GAZA CITY -- Gencatan senjata 72 jam yang berlaku sejak Selasa (5/8) pukul 08.00 waktu setempat, dimanfaatkan warga Jalur Gaza untuk berbenah. Sebagian warga yang menjadi pengungsi kembali ke rumah untuk memeriksa tempat tinggal mereka pascaagresi militer Israel selama 29 hari.
Namun, tidak sedikit dari mereka kecewa mendapati huniannya tak lagi layak tinggal karena rusak berat. Bahkan, banyak yang sangat kecewa karena rumah mereka telah menjadi puing.
Zuhair Hjaila (33 tahun), warga Beit Lahiya, utara Gaza, mengungkapkan, ia menelan rasa sedih begitu mengetahui rumah serta toko miliknya telah rata dengan tanah. Sambil duduk di atas puing reruntuhan bangunan, Zuhair meratapi bangunan rumah dan tokonya yang hampir tak tersisa.
"Saya tidak pernah berpikir, saya akan kembali dan mendapati rumah dan lingkungan saya seperti terkena gempa bumi yang sangat dahsyat," ujar Zuhair, dilansir Arab News, Selasa (5/8).
Gempuran jet tempur dan artileri berat dari tank dan kapal Israel ke Gaza sejak 8 Juli menyebabkan kerusakan infrastruktur parah. Lebih dari 10 ribu bangunan hancur, seperti rumah, gedung pemerintahan, masjid, universitas, dan sekolah.
Sedikitnya 134 pabrik hancur dan sebagian besar lainnya ditutup karena tak memungkinkan beroperasi. Sektor industri di Gaza diperkirakan merugi hingga 70 juta dolar AS. Lebih dari 30 ribu pekerja kehilangan pekerjaan karena pabriknya tutup.
"Israel sengaja menghancurkan infrastruktur ekonomi Palestina dengan menyerang hampir seluruh pabrik di Gaza," ujar pernyataan dari serikat pekerja industri Palestina, dilansir Maan News, Rabu (5/8). Wakil Menteri Ekonomi Palestina Taysir Amro mengatakan, pemulihan sektor industri di Gaza membutuhkan biaya hingga enam milliar dolar AS.
Pabrik biskuit yang berada di antara Rafah dan Gaza City juga hancur. Padahal, pabrik ini mempekerjakan ratusan orang.
Tak hanya pabrik yang diserang Israel. Ribuan ternak tewas akibat bom-bom Zionis. Kawasan perkebunan dan pertanian pun dikotori artileri yang gagal meledak. "Kerusakan saat ini lebih parah, korban tewas juga lebih banyak," kata Sabriha Idbari (50 tahun) membandingkan dengan agresi Israel pada 2008, 2009, dan 2012.
Adil Alibda, salah satu insinyur perkotaan di Gaza, menyatakan, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali infrastruktur di Gaza.
Warga berbenah
Kesedihan menyelimuti keluarga al-Qaq saat kembali ke Rafah, selatan Gaza, Selasa (5/8). Saat Hanan al-Qaq tiba di rumahnya pukul 11.00, dia menyusuri puing-puing pintu dan jendela yang berserakan hancur. "Setidaknya rumah kami masih ada di sini," kata perempuan berusia 42 tahun itu, dilansir the Guardian.
Tetangga al-Qaq juga dilaporkan langsung mengumpulkan barang-barang yang masih bisa digunakan setibanya di rumah. Kebanyakan mereka tercengang atas skala kehancuran akibat serangan militer Israel. The Guardian melaporkan, tidak ada perayaan besar di Gaza menyusul pemberlakuan gencatan senjata 72 jam.
Kerusakan parah pun terjadi di daerah Khuza'a di Khan Yunis, selatan Gaza. Di daerah itu, pasukan Israel menghancurkan pintu gerbang kota bersama masjid dan pabrik. Serdadu Zionis pun masuk ke masjid dan menghancurkan segalanya, termasuk Alquran.
Seluruh area di Khuza'a laiknya kota hantu karena aliran listrik padam akibat pembangkit di sana hancur dibombardir Israel. Warga yang berdiam di sana pun sangat kekurangan air dan bahan makanan.
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan, 1.875 warga Gaza tewas, termasuk 430 anak-anak. Di pihak Israel, 64 serdadu dan tiga warga tewas. Sebanyak 9.500 warga Gaza terluka, 2.877 di antaranya adalah anak-anak, dan 520 ribu warga jadi pengungsi.
Kondisi ini membuat banyak keluarga yang masih dalam suasana duka. Hanan al-Qaq adalah salah satunya setelah dua dari tujuh anaknya menjadi korban tewas. Mohammed (20) anak Hanan yang lain, kini masih kritis dengan luka di dada dan perut.
Anak trauma
Di salah satu sekolah milik PBB di Rafah, tempat sembilan orang tewas akibat terkena rudal Israel pada Ahad (3/8), suasananya belum pulih. "Kami sangat takut," kata Kamla Udwan (55), salah satu pengungsi. Menurut laporan PBB ada sekitar 270 ribu pengungsi yang kini tinggal sementara di 90 sekolah di Gaza.
Kondisi psikologi anak-anak Palestina di Gaza pun sangat memprihatinkan. "Anak-anak menolak untuk bicara, saya hampir tidak bisa membuat orang berbicara kepada saya. Mereka begitu trauma bahkan tidak dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi," kata Halla Alsafadi, koresponden Press TV di Gaza.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki berharap gencatan senjata bisa diperpanjang lebih dari 72 jam. Delegasi Palestina dan Israel kini bersiap membicarakan kemungkinan gencatan senjata permanen. Masing-masing delegasi telah mengirim tim kecil ke Kairo, Mesir, termasuk wakil dari Amerika Serikat.
Israel sebelumnya telah menyetujui pembangunan kembali wilayah Jalur Gaza dengan syarat kelompok pejuang Palestina dilucuti senjatanya, sebagaimana diungkap seorang diplomat sekaligus juru bicara Israel untuk media Arab, Ofir Gendelman, Selasa (5/8).
Gendelman seperti dilansir Maan News, juga mengakui Israel tertarik gencatan senjata secara permanen. Namun, hal ini bergantung sikap Hamas selama gencatan senjata. rep:c66/c64 ed: nur hasan murtiaji/andri saubani