induk memang harus mau berkorban dulu. Kalau tidak mau berkorban, tidak bisa.

Yang paling saya khawatirkan, dengan merger maka persoalan bank syariah dianggap selesai. Padahal, butuh waktu dua tiga tahun setelahnya untuk membangun bank syariah baru hasil merger ini. Sementara di lapangan, perlombaan dengan bank asing terus berjalan. Lebih berat lagi dengan kondisi makro yang kurang mendukung.

Soal perangkap pangsa pasar lima persen, 20 tahun tidak juga selesai. Masalahnya di mana?

Ini permainan angka juga. Pangsa pasar itu target dinamis. Aset bank syariah sebenarnya naik terus, tapi pasar kan juga bergerak. Target pangsa pasar lima persen belum tercapai karena secara umum produk dan layanan bank syariah belum berbeda dengan konvensional, yang beda hanya pada akad. Akad ini bagus karena mengurangi spekulasi dan ketamakan karena pembiayaan harus ada basis asetnya.

Tapi di mata konsumen, ini belum beda dengan konvensional. Akhirnya, bank syariah head to head lagi dengan konvensional. BSM itu bank kelas menengah harus bersaing dengan bank besar.

Di sisi lain, nasabah itu ada yang loyalis syariah dan ada yang rasional. Yang loyalis hanya 19-20 persen. Yang rasional itu yang terbanyak, itu pun terbagi lagi jadi dua, yang ingin bank syariah selevel dulu dengan konvensional dan yang ingin bank syariah lebih bagus dari konvensional.

Maka itu, bank syariah tidak hanya harus beda, tetapi juga menjadi solusi buat nasabah. Produk-produk ini ada di bank syariah, tapi infrastrukturnya belum ajek. Selama kompetensi belum lebih baik dari konvensional, akan sulit. Maka yang pertama harus dilakukan, bank syariah selevel dulu dengan konvensional, baru diberi nilai tambah.

Layanan dasar perbankan di bank syariah itu tidak bisa digantikan syariah. Selama ini seolah-olah kita mengganti dasar-dasar perbankan bank syariah dengan syariah. Kalau berpikirnya tidak apa-apa bank syariah tidak bisa transfer dan bayar aneka tagihan, yang penting berkah, bank syariah jadi tidak kompetitif dan terjebak di pangsa lima persen. Kalau dasar-dasar perbankannya bisa sama dengan konvensional, syariah menjadi nilai tambah. Kalau dasar perbankannya bagus plus punya nilai syariah, ini yang disebut beyond banking.

Kabar terakhir pemerintah berencana melakukan merger satu bank syariah anak bank BUMN dengan satu UUS milik bank BUMN. Dari pandangan Anda, mengapa mulai dari bank syariah dan UUS ini?

Kalau saya coba mereka-reka, bank syariah kurang berkembang karena target pasarnya tidak fokus. Agar tidak terlalu tersebar, dibuatlah fokus.

Masalah lain juga fokus bukan hanya di target pasar, melainkan juga besar modal dan skala bisnis. Karena bank syariah tidak diberi kesempatan masuk ke korporasi, target lima persen itu tidak tercapai. Kecuali kalau targetnya bukan itu, tapi memperdalam pasar menengah bawah. Tidak bisa kita bilang target pangsa pasar 10 persen tapi sasarannya segmen menengah bawah, ini berbeda.

Jangan bandingkan bank syariah Indonesia dengan Inggris dan Malaysia yang memang bank syariah yang melayani korporasi. Indonesia tidak usah terlalu khawatir dengan pangsa lima persen itu karena melihatnya pada jumlah nasabah yang  dilayani.

Maka itu, apa yang akan dilakukan bergantung pada apa yang ingin dicapai. Kalau hanya capai pangsa pasar, harus dibentuk bank yang diberi modal besar dan lahan bisnis besar atau konversi salah satu bank konvensional. Tapi, kalau mau mengincar  kedalaman pasar, banknya berbasis ritel. Dua model ini tidak bisa dibentuk di satu bank yang sama, harus dipilih prioritasnya.

Kalau mau mengembangkan keahlian bank syariah, manfaatkan induknya. Karena yang paling bisa merawat anak, induknya yang sesama bank. Kalau bank syariah dalam masa pengembangan lalu yang mengampu itu bukan bank, akan sulit karena berbeda pola pikirnya.

Pengembangan yang dilakukan BSM mengantisipasi upaya penguatan bank syariah oleh pemerintah?

Bisnis BSM tetap berjalan. Pada 2013, laba pernah mencapai Rp 650 miliar dan turun tajam jadi Rp 72 miliar pada 2014, dengan pencadangan hampir Rp 1 triliun. BSM sebenarnya bank dengan laba Rp 1 triliun. Skala bisnis BSM itu sudah Rp 1  triliun yang sayang termakan pencadangan, potensinya besar. Profit turun pun, skala bisnis BSM tetap.

