Oleh Rakhmad Zailani Kiki--Sejak kasus Jakarta International School (JIS) terungkap, sampai hari ini, bak bola salju, kasus-kasus kekerasan seksual pada anak-anak terus bermunculan. Bukannya meredup, malah kian membesar. Mulai kasus si Emon di Sukabumi, juga di Cilacap, Sumatra, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya. Berita kekerasan seksual terhadap anak pada Mei ini tetap menjadi perhatian publik setiap harinya bersama berita tentang capres dan cawapres.
Untuk mengatasinya, semua pihak pun terlibat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah menetapkan status darurat perlindungan anak di Indonesia. Artinya, kekerasan seksual pada anak sudah menjadi bahaya nasional.
Presiden SBY mencanangkan Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA) yang inpresnya akan dikeluarkan. MUI Pusat pun ikut mengecam dan dengan beberapa ormas Islam membuka posko pengaduan terkait maraknya kasus pelecehan anak di Indonesia.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, juga gencar memberikan informasi yang edukatif seputar penanganan anak yang menjadi kekerasan seksual dan pencegahannya. Beberapa pihak juga mengusulkan hukuman yang seberat-beratnya bagi para pelakunya, dari pengebirian sampai hukuman mati.
Namun, tampaknya masyarakat tetap tidak akan tenang, tetap waswas jika anak, keponakan, atau saudaranya akan mengalami kekerasan yang sama selama pihak-pihak terkait masih bertindak di hilir. Buktinya, para pelaku masih leluasa melakukan aksinya.
Ibarat pepatah mati satu, tumbuh seribu. Terlebih, inpres belum turun, penetapan hukuman berat masih jauh dari harapan. Ini terbukti, sampai hari ini masih saja ada kasus kekerasan terhadap anak yang diberitakan media massa yang terjadi baik di kota maupun desa.
Agar tindakan kekerasan seksual terhadap anak tidak terjadi lagi, langkah yang harus diambil pihak-pihak terkait harus dari hulunya yang dilakukan secara komprehensif. Yaitu, dengan melakukan upaya rehabilitasi para pelaku penyimpangan seksual sejak dini yang dianggap dapat melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak.
Para pelaku penyimpangan seksual ini adalah orang-orang yang memiliki orientasi seksual sesama jenis yang disebut gay, lesbi, dan lelaki suka lelaki (LSL). Mengapa perlu dilakukan upaya rehabilitasi atau meluruskan kembali orang-orang yang telah menyimpang secara seksual ini? Jawabannya, seperti tulisan saya beberapa pekan lalu, faktanya memang pada banyak kasus seksual terhadap anak atau padofilia, pelakunya sebagian adalah orang-orang yang telah terbiasa melakukan hubungan sesama jenis, dalam hal ini gay.
Tulisan saya tersebut diperkuat tesis Tony Perkins dari FRC (Family Research Council) yang menyatakan bahwa sementara para aktivis ingin mengklaim pedofilia merupakan orientasi yang benar-benar berbeda dari homoseksualitas, tapi bukti-bukti menunjukkan tumpang tindih yang tidak proporsional antara keduanya.
Karena, sekitar sepertiga dari semua kasus pelecehan seks anak dan penganiayaan anak melibatkan laki-laki (dewasa) dan dalam satu studi, 86 persen dari orang-orang seperti mengidentifikasi diri mereka sebagai homoseksual atau biseksual. Gay dan lesbian tidak bisa menghindari, ini (pedofilia) adalah masalah homoseksual.
Ironisnya, penanganan di wilayah hulu ini sangat kurang diperhatikan. Sebagian masyarakat kita sepertinya masih permisif dan mulai menerima keberadaan orang-orang yang memiliki orientasi seks menyimpang tersebut.
Bahkan, gay atau lesbi dianggap dapat membantu menyelesaikan beberapa urusan dan kebutuhan mereka. Contohnya, sebagian suami atau bapak merasa aman jika perawatan rambut dan tubuh istri atau anak perempuanya ditangani gay.
Dari kasus-kasus di atas, muncul simbiosis mutualisme yang lurus, membutuhkan yang menyimpang, dan sebaliknya, yang menyimpang mendapat pengakuan dari yang lurus. Maka, wajar jika para pelaku seks menyimpang ini mulai berani menuntut hak-haknya, melakukan pengorganisasian, mempunyai tempat-tempat berkumpul untuk saling menguatkan, dan tampil di wilayah publik serta media massa.
Padahal, sebagian mereka juga menyadari bahwa mereka sebenarnya telah menyimpang, sedang sakit, dan butuh disembuhkan, diluruskan. Jika pecandu narkoba ada tempat rehabilitasinya, ada badan yang melakukan pencegahannya. Jika para gelandangan dan pengemis punya tempat panti sosialnya dan instansi yang menanganinnya, lalu adakah tempat rehabilitasi untuk gay, lesbi, waria, atau LSL ini?
Akhir kalam, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, Jakarta Islamic Centre (JIC) bekerja sama dengan Bina Insan Mulia (BIM) akan mengadakan Simposium Indonesia Menanggulangi Perilaku Seks Menyimpang: Apa dan Bagaimana? pada Rabu, 28 Mei, mulai 08.00- 15.00 WIB di Ruang Muallim KH M Syafi`i Hadzami (Ruang Audio Visual JIC), Jl Kramat Jaya, Koja, Jakarta Utara, dengan narasumber Dr H Imam Addaruqutni, Sekjen Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia, Dr HM Asrorun Ni`am Sholeh MA (Ketua KPAI), Dr Nurhidayah (psikolog), Prof Dr Yasmine Z Shahab (sosiolog dan antropolog), dan Zainal Rahman SSos I (aktivis penanggulangan gay dan lesbi). Bagi yang berminat untuk mengikuti simposium tersebut dapat menghubungi 085693806000 atau 08179163281 dengan syarat dan ketentuan berlaku.
JIC juga mengadakan Pelatihan Beauty Class Inspiring: Berhijab Syar`i tetap Cantik dan Menawan pada Ahad, 1 Juni 2014, di Ruang Muallim KH M Syafi`i Hadzami (Ruang Audio Visual JIC) dari jam 09.15 WIB sampai selesai. Bagi yang berminat mengikuti pelatihan ini dapat menghubungi 085693806000 atau 08811517473.
Oleh Rakhmad Zailani Kiki
Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre