Jumat 05 Sep 2014 12:00 WIB

Haji: Perspektif Syariah, Tarekat, Dan Hakikat (5)

Red:

Memahami ibadah haji, tidak cukup hanya memahami makna fi qhiyyah se perti rukun, syarat, sunat, dan hal-hal yang bersifat teknis, seperti tertera dalam bukubuku manasik haji. Tidak cukup juga hanya dengan memahami mak na simbolik seperti sering diperkenalkan oleh para ahli ‘irfan atau tasawuf. Tetapi diperlukan suasana batin lebih mendalam lagi jika ingin meresapi dan menghayati makna hakikat haji.

Memang betul, dengan memahami hikmah di balik simbol-simbol haji akan mengantar kita kepada kesakralan ibadah haji. Namun yang lebih penting dari itu ialah memaknai secara sufi stik di balik simbol-simbol haji. Perubahan mendasar (shifting) akan terjadi di dalam diri seseorang yang mampu menembus pemahaman sufi stik ini. Bahkan sesungguhnya inilah yang mampu menghadirkan haji mabrur, sebuah kualitas haji yang menjadi idaman bagi para hujjaj.

Pemahaman ke arah sufi stik haji memang harus diawali dengan memahami simbol-simbol uta ma haji seperti makna di balik pakaian ihram, mikat, tawaf, sa’i, Arafah, mabit di Mina, melem par jumrah, dan lain-lain. Di sam ping itu, penting juga mema hami drama kosmos, kisah ke ja tuh an anak manusia dari langit surga kenikmatan ke bumi penderitaan. Bermula ketika malaikat mempertanyakan kebijakan Tuhan tentang rencana penciptaan manusia sebagai makhluk pendatang baru dan sekaligus akan di tun juk sebagai khalifah di jangat raya. Tuhan menjawab per ta nya an malaikat dengan tegas: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS al- Baqarah [2]:30).

Ada riwayat panjang di dalam mengomentari ayat ini bahwa saat itu malaikat merasa bersalah dengan pertanyaan itu lalu mereka memohon ampun dengan cara mengelilingi ‘Arasy, istana Tuhan, sambil menangis selama berharihari.

Selama itu Tuhan tidak pernah menyapa malaikat. Pada akhirnya Allah SWT menciptakan miniatur ‘Arasy bernama al-Dhurah di Baitul Ma’mur. Kemudian para malaikat diminta meninggalkan ‘Arasy dan selanjutnya bertawaf di tempat baru itu sampai sekarang. Di dalam Baitul Ma’mur para malaikat terus melanjutkan ta waf nya memutari miniatur ‘Arasy di sana. Tawaf merupakan ben tuk ibadah tertua yang juga dila ku kan oleh seluruh makhluk makro kosmos, seperti planet dalam ga lak si bimasakti.

Ketika Adam dan Hawa diciptakan di surga, keduanya juga mengikuti tradisi ibadah malaikat dalam wujud tawaf mengelilingi miniatur ‘Arasy di Baitul Ma’mur. Ketika Adam dan Hawa melakukan kekeliruan dengan me langgar larangan Tuhan untuk tidak mendekatan buah khuldi, sebagaimana disebutkaan dalam ayat: "Dan Kami berfi rman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makananmakanannya yang ba nyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang me nyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim." (QS al- Baqarah[2] :35).

Drama kosmos sudah terjadi dengan sutradara sesungguhnya ada lah Allah SWT, pemain utamanya manusia (Adam dan Hawa) dan yang bertindak sebagai pemeran pembantu ialah iblis dan malaikat.

Adam dan Hawa tidak lulus dalam ujian berat itu. Kelanjutan ceritanya disebutkan dalam ayat: "Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampak lah bagi keduanya auratauratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS al-A’raf [7]:22).

Selanjutnya Adam dan Hawa terlempar ke bumi secara terpisah dan kemudian dipertemukan di di "puncak pertemuan" (Jabal ‘Ara fah). Di sanalah keduanya merasakan penyesalan yang seda lamdalamnya dan tersungkur me mohon ampun kepada Allah SWT. Keduanya terus menerus melantunkan doa penyesalan yang di abadikan dalam Alquran: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS al-A’raf [7]:23).

Spirit ibadah haji sesungguhnya adalah simbol kehambaan manusia terhadap Tuhannya. Tidak ada yang bisa mengangkat seseorang dari keterpurukan selain diri-Nya. Padang Arafah sebagai lambang kelapangan magfi rah dan kasih sayang Tuhan kepada siapapun hamba-Nya yang telah melakukan dosa, sebesar apapun dan sebanyak apapun, tidak ada kesulitan bagi Allah SWT untuk memaafkan dosa hamba-Nya.

Suasana batin ini pernah dilukis kan dalam sebuah riwayat: "Apakah hamba-Ku mengira Aku Tuhan yang pelit memberi ampun, sehingga di Padang Arafah ia berdoa tidak Aku maafkan?". Dalam hadis lain disebutkan orang yang meraih haji mabrur ia akan terlahir kembali bagaikan bayi yang baru lahir. Subhanallah.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Wakil Menteri Agama RI

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement