Jumat 18 Jul 2014 12:00 WIB

Zakat Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (2)

Red:

Oleh:Prof Nasaruddin Umar -- Zakat dalam perspektif syariah lebih ditekankan pada aspek fikih, terutama dalam tataran konsep dan pelaksanaannya. Dalam perspektif tarekat dan hakikat, penekanannya bukan lagi aspek konsep dan tataran pelaksanaan, melainkan berusaha untuk mendalami lebih jauh hikmah spiritual di balik perintah zakat ini.

Sesuai dengan namanya, zakah, lebih diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membersihkan harta, pikiran, jiwa, dan keimanan seseorang dari berbagai noda dan kotoran, baik berupa fisik maupun nonfisik.

Kotoran fisik, seperti keraguan akan adanya kontaminasi harta-harta yang tidak halal masuk bergabung dengan harta kita atau masuk melalui tenggorokan kita.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Tahta Aidill/ Republika

Zakat(ilustrasi).

Kalangan ahli tarekat amat takut terhadap adanya kontaminasi itu karena Nabi SAW pernah mengingatkan bahwa "Kullu lahmin nabata min haramin fan naru aula bihi" (Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram hanya akan bisa dibersihkan oleh api neraka). Na’udzu billah min dzalik.  

Dalam era global seperti sekarang, tarnsaksi internasional dan pasar bebas begitu kuat menembus lingkungan hidup kita, bahkan sampai masuk ke kulkas kita. Maka, rasanya sulit secara sempurna kita memelihara diri dari berbagai syubhat dan haram di dalam lingkungan diri dan keluarga kita. Di sinilah diperlukan media pembersihan harta dan penyucian diri yang dikenal dengan nama zakat.

Lebih dari itu para ahli tarekat juga memelihara dan membersihkan diri dari segala noda batin berupa kekikiran dan egoisme, yang sadar atau tidak sadar mungkin sering merasuk di dalam diri. Mereka berusaha untuk memproteksi diri dari berbagai bentuk noda batin, seperti kekikiran, sebagaimana disebutkan dalam ayat, "Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung."(QS al-Hasyr [59]: 9).

Mereka berusaha meraih keuntungan di mata Allah SWT dengan memudahkan diri untuk memberi dan berbagi kepada orang lain, terutama terhadap saudara-saudaranya yang membutuhkan. Mungkin memang sedikit artinya bagi diri kita, tetapi besar artinya di mata orang lain yang membutuhkannya.

Bagi para ahli tarekat, mereka sadar betul bahwa betapa pelitnya seseorang kalau kontribusi kepada agamanya hanya zakat. Pengeluaran zakat rata-rata hanya 2,5 persen dari harta kita, sedangkan jika dibandingkan manfaat (untuk tidak menyebut bunga) uang yang dititipkan (wadi’ah/) di bank, apakah dalam bentuk deposito mudharabah, musyarakah, dan sukuk (surat-surat berharga syariah), bisa jauh lebih banyak dari itu.

Mereka mengenal institusi pengembangan umat lain, seperti wakaf, infak, sedekah, jariyah, wasiat, hibah, dan sumber-sumber keuangan syariah lainnya. Mereka selalu mengingat firman Allah, "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui". (QS al-Baqarah [2]:261).

    

Atas dasar itu mereka selalu mencermati setiap pemasukan berupa kekayaan dengan mengutamakan berbagi dengan orang lain. Mungkin pengeluaran mereka sudah amat jauh melampaui standar zakat yang diwajibkan. Komunitas Hizmet, suatu komunitas yang didominasi oleh orang-orang Turki diaspora, yang terikat dengan hubungan batin dengan tokoh simbol spiritualnya M Fethullah Gulen yang kini bermukim di pinggir kota Philadelphia, AS, mengeluarkan infak dari keuntungan yang diperoleh sekitar 40 persen. Subhanallah. Jauh di atas 2, persen, seperti yang dilakukan komunitas Muslim lain pada umumnya.

    

Bukan hanya itu, dalam perspektif tarekat juga membiasakan diri untuk memaksimalkan keikhlasannya dengan memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya berupa harta. Mereka terinspirasi dari ayat, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS Ali Imran [3]:92).

    

Ciri lain kelompok ini sangat hati-hati untuk tidak menodai pengorbanan dan keikhlasannya dengan popularitas atau niat-niat lain selain Tuhan. Mereka sangat memperhatikan pesan Allah SWT, "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir". (QS al-Baqarah [2]: 264).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement