BANDAR LAMPUNG — Kasus dugaan kekerasan dalam praktik perpeloncoan mahasiswa baru di Fakultas Teknik Universitas Lampung (Unila) masih terjadi. Setidaknya, sudah ada lima mahasiswa yang harus dirawat di rumah sakit setelah dipelonco seniornya.
Kegiatan perpeloncoan ini sebenarnya sudah dilarang pihak rektorat Unila. Namun, pada Rabu (10/9) praktik ilegal ini masih berlangsung oleh senior fakultas tersebut, seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka menggelar praktik perpeloncoan ini secara sembunyi-sembunyi.
Foto:OldApp
Oapek Mahasiswa(ilustrasi).
Ada lima mahasiswa baru yang terpaksa dirawat di rumah sakit karena adanya tindakan kekerasan oleh seniornya. Dua mahasiswa ini terpaksa dirahasiakan rekan sesamanya untuk menjaga keamanannya. Bentuk kekerasan oleh seniornya saat perpeloncoan, yakni dengan menampar dan menendang.
Kasus yang menghebohkan di lingkungan kampus Unila itu masih dalam penyelidikan pihak rektorat. Rektor Unila Sugeng P Hariyanto, saat dikonfirmasi Republika, Kamis (11/9), tidak membantah kejadian tersebut. Namun, ia tidak mau menjelaskan kronologis kejadiaannya. "(Tanya) ke wakil rektor III, Mas," kata Sugeng.
Wakil Rektor III Unila Sunarto belum bisa dikonfirmasi via teleponnya. Pesan singkat yang dikirim belum juga mendapat balasan.
Sebelumnya, Sugeng sudah melarang tidak ada perpeloncoan bagi mahasiswa baru. Bila ada mahasiswa baru yang mendapat perpeloncoan dari seniornya, akan dilakukan penindakan. Bentuk sanksi berupa pemecatan bila ada mahasiswa yang melakukan perpeloncoan.
Pihak rektorat sudah menghentikan propti (program orientasi mahasiswa perguruan tinggi) mahasiswa baru pada 28 Agustus lalu. Bila hasil investigasi menunjukkan pihak universitas masih terbukti ada perpeloncoan maka dekan dan ketua jurusan akan dicopot jabatannya serta mahasiswanya akan dipecat.
Akhir tahun lalu, Kemendikbud mengusulkan moratorium atau penghentian sementara orientasi pengenalan kampus (ospek) sebagai solusi untuk mengatasi kekerasan terhadap mahasiswa baru. Kasus kematian mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Fikri Dolasmantya Surya, pada saat kegiatan itu diharapkan menjadi kasus terakhir.
"Kalaupun muncul kasus kekerasan dalam ospek, moratorium atau penghentian sementara ospek merupakan jalan terakhir untuk atasi persoalan itu," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad kepada Republika.
Kasus Fikri, ujar Ibnu, diharapkan menjadi pembelajaraan bagi perguruan tinggi dan sekolah manapun agar tidak mengulangi kejadian tersebut. Di sekolah dan di kampus, baik kepala sekolah maupun rektor, harus ikut mengawasi dan bertanggung jawab dalam mengarahkan masa orientasi siswa (MOS) atau ospek.
Selama ini, Kemendikbud sering menyerukan agar ospek dilakukan melalui pendekatan akademik. Selain itu, dalam buku pedoman juga dilarang keras melakukan kekerasan verbal dan fisik dalam ospek. rep:mursalin yaslan ed: muhammad hafil