Oleh :Prof Dr Nasaruddin Umar -- Dalam artikel terdahulu dijelaskan makna spiritual Ka'bah atau Baitullah sebagai kiblat umat Islam di dalam menghambakan diri kepada-Nya. Semua umat Islam di manapun berada harus menghadap ke Kiblat di dalam beribadah, terutama shalat. Bahkan, dikatakan tidak sah shalat atau penyembahan seseorang jika tidak mengetahui dan meyakini kiblatnya.
Doa iftitah yang diikrarkan saat memulai shalat kita berikrar dengan menyebut ayat, "Inni wajahtu wajhiya lillati fatharas samawati wal ardha hanifan musliman wa ma ana minal musyrikin" (Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan). (QS al-An'am [6]:79). Doa iftitah dan penegasan ayat ini menekankan pentingnya segenap diri kita yang berlapis-lapis ini menghadap (tawajjuh) kepada Allah SWT yang kualitasnya disimbolkan kepada Ka'bah atau Baitullah.
Fokus tawajjuh sesuai dengan keyakinan jiwa ditegaskan juga Allah SWT di dalam Alquran, "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan, di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS al-Baqarah [2]:144).
Ayat ini juga sesungguhnya menyiratkan sesuatu yang amat dalam bahwa segenap diri kita harus ber-tawajjuh hanya kepada Allah SWT, seperti ditegaskan di dalam ayat dan sekaligus kelanjutan doa iftitah, "Inna shalati wa nusuki wamahyaya wa mamati lillahi Rabbil 'alamin ("… Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam"). (QS al-An'am [6]:162).
Diharapkan dengan penunaian haji atau umrah kita sudah menyimpan memori simbolik berupa suasana batin, yaitu bagaimana rasanya kita hadir dan tersungkur di Baitullah, di depan Ka'bah, seolah-olah kita berada di sebuah alam yang amat lain dengan alam syahadah yang selama ini menyelimuti diri kita.
Sungguhpun di sana kita berdesak-desakan karena begitu padatnya umat Islam, tetapi pada saat yang bersamaan kita juga merasakan kelapangan dada untuk mengerti sekaligus memaafkan semuanya, sungguhpun ada di antara mereka yang betul-betul menyenggol dan menyakiti badan tetapi terasa tidak ada dendam dan amarah.
Ini menggambarkan saat orang sedang ber-tawajjuh dengan dengan Tuhannya, semuanya terasa lapang dan tidak ada ganjalan dan sumbatan. Karena itu, sebelum kita menuju ke hadapan Baitullah terlebih dahulu kita menanggalkan simbol-simbol keduniaan dan alam syahadah kita berupa pakaian dan atribut sosial-budaya kita. Yang tersisa hanya pakaian ihram yang melekat di badan berupa kain putih polos. Ini juga melambangkan bahwa siapa pun yang ingin mencapai puncak tawajjuh ia juga harus menanggalkan atribut keduniawian yang menghijab dirinya selama ini.
Jika segalanya sudah terlepas dan kita seperti "telanjang" di hadapan Tuhan, makan kita dengan mudah juga akan ber-tawajjuh dan menyaksikan-Nya di mana pun kita berada melalui maujud dalam mana Ia memediakan dirinya. Inilah yang dimaksud dalam ayat, "Dan, kepunyaan Allahlah timur dan barat maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS al-Baqarah [2]:115).
Suasana batin yang seperti inilah membuat seseorang sering mengucapkan ungkapan teopany (syathahat), misalnya, "Ka'bah itu ada di dahi kita". Bagi orang awam dan asing dengan makna simbolis sulit menerima pernyataan tersebut karena segalanya akan diukur dengan logika atau legal formal. Akan tetapi, orang-orang yang diberi kemuliaan Allah dalam wujud kesadaran spiritual tingkat tinggi, istilah-istilah seperti itu, bahkan lebih dari itu, bisa ia maklumi.
Mereka sudah sadar bahwa Allah SWT itu serbameliputi (al-Muhith), tidak bisa kita bicara apa pun tanpa melibatkan atau mengaikan Tuhan di dalamnya. Dengan kata lain, apa pun yang kita tangkap dengan panca indra, baik panca indra laihiriah maupun panca indra batiniah, sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengannya.
Mungkin dari sudut pandang inilah, Ibnu 'Arabi pernah mengatakan, "Jika engkau bicara soal ketakterbandingan, engkau telah membatasi. Jika engkau bicara soal kesempurnaan engkau juga membatasi. Jika engkau bicara soal keduanya, engkau tepat mengenai sasaran; engkau seorang pemimpin dan syaikh dalam ilmu-ilmu makrifat."
Redaksi yang hampir sama juga telah diungkapkan oleh Khaja Abdullah Anshari, "Tak seorang pun menegaskan keesaan Zat Mahaesa sebab semua orang yang menegaskan-Nya sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya hanyalah pinjaman, tak diterima oleh zat Mahaesa. Tauhid atas diri-Nya adalah tauhid-Nya. Orang yang melukiskan-Nya sungguh telah sesat."
Salah satu makna spiritual ibadah haji ialah melatih batin kita untuk mengerti, memahami, dan menghayati makna tersirat di balik segala sesuatu yang tersirat. Sehubungan dengan ini, menarik untuk dihayati lebih dalam firman Allah SWT, "Dan, dari mana saja kamu ke luar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan, Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan." (QS al-Baqarah [2]:149).
Semoga para hujjaj semuanya menggapai tujuan (al-hajj), yaitu haji mabrur, haji yang dijanjikan dengan syurga jannah al-na'im (taman spiritual yang penuh kelezatan).