Selasa 01 Nov 2016 14:00 WIB

Perlukah Pemerintah Mengatur Pelaksanaan CSR?

Red:

Kesadaran perusahaan untuk menjalankan program corporate social responsibility (CSR) semakin tinggi. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari nilai dan baragamnya program tanggung jawab sosial serta dampak positif yang dirasakan oleh  masyarakat.

Program-program tanggung jawab sosial yang selama ini fakus perhatian perusahaan,  di antaranya perbaikan dan pembangunan serta edukasi mengenai lingkungan, pendidikan, dan kesehatan. Hampir semua perusahaan yang menjalankan program CSR menyasar pada ketiga program tersebut dengan alasan karena hal itu bersinggungan langsung dengan masyarakat sekitar tempat beroperasinya perusahaan atau pabrik.  

Hal itu terungkap dalam diskusi CSR dengan tema "Tanggung Jawab Sosial? Ekonomi Politik Tata Kelola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Negara-negara Anggota ASEAN." Diskusi ini digelar oleh Center for International Relations Studies (Cires) Universitas Indonesia di kampus UI Depok, pekan lalu.

Di negara-negara ASEAN, program CSR juga fokus pada ketiga permasalahan tersebut. Hal yang membedakan dengan pelaksanaan CSR di Indonesia hanya pada regulasi atau aturan pemerintah. Menurut peneliti dari Cires, Nurul Isnaeni, di negara-negara ASEAN, seperti Filipina dan Thailand, pelaksanaan CSR lebih pada kesadaran dari pihak perusahaan. Peran pemerintah setempat dalam program sosial ini hanya pada koordonasi dan imbauan, tidak mengatur, bahkan membuat peraturan.

Lain dengan Pemerintah Indonesia yang membuat UU dan peraturan pemerintah (PP)  tentang keharusan perusahaan menjalankan CSR. Dalam UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) serta Peraturan Pemerintah No 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas.

Dalam Pasal 74 UUPT Ayat 1 disebutkan TJSL wajib untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Sementara, pada ayat 3 ditegaskan mengenai sanksi, yaitu perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan keputusan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Pertanyaan pun mengemuka dalam diskusi tersebut. Apakah perlu negara atau pemerintah mengatur pelaksanaan CSR perusahaan mengingat hal itu lebih bersifat sosial? Nurul Isnaeni berpendapat, pemerintah perlu mengatur/regulasi pelaksanaan CSR, bahkan mengenakan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhinya. Sebab, perusahaan sudah beroperasi dan mendapatkan keuntungan dari usahanya. Karena itu, perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk peduli dan menyejahterakan masyarakat di sekitar perusahaan. Perusahaan yang baik, kata dia, adalah di mana para pengelolanya memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar pabrik.

"Tanggung jawab sosial ini harus dipegang oleh setiap perusahaan dan negara/pemerintah perlu mendorong  pemilik usaha  untuk  menjalankan tanggung jawab itu," kata dosen peneliti ini.

Dosen peneliti Fakultas Ilmu Adminstrasi UI, Retno, mendukung pendapat Nurul tentang peranan pemerintah untuk mengatur pelaksanaan CSR. Sebab, katanya, ada kalanya dengan berbagai alasan para komisaris perusahaan tidak peduli dengan kondisi masyarakat di lingkungan perusahaan. "Dalam hal-hal tertentu perlu perangkat aturan yang mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan CSR," katanya dalam diskusi itu.

Disebutkan,  sekarang ini saja, di mana ada keharusan perusahaan melaksanakan program tanggung jawab sosial, masih banyak perusahaan yang berusaha menghindarinya. Kalaupun ada perhatian terhadap masyarakat sekitar, sifatnya hanya donasi berupa bantuan pada acara-acara tertentu, seperti perayaan 17-an HUT RI atau saat bulan Ramadhan.

Mengenai pola pelaksanaan CSR, Retno mengatakan, perlu disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan masyarakat sekitar. Tetapi, pada dasarnya program CSR haruslah berkelanjutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan atau pengetahuan masyarakat.

Sementara itu, Adi Prima, Program Manager-Development Global Compact Network Indonesia, tidak secara tegas mendukung adanya peran pemerintah dalam mengatur pelaksanaan CSR. Namun, kata dia, sebuah perusahaan disebut berhasil jika pengelolanya juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Sebaliknya, perusahaan yang mampu meningkatkan keuntungan, tetapi masyarakat sekitar pabrik tidak bisa merasakan keuntungan/kesejahteraan, maka perseroan tersebut boleh disebut gagal dalam menjalankan bisnisnya. Dan, jika hal ini terjadi, ancaman demo dan ketidaksukaan masyarakat terhadap perusahaan akan tinggi. "Karena itu, perusahaan harus menjaga hubungan baik dengan masyarakat dan tidak hanya mengejar keuntungan semata untuk memenuhi keinginan komisaris," katanya.

Fokus bidang pendidikan

Siam Cement Group (SCG) sependapat bahwa perusahaa memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, khususnya di lingkungan usahanya. Dan, komitmen ini sudah dijalankan oleh mereka baik di Bangkok maupun Indonesia.

Brand and Communications Officer SCG Agatha Patricia mengatakan, salah satu fokus  kegiatan CSR SCG adalah bidang pendidikan. Produsen semen ini memberikan beasiswa kepada ratusan siswa di Sukabumi, Jawa Barat. "Kami juga memberikan beasiswa kepada 10 mahasiswa terbaik Indonesia untuk mengikuti pendidikan singkat di Bangkok," katanya.    Oleh Khoirul Azwar

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement