Kamis 04 Sep 2014 12:00 WIB

Menyikapi Persoalan Buku Ajar

Red:

Persolan buku ajar yang mewarnai perjalanan implementasi Kurikulum 2013 tampaknya belum akan segera berakhir. Bahkan, ketidakmampuan pemerintah dalam merealisasikan janjinya untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih baik tersebut justru berpotensi menimbulkan konflik antara sekolah dan orang tua maupun pihak penerbit. Hal ini disebabkan sikap pemerintah yang terkesan lepas tangan dalam menghadapi berbagai persoalan menyangkut penyediaan buku pegangan bagi guru maupun siswa tersebut.

   

Adapun dampak yang harus ditanggung oleh pihak sekolah sebagai akibat dari ketiadaan buku tersebut, yakni membengkaknya pengeluaran sekolah. Dalam hal ini sekolah harus rela menggandakan sendiri buku ajar sesuai dengan jumlah siswa yang ada. Tak hanya itu, sebagian buku bahkan harus dicetak sendiri oleh orang tua karena ketiadaan biaya yang dimiliki oleh sekolah. Alhasil, slogan pemerintah yang mengatakan bahwa Kurikulum 2013 lebih mempermudah tugas guru dan orang tua siswa pun tidak terbukti di lapangan.

   

Di sisi lain penerbit sendiri tidak mau dipersalahkan atas terjadinya "tragedi" pada awal tahun pelajaran ini. Mereka beralasan, keterlambatan pengiriman buku lebih disebabkan oleh tersendatnya pembayaran oleh sekolah. Hal ini berakibat pada terganggunya cash flow perusahaan sehingga produksi maupun distribusi buku ke sekolah-sekolah menjadi terhambat.  Bahkan, beberapa perusahaan lebih memilih mundur dari proyek tersebut karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kewajibannya. 

   

Seakan tak mau mengambil pelajaran dari peristiwa sebelumnya, kini pemerintah mengeluarkan wacana untuk menyerahkan proyek pengadaan buku kepada pemerintah daerah. Dalam hal ini daerah diberikan dua opsi untuk melakukan pengadaan buku tersebut, yaitu melakukan proses lelang secara mandiri ataupun lelang menggunakan e-katalog melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa (LKPP), seperti yang saat ini dilakukan. Dengan begitu pemerintah daerah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab jika proses pengadaan buku (kembali) bermasalah.

   

Sikap pemerintah yang ingin melepaskan diri dari tanggung jawabnya tersebut tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagai pihak yang mencetuskan diberlakukannya kurikulum baru, sudah selayaknya pemerintah berada di garda terdepan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi. Membiarkan sekolah untuk berjuang sendiri dalam menghadapi masalahnya hanya akan membuat guru maupun siswa semakin tersiksa. Akibatnya, tidak mustahil kurikulum baru yang digadang-gadang mampu memperbaiki wajah dunia pendidikan tersebut pada akhirnya akan ditinggalkan karena dipandang menyulitkan. 

   

Untuk menjaga keberlangsungan Kurikulum 2013 tersebut, tak ada jalan lain bagi pemerintah selain mengambil alih proses pengadaan dan pemesanan buku ajar untuk seluruh sekolah. Dengan dana dan sumber daya yang dimilikinya, pemerintah seharusnya mampu menyediakan buku ajar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Dengan demikian, guru dapat lebih fokus dalam menjalankan tugasnya dan "tragedi" semacam ini pun tidak kemudian menjadi "tradisi" dalam menyambut tahun ajaran  baru.   

Ramdan Hamdani, S.Pd

Guru SDIT Alamy Subang, Jawa Barat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement