JAKARTA -- Upaya untuk menggugat Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) terus gencar dilakukan berbagai kalangan. Tidak hanya partai politik, tapi juga koalisi masyarakat sipil.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan membentuk tim khusus agar gugatannya ke Mahkamah Konstitusi diterima. Pasalnya, MK akan menolak gugatan UU Pilkada jika pihak penggugat tidak memberikan argumentasi kuat dalam gugatannya. "Iya, kita bentuk tim khusus. Itu nanti kita teruskan ke Mahkamah Konstitusi," kata politikus PDIP Aria Bima, di Jakarta, Sabtu (27/9).
Foto:Republika/ Wihdan
Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9).
Menurut Aria, di kantor DPP PDIP ada suatu badan yang khusus menangani sengketa ke Mahkamah Konstitusi. Aria yakin MK akan mengabulkan gugatannya. "Maka itu, jalan Mahkamah Konstitusi akan kita tempuh," ujarnya.
Selain itu, kata Aria, PDIP akan mencari dukungan agar bisa memperkuat argumentasinya untuk meyakinkan MK jika pilkada langsung sudah tepat. Untuk itu, partai berlambang banteng tersebut juga bakal menyiapkan pengacara ahli tata negara. "Saya berharap Mahkamah Konstitusi tidak dipolitisasi untuk bicara soal uji publik Undang-Undang Pilkada ini," kata Wakil Ketua Komisi IV tersebut.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini optimistis uji materi yang akan dilayangkan Perludem bersama 29 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil terkait UU Pilkada akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
"Kita akan melakukan yang terbaik.
Kita mencoba membangun argumentasi hukum berbasis konstitusi. Lagi-lagi, kita tidak mau masuk ke ranah politik karena kita bukan politikus, pengamat politik, analis politik. Tapi, kita akan berpegangan pada konstitusi," ujar Titi.
Salah satu alasan di balik optimisme Titi adalah tafsiran MK dalam sejumlah putusan terkait kata "demokratis" yang dimaknai sebagai pemilihan langsung. Selain itu, dalam pengambilan putusan, Mahkamah Konstitusi senantiasa mempertimbangkan kondisi yang berkembang di masyarakat, tidak terkecuali budaya masyarakat. "Bahwa daerah khusus, seperti Aceh, Jakarta, Yogyakarta, boleh pemilihan langsung."
Karena itu, kata Titi, tidak ada situasi antara di Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta yang mem bedakannya dengan daerah-daerah lain. "Sekarang, apa bedanya Aceh langsung, Banten tidak? Apa bedanya Jakarta dengan Banten? Apa bedanya Yogyakarta yang kabupaten/kotanya dipilih oleh rakyat dengan daerah di Kalimantan? Kan tidak ada," kata Titi. rep:Muhammad Iqbal/antara/c62, ed: firkah fansuri