Jalan cerita kasus Tolikara, Papua, bisa jadi berbeda jika itu terjadi pada 1999, bukan 2015. Ya, Idul Fitri 16 tahun lalu terjadi rusuh Ambon. Saat itu belum ada media sosial. Memang sudah ada ponsel. Portal berita pun sudah ada.
Republika Online (www.republika.co.id) adalah portal berita pertama di Indonesia, lahir pada 1995. Namun, tak ada yang bisa mengalahkan kecepatan media sosial. Walau sifatnya belum bisa dipertanggungjawabkan, hal itu bisa memberi informasi cepat pada media mainstream untuk mengklarifikasi. Itulah yang kemudian bisa mencegah rumor yang liar. Ada proses yang saling menguatkan.
Media sosial tak hanya memberikan info awal pada media mainstream, media sosial juga memberi pengaruh besar pada psikografi media mainstream. Media sosial telah memberikan pengaruh besar pada perilaku masyarakat. Media sosial memberi input dan partisipasi, lalu media mainstream mengukuhkannya melalui proses pendalaman, standardisasi, dan akhirnya pelembagaan. Produk akhirnya menjadi rujukan publik.
Awalnya adalah revolusi di dunia teknologi informasi (TI). Bukan sekadar lahirnya komputer, tetapi teknologi lanjutannya yang masif, interaktif, dan bisa dinikmati secara personal dan privat. Media sosial adalah kombinasi antara komputer, internet, ponsel, dan kamera.
Tim Berners Lee adalah salah satu yang berjasa besar. Dialah yang melahirkan world wide web atau kita mengenalnya sebagai www pada 1990, sebuah program editor dan browser yang menjejalah dari satu komputer ke komputer lain. Ini yang bisa mengoneksikan semua komputer.
Telepon juga sudah jauh berkembang jauh melampaui era Graham Bell. Bukan sekadar telepon genggam, tetapi kemampuannya menghimpun beragam temuan di bidang TI dan rumpun teknologi yang berdekatan pada satu perangkat. Pada 1997, para developer TI menemukan wireless application protocol (WAP)—yang membuat internet bisa masuk ponsel.
Pada 2000, ponsel bisa dilengkapi fitur kamera. Sebelumnya, Yahoo! Mail membuat kita bisa berkirim pesan melalui internet sejak 1997. Dua tahun kemudian, Yahoo! juga bisa membuat grup e-mail.
Semua temuan itu ibarat sumbu mesiu yang direntang menuju titik ledak. Awal abad ke-21 menjadi titik ledak lahirnya media sosial: Friendster (2002), Linkedin (2003), Facebook (2004), Youtube (2005), Flickr (2005), Twitter (2006), Tumblr (2007), Instagram (2010), dan seterusnya.
Blackberry juga mengawali lahirnya smartphone pada 2002, disusul temuan Android pada 2008. Hal itu memicu merebaknya teknologi messenger. Awalnya Blackberry Messenger, lalu Whatsapp (2009), Line (2011), Wechat (2011), dan seterusnya. Melalui media sosial dan group messenger, mereka bisa saling berbagi informasi, pengetahun, dan diskusi. Mereka juga bisa berkreasi tentang banyak hal, tak hanya kata-kata, tetapi juga desain.
Mereka umumnya generasi muda. Saat ini pengguna internet ada 88 juta orang. Dari jumlah itu, 85 persen mengakses lewat smartphone. Sisanya berselancar lewat PC, tablet, dan laptop. Pengguna internet didominasi anak SMA dan sederajat (64,7 persen). Usia rata-rata penduduk Indonesia memang sekitar 27 tahun. Benar-benar usia muda.
Sesuai hasil riset—di tengah ledakan internet dan beragam turunannya itu serta televisi dan radio—media cetak koran tetaplah menduduki posisi tinggi dalam hierarki informasi. Publik mendapat informasi pertama dari media sosial, messenger, internet, radio, dan televisi. Namun, untuk lebih yakin, mereka akan memastikannya dengan membaca koran pada esok harinya.
Watak media cetak koran yang delayed, tertunda satu hari, memberi waktu bagi wartawan untuk memeriksa informasi lebih saksama. Bahkan, karena media cetak memiliki keterbatasan ruang membuat media cetak koran harus menyortir informasi lebih ketat. Bahkan, makin kemari makin terbatas—dulu per halaman bisa memuat hingga 13 berita atau bahkan lebih banyak lagi. Selanjutnya, per halaman maksimal 5-6 berita saja.
Media cetak hanya memuat informasi premium. Tak hanya itu, media cetak juga membuat hierarki berita. Yang prioritas di halaman satu, yang lain masuk ke halaman dalam. Kategori lainnya adalah yang terprioritas menjadi headline, yang lainnya menjadi berita kedua dan seterusnya. Informasi yang tidak perlu sama sekali tak dimuat sehingga informasi yang dimuat sangat selektif.
Revolusi di dunia TI dan segala turunannya memengaruhi psikografi pembaca media cetak. Mereka menuntut tampilan desain yang bersih dan segar serta informasi yang bisa mencerahkan. Pembaca media cetak adalah kelompok umur dan berpenghasilan relatif mapan. Sebagian besar berusia antara 20 tahun hingga 40 tahun, selebihnya di atas 40 tahun. Namun, mereka familiar dengan internet, media sosial, dan messenger. Penetrasi itu membuat mereka lebih update terhadap perkembangan desain dan kebutuhan informasi.
Karena itu, mulai edisi ini, Republika hadir dengan desain dan konsep produk baru. Cirinya: muda, segar, dan bersih. Tiap halaman hanya ada tiga berita dan memberikan ruang yang luas untuk foto yang atraktif dan informatif.
Republika juga tampil dengan tiga rubrik baru: Inovasi, Sehat, dan Belanja. Semua hadir tiap hari, sejak Senin hingga Jumat. Inovasi menyajikan temuan dan informasi seputar elektronik, otomotif, dan gadget.
Sesuai nama rubriknya, "Sehat" akan menyajikan informasi dan tips seputar kesehatan. Sedangkan, "Belanja" menyajikan kabar dan panduan tentang kebutuhan kita di seputar mode, pangan, dan papan. Sajian khusus mingguan, Leisure, tak lagi terbit karena sudah terakomodasi dalam rubrik-rubrik tersebut.
Republika selalu terdepan dalam inovasi. Semua itu bagian dari tekad dan spirit kami untuk selalu terdepan dan terbaik dalam melayani pembaca. Ada nilai tersendiri dari desain dan produk baru ini, yakni simpel, efektif, dan selektif. Itulah nilai-nilai baru abad ke-21, abad yang penuh dinamika, fluktuatif, dan multifaset. n
Oleh Nasihin Masha
Pemimpin Redaksi Republika