Lalu kami transformasi. Sambil dibenahi, laba naik dari Rp 72 miliar ke Rp 289 miliar. Belum kembali ke semula, tapi perlahan membaik. Mengantisipasi konsolidasi, BSM aktif masuk ke PBS. BSM kelebihan likuiditas. Dalam waktu dekat, akan tambah Rp 1-2 triliun lagi ke PBS. Jadi kalau pemerintah nanti memberi proyek infrastruktur, BSM sudah siap.

Perbaikan juga terus BSM lakukan, banyak perbaikan yang juga dilakukan bersama induk. Misalnya, penggunaan ATM Mandiri untuk transaksi BSM. Tahun ini pun BSM akan meluncurkan layanan BSM di empat cabang Mandiri. Sistem akan terintegrasi sehingga petugas Mandiri tidak perlu mengubah tampilan layar untuk bisa melayani nasabah BSM. Kalau ini sukses, LSB bisa dilakukan sebagian besar cabang Mandiri.    ed: Mansyur Faqih 

***

Membeli Masa Depan

Setelah pernah tumbuh di atas 30 persen, pada 2015 pertumbuhan berada di titik terendah, sekitar 8,4 persen. Pertumbuhan bank syariah yang dulu tinggi, menurut Direktur Keuangan dan Strategi Bank Syariah Mandiri (BSM), Agus Dwi  Handaya, tidak didukung investasi yang besar pada sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi (TI).

"Kita  harusnya berinvestasi pada SDM dan TI, buying the future.  Karena ini basis yang butuh penguatan dan pembenahan," kata Agus Dwi kepada Republika di kantornya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Agus Dwi yang memulai karier di Bank Exim pada 1997 dan menjadi lulusan terbaik Pendidikan Calon Tenaga Pemimpin (PCTP) Bank Exim Angkatan 31 mengakui, sampai saat ini unit khusus riset produk dan intelijen pasar hampir tidak dikedepankan. Di bank konvensional, hal ini bisa jadi tidak masalah. Tapi di bank syariah, setiap bank perlu punya unit khusus mendalami, mendesain, dan mengembangkan produk khusus. Hal ini bertumpu pada SDM.

"Di era awal perkembangan bank syariah, SDM riset dan pengembangan dianggap tidak strategis. Tapi menurut saya, SDM ini yang dikedepankan. Kita harus perbanyak riset berbasis kebutuhan nasabah. Memahami nasabah itu perlu ada unitnya, memahami produk end to end, edukasinya ke masyarakat," tutur alumnus NTU Singapura itu.

Ada tahapan bank syariah lebih banyak dekat ke konvensional dibandingkan mempertahankan kekhasan syariahnya. Misalnya, penjelasan soal imbal hasil ke nasabah yang harusnya tidak langsung menyamakan bank syariah dengan konvensional, tapi mengedukasi konsep syariah terlebih dulu.

Pria kelahiran 17 Agustus 1970 itu mengatakan, apa yang dibenahi BSM saat ini pun bukan yang canggih-canggih dulu, melainkan hal yang dasar, yaitu SDM. Tidak hanya SDM yang menangani bisnis, tapi juga manajemen risiko, operasional, dan lain-lain. Karena saat SDM sudah bagus, bisnis mau dibawa berlari cepat pun akan kuat. Saat dasarnya belum kuat dan diberi target tinggi, bisa berantakan lagi.

Peran TI dan SDM penting, termasuk proses bisnis. Saat ini BSM tengah menyelaraskan proses bisnis dengan induk agar saat integrasi lebih mudah. Misalnya, struktur organisasi yang saat ini mirip dengan Mandiri. Alasannya, jika SDM keduanya bertemu bisa saling cocok dan mudah bersinergi.

Satu dua tahun terakhir, BSM berinvestasi sekitar Rp 200 miliar untuk pemutakhiran TI. "Kalau induk BSM bukan bank, investasi ini bisa jadi soal, panjang. Induk sesama bank akan paham mengapa kami mengambil langkah ini," kata Agus Dwi.

Untuk SDM, kualifikasi awal dilakukan bersama Mandiri meski pendidikannya masih terpisah. Ke depan, pendidikan dasar-dasar perbankan SDM BSM akan digabung dengan Mandiri. Pendidikan Mandiri sudah teruji dan diakui.

Begitu pula pelatihan. Modul-modul pelatihan BSM saat ini banyak mengacu ke Mandiri. Mandiri punya Mandiri University yang kampusnya ada di 14 kota. Sekitar 30-40 persen pengajarnya dari BSM.

Mandiri dan BSM pun saling menempatkan SDM, tidak hanya di level direksi, tetapi juga kepala grup. Program pendidikan lanjutan dan magang juga akan digencarkan kembali. "Ada dua praktik yang berkesan sekali untuk saya ketika masih di Mandiri, berinteraksi dengan konsultan dan mentoringship," kata Agus Dwi.

Berinteraksi dengan konsultan, lanjut dia, wawasan jadi terbuka untuk berdiskusi dengan pihak luar. Sementara itu, mentoringship kepada pemimpin secara langsung membuka potensi transfer sikap kerja dan perilaku dari mentor kepada mentee. Dampaknya pun terlihat dalam waktu singkat.   rep: Fuji Pratiwi, ed: Mansyur Faqih 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement