Rabu 12 Aug 2015 15:00 WIB

Tempat Kos yang 'Pas' di Hati

Red:

Dian Latifah kini berumur 19 tahun. Ia tidak tinggal bersama orang tuanya. Ia lebih memilih untuk kos setelah menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Perempuan yang kerap disapa Dian ini akhirnya menyewa sebuah kamar di daerah Ciputat, dekat dengan kampusnya. Sebab, rumah dia sendiri cukup jauh di daerah Bekasi. "Menurut aku, sulit cari kos yang pas di hati. Banyak juga yang aku pertimbangin," kata Dian yang kini mengambil jurusan pendidikan fisika di kampus pilihannya itu.

Pertama kali memutuskan untuk kos, ia cukup bingung memilah-milih tempat kos seperti apa yang ia inginkan. Akhirnya, ia menemukan kiatnya. "Paling pertama harus dilihat dari ibu kosnya juga, terus lingkungan kos yang akan tinggalin seperti apa. Yang paling penting sebenarnya fasilitas di kamar yang mau aku tinggalin itu," tuturnya.

Menurut dia, karakter ibu kos juga menjadi hal yang ia pertimbangkan. Ia lebih menyukai ibu kos yang peduli dengan si penyewa kamar. Dian menyebut ada ibu kos yang judes, bawel, dan membuat peraturan yang merepotkan.

Selain itu, jarak antara tempat kos dan kampusnya juga harus dekat. Lalu, yang tak kalah penting, Dian lebih menyukai jika di dekat tempat kosnya mudah menemukan penjual makanan.

"Kalau jauh dari tempat makan jadi bikin malas. Soalnya, harus jalan jauh untuk membeli makanan," kata Dian. Selain tempat makan, kebersihan juga menjadi pertimbangan penting saat memilih tempat kos.

Untuk itu, agar mendapatkan tempat kos yang pas di hati, semua pertimbangan itu sangat diperhatikan oleh Dian. Namun, sebisa mungkin ia juga sesuaikan dengan anggarannya.

Biaya kos masuk salah satu pertimbangan utama Nurul Fatihah (24 tahun) dalam memilih tempat kos. Tika, begitu panggilannya, mendapat pekerjaan pertamanya di salah satu bank swasta di daerah Senayan sehingga ia meninggalkan rumah orang tuanya di Cirebon.

Tika hingga kini lebih memilih kos di Ciputat ketimbang dekat di daerah kerjanya di Senayan. Pertimbangannya adalah kalkulasi anggaran. "Di sini masih terjangkau karena dekat kampus, kalau di dekat tempat kerja mahal-mahal jadi nggak sesuai bujet," tutur dia.

Menurut Tika, sesuai harga yang lebih rendah sering kali dibarengi  fasilitas yang kurang. Ia mencontohkan, tempat kosnya kini memiliki kamar mandi di luar kamar sehingga terkadang merepotkan. Karena lebih mengutamakan kecocokan harga dengan anggarannya, ia tak mau ambil pusing soal tempat yang paling tepat. Tika akhirnya mencari referensi dari teman-temannya yang memang sudah menyewa kos, salah satunya di Ciputat ini.

"Berhubung teman ada yang ngekos di sini, jadi ikut aja nggak perlu cari-cari lagi. Kebetulan di sini walaupun tidak dekat dari tempat kerja tapi masih terjangkau," ungkap Tika yang berprofesi sebagai petugas call centre sebuah bank itu. 

Meski ada kekurangan di sana-sini, Tika berusaha berlapang dada. Ia memperhitungkan tempat kos dengan fasilitas kamar mandi di dalam kamar, pasti memengaruhi koceknya. Padahal, anggaran yang ia sediakan  Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu. "Berhubung di sini kamar mandi di luar, ya udah terima aja," ujar dia, "yang penting masih bisa buat tidur." n c32 ed: nina chairani

Nc32

***

Suka Duka Jadi Anak Kos

Pertama kali 'ngekos', Dian Latifah sempat merasa takut. Pasalnya, ia tinggal sendirian di tempat yang baru. Belum lagi memikirkan betapa sedikitnya orang yang ia kenal di lingkungan barunya itu. Ditambah lagi, pergi ke mana-mana menjadi sulit karena belum mengenal daerah tempat tinggal barunya itu.

"Dua hari akhirnya aku nangis ditinggal orang tua. Soalnya, ini pertama kalinya aku tinggal sendiri," ungkap Dian.

Pada akhirnya, ia mengerti ada yang harus disesuaikan, terutama karena ia tidak lagi bersama ayah bunda. Ia mencari cara juga untuk menghadapi keadaan yang dianggapnya cukup sulit itu. Apa yang dilakukannya? Dian membiasakan diri untuk bermain dan mengajak beberapa temannya untuk datang ke tempat kosnya. Terkadang sekadar untuk menonton film, lain waktu mengerjakan tugas kuliah.

Nurheliawati yang memilih ngekos karena jarak antara kampus dan rumahnya yang begitu jauh pun sempat mengalami 'kebingungan'. Betapa tidak, ia dituntut menjadi seseorang yang mandiri, harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Ia harus merapikan kamar, mencuci baju, hingga menyiapkan makanan sendiri.

"Bingung juga awalnya harus ngerjain apa-apa semuanya sendiri. Tapi, senang juga bisa bebas keluar dan bermain ke mana saja tanpa ada batasan waktu seperti di rumah," jelas Lia.

Bagi perempuan kelahiran Lampung, 3 Mei 1989 ini, adaptasi memang tidak bisa dilakukan dalam waktu yang sebentar. Menyesuaikan perilaku dengan adat istiadat atau kebiasaan yang sudah diterapkan sejak lama, diakuinya sebagai kendala yang terjadi di awal kehidupan di tempat kos.

Selain itu, mengenal dengan baik orang-orang di tempat baru, termasuk orang-orang yang juga menjadi penghuni kos, bisa dikatakan termasuk salah satu hal yang sulit.

"Kita harus pintar memilih teman karena teman itu mempunyai peran yang sangat penting ketika kita jauh dari keluarga dan saudara," kata Lia menambahkan.

Vina Yunita sepakat dengan Lia perihal pentingnya berteman. Namun, sebagai anak kos, ada satu hal yang menurut Vina Yunita (24 tahun) pasti dirasakan. Yakni, perasaan rindu dengan rumah atau dikenal dengan istilah homesick.

Wanita muda yang memulai jadi anak kos pada usia 16 tahun karena menempuh pendidikan SMA di kota yang berbeda dari kota asalnya itu merasakan pentingnya keterampilan bergaul dan mencari teman di lingkungan baru. "Untungnya aku bisa beradaptasi sama teman-teman di tempat kos dalam waktu yang relatif sebentar, jadi tinggal di sini pun jadi terasa menyenangkan," kata Vina menambahkan. n

N puti almas/c32 

***

Mendapatkan Keluarga Baru

Awalnya, Nurheliawati tinggal di tempat kos karena harus menempuh pendidikan tinggi yang jauh dari rumah. Kini, meski sudah lulus, ia tetap berstatus sebagai anak kos. Hal ini karena tempat bekerjanya pun berjauhan dengan rumah.

Lia, sapaannya, pun kembali menikmati suka duka menjadi seorang anak kos. Meski begitu, ia mengaku banyak hal membahagiakan yang didapatkan  saat menjadi anak kos. Salah satunya adalah memiliki teman-teman yang tak sekadar menjadi sahabat, tetapi juga menjadi saudara.

"Aku merasakan bahwa sahabat itu keluarga baru kita di saat jauh dari orang tua," ungkap Lia.

Vina Yunita juga merasa, banyak pelajaran yang bisa diambil saat berjauhan dari keluarga. "Saat kos itu kita juga menyadari kalau kita itu makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Makanya, kita juga belajar untuk lebih pengertian dengan berbagai macam karakter orang yang kita temui," jelas Vina.

Hingga saat ini, Vina merasa teman-teman sesama anak kos merupakan bagian dari keluarganya. Sudah enam tahun ia hidup sebagai anak kos. Sebab, setelah SMA, ia berkuliah dan bekerja di kota yang sama, yaitu Jakarta.

Dengan berstatus sebagai anak kos selama lebih kurang lima tahun, Lia merasakan banyak pelajaran hidup serta pengalaman suka maupun duka. Tentu saja, bila bisa memilih, ia tetap ingin kembali tinggal di rumahnya sendiri.

"Kos itu menurut aku tempat kita belajar mandiri, mengenal orang lain dan menghargai pentingnya orang tua dan keluarga di saat kita jauh dari mereka," kata Lia yang bekerja di salah satu bank swasta di Jakarta ini menambahkan.

Lia dan Vina sama-sama berharap agar bisa tinggal berdekatan dengan keluarganya yang berada di Banten. "Pasti pengen banget tinggal di rumah lagi, siapa yang nggak mau dekat sama orang tua, apa-apa nggak perlu mikirin seperti makan yang kalau di kos harus beli atau bikin sendiri," kata Vina, karyawati perusahaan swasta di Jakarta ini.n puti almas

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement