JAKARTA -- Awal Agustus lalu, sekelompok mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Hindu Muda Bali (AHMB) menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Bank Indonesia (BI) perwakilan Bali di Denpasar. AHMB meminta BI menghentikan pendirian bank syariah di Bali dengan alasan perbankan syariah tidak sesuai dengan konsep ekonomi nasional yang berasaskan Pancasila.
Pakar ekonomi Islam yang juga Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Agustianto menilai, penolakan tersebut terjadi karena ketidakpahaman terhadap esensi ekonomi syariah. Para demonstran mengaitkan lembaga perbankan syariah dengan prosesi keagamaan. "Masyarakat non-Muslim harus mengetahui bahwa perbankan syariah bukan misi keagamaan," kata Agustianto kepada Republika, Senin (25/8).
Pandangan ketakutan atau fobia terhadap perbankan syariah, menurutnya, lantaran masyarakat tidak memahami ekonomi syariah. Padahal, di berbagai negara non-Muslim, lembaga keuangan syariah berkembang pesat. Ekonomi syariah di negara-negara maju, seperti Inggris, Australia, Hong Kong, dan Singapura, juga dikembangkan oleh kaum non-Muslim.
Bahkan, kata Agustianto, tidak sedikit pakar keuangan syariah yang berasal dari ahli keuangan non-Muslim. Karena itu, tampak aneh jika di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim terjadi penolakan terhadap perbankan syariah. Agustianto meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah, maupun pelaku perbankan syariah turun tangan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai perbankan syariah.
"Masyarakat harus paham, perbankan syariah adalah sistem keuangan yang bisa dikembangkan siapa saja, termasuk kalangan non-Muslim, seperti halnya di negara lain," kata Agustianto.
Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK Edy Setiadi menyatakan, OJK akan sangat hati-hati menyikapi penolakan perbankan syariah di Bali. Saat ini, kata Edy, OJK sedang mempelajari isu pokoknya terlebih dahulu. "Misalnya, apakah hal ini berkembang akibat sosialisasi yang kurang atau bagaimana? Sehingga, pemahamannya tidak komprehensif seperti itu," kata Edy.
Edy menjelaskan, kini keuangan syariah justru berkembang pesat di berbagai negara, termasuk di negara non-Muslim, seperti Inggris. Alasan perbankan syariah bisa berkembang di negara-negara itu tak lain karena sistem perbankan syariah melayani setiap orang. Bahkan, banyak pelaku keuangan syariah, baik bank maupun asuransi, adalah non-Muslim. "Karena itu, OJK tidak akan gegabah merespons pandangan atau isu tersebut," katanya.
Tahun lalu, katanya, BI melaksanakan seminar internasional di Bali dengan tuan rumah Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Ketika itu, Gubernur justru menyambut baik kehadiran perbankan syariah. "Nah, ini kan/ tentunya harus cermat melihat ke akar rumput, apakah ada yang salah dalam pelayanan keuangan syariah dan sebagainya," ujar Edy.
Di Denpasar, Bendesa Agung (Ketua) Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Jro Gde Putus Upadesa menegaskan, protes terhadap keberadaan perbankan syariah di Bali hanya dilakukan sekelompok orang. "Apa yang mau mereka protes atau dilarang? Bank syariah itu ada undang-undangnya dan Bali sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus menghormati undang-undang itu," kata Jro Gde, di Denpasar, Senin (25/8).
Jro yang juga pimpinan majelis desa adat melanjutkan, umat Hindu tidak melarang atau melawan apa pun yang sudah didasari undang-undang. Apabila ada yang memprotes produk undang-undang, seperti perbankan syariah, itu adalah protes pribadi atau kelompok kecil dan tidak mewakili umat Hindu Bali.
Bendesa Agung Desa Pakraman, Bali, itu menegaskan, Bali adalah daerah terbuka. Masyarakatnya juga sangat terbuka dengan kedatangan etnis atau masyarkat beragama lain. Hal terbaik adalah menjaga kerukunan umat dan antarumat beragama dengan meneguhkan sikap saling menghormati sebagai sebuah bangsa Indonesia. "Mari bersama-sama menjaga Bali, jangan dirusak. Karena, kita semuanya nanti yang akan rugi. Jangan mau diganggu oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan," katanya. rep:ichsan emrald alamsyah/ahmad baraas ed: eh ismail