JAKARTA -- Kalangan dokter mengusulkan digelarnya diskusi tiga pihak (tripartit) antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Polri. Diskusi tripartit untuk mencari titik temu polemik pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014.
Dokter di RS Harapan Kita Jakarta, Hasnah Siregar, mengatakan, PP 61/2014 yang mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil dengan kedaruratan medis atau akibat perkosaan membahayakan profesi dokter. Menurutnya, menaati PP tersebut sama saja mengantarkan diri ke balik terali besi. "Siapa yang mau dimasukkan ke penjara, coba?" ujar Hasnah kepada Republika, Rabu (20/8).
Hasnah menjelaskan, dalam kode etik profesi dokter maupun hukum pidana umum, praktik aborsi adalah kejahatan yang sama sekali tidak boleh dilakukan seorang dokter. Dokter yang melakukan aborsi bisa terancam pidana 20 tahun dan denda Rp 500 juta.
Tindakan medis berupa pengguguran kandungan, kata Hasnah, hanya bisa dilakukan dokter bila ada alasan kedaruratan medis yang sangat kuat. Karena itu, dokter harus jauh-jauh mengesampingkan faktor di luar kedaruratan medis sebelum mengambil tindakan aborsi. "Termasuk pemerkosaan," katanya.
Selain alasan hukum, kata Hasnah, dokter bukanlah profesi yang bisa menentukan seseorang korban pemerkosaan atau bukan. Dokter tidak bisa memberikan pendapat apa pun kecuali menyangkut masalah medis. Dalam posisi ini, dokter hanyalah tenaga ahli yang bertugas mengeksekusi suatu tindakan medis. "Seseorang dapat dikatakan diperkosa atau tidak, itu di luar kapasitas seorang dokter," tegas Hasnah.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi sebelumnya meminta dokter mematuhi aturan dalam PP 61/2014. Nafsiah meminta IDI mempelajari PP yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014 tersebut. Menurut Menkes, PP 61/2014 tidak bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lantaran PP yang lahir sebagai amanat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan itu merupakan UU khusus (lex specialis). "Dengan adanya PP ini, dokter tidak usah khawatir. Kalau dalam keadaan kedaruratan medis dan korban perkosaan, (aborsi) bisa dilakukan," kata Nafsiah.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, diskusi perlu dilakukan agar PP 61/2014 tidak dijadikan alat melegalisasi sebuah perbuatan pidana. Apalagi, yang dikhawatirkan adalah adanya pasal yang tidak pas mengandung penegasan seolah-olah ada upaya melegalkan tindakan pidana.
Tenaga medis di Klinik Sapta Nawa Medika Bintaro, dr Dewi mengatakan, pemberlakuan PP aborsi harus dijaga seketat mungkin untuk memperkecil dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab. "Sebelum diterapkan, sebaiknya peraturan itu membutuhkan pertimbangan aparat kepolisian," kata Dewi.
Humas RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Ramdansyah menyatakan, rumah sakit daerah belum menerima pemberitahuan resmi pemberlakuan PP 61/2014. Rumah sakit daerah masih menunggu aturan lebih lanjut mengenai polemik PP aborsi tersebut. n c54/c60 red;riga nurul iman ed: eh ismail