Selasa 17 Jun 2014 12:00 WIB

Tutup Pintu Gang Dolly (Bagian I): Perlawanan Suharto yang Diboikot

Red:
Lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya, Jawa Timur
Foto: reuters
Lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya, Jawa Timur

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani akan menutup lokasi prostitusi Dolly di Surabaya per Rabu (18/6). Rencana yang menuai pro dan kontra. Bagaimana warga sekitar menanggapi penutupan Dolly, berikut laporan khusus Republika.

Raungan sirene memanggil warga RT 5 RW 3, Putat Jaya, Surabaya, Jawa Timur. Tanda berkumpul perwakilan ratusan kepala keluarga. Biasanya 'perintah' berkumpul itu dilakoni oleh Suharto. Biasanya juga, berkumpulnya warga akan memutuskan satu atau dua persoalan genting. Laki-laki kelahiran 1967 itu adalah kepala rukun tangga setempat.

Tapi tidak kali ini. Bukan Suharto yang meminta warga berkumpul. Yudi Perdana, anak laki-laki Suharto menceritakan, perintah kumpul warga waktu itu datang dari tokoh yang masih warga di lingkungan sekitar. Namun, berkumpulnya warga itu memang akan membahas nasib jabatan bapaknya.

"Bapak saya mau dilengserkan (dipecat), Mas (jadi kepala RT)," ujar Yudi kepada Republika, Senin (16/6). Upaya 'makar' itu terjadi pada Jumat (13/6), sehari pascarembuk warga Dolly dan Jarak, Putat Jaya, dengan Pemerintah Kota Surabaya. Rembuk itu membahas rencana penutupan dan pengalihfungsian kawasan lokalisasi prostitusi itu.

Saat rembuk warga kala itu, ungkap Yudi, bapaknya memang memilih menerima tawaran Wali Kota Tri Rismaharani: memutuskan tali nafkah keluarga dari praktik prostitusi di Dolly. Suharto dijanjikan oleh pemerintah kota untuk menjadi anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) di Pemkot Surabaya.

Anak perempuan Suharto, Dewi Ayu, dijanjikan menjadi petugas perpustakaan di Pemkot Surabaya. Bagaimana dengan Yudi? "Saya sedang mengurus perlengkapan untuk jadi sopir truk Dinas Kebersihan Pemkot," katanya. Janji Pemkot Surabaya itu merupakan salah satu kompensasi dari keputusan keluarganya memutus rantai nafkah dari keberadaan prostitusi Dolly.

Namun, keputusan keluarganya justru membuat sebagian warga membenci. Keluarganya dianggap oleh kelompok yang mengatasnamakan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) serta Komunitas Pemuda Independen (Kopi) di Dolly dan Jarak sebagai pembangkangan.

FPL dan Kopi selama ini memang meneriakkan penolakan penutupan dan pengalihfungsian lokalisasi Dolly. Sedangkan, keluarga Suharto menjadi tertuduh dan dilabel sebagai antek pemerintah yang mendukung penutupan Dolly dan Jarak.

Rencana pelengseran Suharto dari jabatan kepala RT pun ditentang. Warga asli Putat Jaya tetap mendukung Suharto. Dari 200-an kepala keluarga di RT-nya, kata Yudi, tak lebih dari 20 kepala keluarga saja yang setuju pelengserannya ketika itu. Pemuda kelahiran 1989 inipun menerangkan, mereka yang setuju bapaknya lengser kebanyakan para mucikari dan pemilik wisma esek-esek.

Mucikari dan pemilik wisma itu, kata Yudi, tak senang dengan langkah bapaknya menerima kompensasi dari pemerintah. Padahal, menerima pekerjaan dari pemkot tak berarti mendukung langkah Risma menutup atau mengalihfungsikan Dolly dan Jarak.

Keluarganya hanya membenarkan langkah Risma memberi kompensasi pekerjaan bagi warga terdampak yang menggantungkan nafkah keluarganya dari praktik haram di kawasan itu. Keluarga Suharto adalah salah satu dari 25 keluarga yang terang-terangan menjawab 'tantangan' Wali Kota Surabaya itu.

Seumur hidupnya, ungkap Yudi, keluarga bentukan bapaknya hanya bergantung pada satu warung kopi dan rokok. Orang-orang di Dolly dan Jarak mengistilahkannya dengan giras. Entah darimana istilah itu datangnya.

Giras milik keluargnya itu ditunggui oleh Sutik, istri Suharto. Hasil dari menjaga giras, ibunya bisa mengantongi Rp 700 ribu per hari. Omzet itu belum kalau malam libur. Dari giras itu, bapak dan ibunya bisa menyekolahkan dia dan adiknya, meski tak tamat SMA. Hasil lainnya, Suharto punya tiga sepeda motor tanpa kredit.

Kencangnya pendapatan keluarga Suharto itu lantaran di tempat dia tinggal, berjejer puluhan bisnis karaoke dan wisma sarang prostitusi. Giras satu-satunya toko terdekat tempat ratusan pelanggan pekerja seks komersial (PSK) membeli apa pun yang dibutuhkan untuk menghabiskan siang dan malam bersama kegiatan esek-eseknya.

Namun, Yudi bersama bapak dan anggota keluarga lainnya setuju memutus ketergantungan dari giras dan ramainya prostitusi. "Bapak sadar, cepat atau lambat Dolly dan Jarak ini nantinya juga akan ditutup. Bapak harus punya pekerjaan biar nggak bergantung pada lingkungan (prostitusi)," kata Yudi.

Namun, Yudi mengaku keluarganya bukan mendukung atau menolak rencana penutupan dan pengalifungsian Dolly dan Jarak. "Bapak dan saya, keluarga-keluarga lainnya ndak peduli Mas dengan penutupan. Mau ditutup monggo, nggak ya monggo," kata Yudi. Dia menerima tawaran dan kompensasi dari Pemkot Surabaya sebagai jalan keluar dari mencari nafkah di praktik prostitusi Dolly dan Jarak.

Tak mempan dengan pelengseran itu, perang urat syaraf antara keluarga Suharto dan warga penolak penutupan Dolly dan Jarak pun terus terjadi. Yudi mengaku ada semacam intimidasi perilaku dari warga yang terprovokasi hasutan aktivis penolak penutupan Dolly dan Jarak. Warga dan pelanggan diminta tak membeli apa pun dari giras milik Sutik. Bahasa lainnya, warung Sutik diboikot.

Hasilnya, efektif mengancam pemasukan uang dari giras. "Sekarang ini, Ibu (Sutik) paling dapat Rp 200 ribuan lah satu hari," kata Yudi. Ada semacam kampanye dari mulut ke mulut antarsesama warga agar tak belanja di Giras Ibu Sutik. Yudi enggan menyebut nama pengembus provokasi itu.

Yang jelas, hasutan itu datang dari mereka yang menolak rencana Risma menutup atau mengalihfungsikan Dolly dan Jarak. "Padahal, kita ini ndak menolak (Dolly dan Jarak) ditutup atau nggak (ditutup). Kita ndak ngurus itu," katanya, menegaskan.

Apa pun yang nanti terjadi pada Rabu (18/6) --batas akhir penutupan Dolly seperti yang ditegaskan Wali Kota Surabaya, Yudi bersama keluarga lain yang menerima kompensasi dan tawaran pekerjaan pengganti dari Pemkot Surabaya tak akan ikut berorasi.

Karena itu, kata Yudi, menolak atau mendukung langkah Risma bukan urusan warga dengan warga, melainkan urusan pemkot dengan warga yang tetap menggantungkan nafkah hidupnya dari bisnis esek-esek di Dolly dan Jarak. Entah itu sebagai pemilik giras, warung nasi pinggir jalan, apalagi mucikari dan karyawan wisma-wisma akuarium di sepanjang Dolly dan Jarak.

rep:bambang noroyono ed: nur hasan murtiaji

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement